RESOLUSI KONFLIK ARAB-ISRAEL

I. Latar Belakang
Konflik Arab dan Israel pada dasarnya adalah memperebutkan wilayah di tanah Palestina dan sekitarnya, yang dilakukan oleh Israel untuk memperbesar daerah kekuasaannya. Bermula dari tulisan wartawan Austria keturunan Yahudi, Theodore Herzl, yang merupakan pendiri gerakan zionisme, yang berjudul “Der Judenstaat” (Negara Yahudi). Dalam tulisan tersebut, ia berpendapat bahwa masalah Yahudi hanya dapat dipecahkan dengan mendirikan negara Yahudi di Palestina atau di tempat lain. Sebelum adanya tulisan ini, sudah terjadi emigrasi secara bertahap para orang Yahudi yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke tanah Palestina, dan setelah adanya tulisan tersebut terjadi gelombang emigrasi massal yang lebih besar lagi. Gelombang emigrasi massal yang disebut “aliyah” ini berdatangan dari berbagai negara: Rusia, Rumania, Polandia, Bulgaria, Yugoslavia, Aman, Aden, Jerman, dan negara – negara Afrika.
Kemudian satu tahun sesudahnya (1897) diadakan Kongres pertama zionis di Basle, Swiss. Para peserta kongres sepakat perlunya ada negara sendiri tetapi mereka belum tahu dimana negara sendiri itu dan bagaimana mendapatkannya. Para “aliyah” ini bertambah mendapat angin setelah Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur J. Balfour, mengirim surat pada Lord Rothchild, salah seorang tokoh zionis, yang berisi pemberitahuan tentang dukungan pemerintah Inggris kepada gerakan zionis untuk mendirikan negara di Palestina. Surat yang dikirim pada tanggal 2 November 1917 itu kemudian dikenal dengan sebutsn Deklarasi Balfour.

Pada tahun 1918, Palestina yang sebelumnya dikuasai oleh Turki, jatuh di tangan kekuasaan Inggris. Kemudian pada bulan September 1923, Liga Bangsa – Bangsa secara resmi menyerahkan mandat kepada Inggris untuk mengurus wilayah Palestina, dan pada tahun 1922 keluar “buku putih” Inggris mengenai pembagian wilayah di tanah Palestina. Dari sinilah timbul ketidakpuasan dari orang – orang Palestina tentang pemukiman orang – orang Yahudi dan mereka juga menentang didirikannya tanah air Bangsa Yahudi.
Pada bulan November 1947, PBB mengeluarkan Resolusinya no.181 (II) yang memutuskan untuk membagi tanah Palestina menjadi dua bagian: Yahudi dan Palestina. Orang – orang Yahudi menerima akan keputusan tersebut tetapi Palestina dan negara – negara Arab lainnya menolak. Satu tahun kemudian tepatnya 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya yang dilakukan oleh David Ben Gurion, sehari setelah mandat Inggris di Palestina berakhir. Kemerdekaannya ini ternyata diikuti dengan melakukan perang terhadap Yordania dan Mesir untuk memperebutkan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Perang berakhir pada tahun berikutnya (1949) dengan kemenangan di pihak Israel dan ditandai dengan gencatan senjata dengan Mesir, Libanon, Yordania, dan Suriah.
Ternyata Israel berusaha untuk memperbesar wilayah kekuasaannya dengan berusaha merebutnya dari negara – negara tetangganya. Hal tersebut dilakukannya secara terus menerus, yang kalau dihitung Israel sudah melakukan empat kali perang besar dengan negara – negara tetangganya maupun dengan orang – orang Palestina sendiri. Pada tahun 1956, Israel membantu Inggris dan Perancis untuk menyerang Mesir, karena pemimpim Mesir pada waktu tersebut, Gamal Abdel Nasser, menasionalisasi Terusan Suez. Lalu pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir , Suriah, dan Yordania selama enam hari lamanya. Pada perang ini akhirnya membawa Israel pada kemenangannya dengan menduduki Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Pada tahun 1973, Israel mendapatkan serangan mendadak dari Mesir dan Suriah untuk merebut kembali Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Perang antara Israel dengan Mesir dan Suriah ini disebut sebagai perang Yom Kippur karena terjadi persis pada hari suci menurut kalender Yahudi, Hari Yom Kippur. Inilah kekalahan pertama Isreal dalam perang – perangnya. Dari situ kita bisa melihat bahwa pada akhirnya, permasalahan perebutan wilayah ini tidak hanya dengan dengan bangsa Palestina saja tetapi juga dengan negara – negara tetangga lainnya, sehingga menimbulkan perhatian khusus dari dunia internasional.
Berbagai usaha untuk mendapatkan perdamaian di kawasan Timur Tengah ini dilakukan, yang diantaranya dengan melakukan perundingan – perundingan. Berbagai perundingan dilakukan baik antara Israel dengan negara – negara Arab itu sendiri maupun dengan bangsa Palestina. Perundingan – perundingan tersebut dimotori oleh PBB dan oleh negara – negara besar yang berkepentingan atas kawasan sekitar tersebut , seperti Amerika Serikat. Sebagai contoh adalah pertemuan di Camp David, Amerika Serikat, pada bulan Maret 1979 antara Israel dengan Mesir yang dimotori oleh mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, yang menghasilkan kesepakatan damai pada tanggal 17 September 1977. Namun ternyata ada harga yang mahal yang harus dibayar untuk usaha – usaha peerdamaian tersebut. Presiden Mesir, Anwar Sadat, mati terbunuh sebagai akibat ditandatanganinya kesepakatan damai antara Mesir dan Israel. Ia terbunuh pada tanggal 6 Oktober 1981 pada saat menghadiri parade militer untuk memperingati pwerang pada tahun 1973 melawan Israel. Tidak hanya itu saja, Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, juga tertembak mati dalam sebuah kampanye perdamaian di Tel Aviv pada tanggal 5 November 1995. Ia dibunuh oleh seorang pemuda Yahudi fanatik yang menentang adanya perdamaian antara Israel dan Palestina.
Sebenarnya dari perundingan – perundingan tersebut sudah menunjukkan hasil – hasil yang cukup menggembirakan untuk tercapainya perdamaian. Hal ini bisa kita lihat seperti adanya hasil perundingan Camp David antara Mesir dan Israel pada tahun 1979, yang menghasilkan kesepakatan damai. Lalu pada tahun 1993 di Oslo, Norwegia, antara Menteri Israel, Yithzak Rabin, dan pemimpin PLO, Yasser Arafat, yang pada akhirnya menandatangani “Deklarasi Prinsip – Prinsip” tentang rencana otonomi Palestina di wilayah pandudukan. Tak lupa juga pada tanggal 4 Mei 1994, Israel dan Palestina menandatangani kesepakatan yang memberikan otonomi pertama kepada Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang sudah diduduki Israel sejak 1967, yang ditandai dengan penyerahan Jericho ke polisi Palestina. Tetapi dari sebagian kesepakatan – kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak yang bertikai, sering kali terjadi pelanggaran – pelanggaran dalam pelaksanaannya oleh Israel. Hal ini seringkali menimbulkan kemarahan dari pihak lawan – lawannya, terutama untuk Palestina (dalam hal ini adalah PLO yang mewakilinya).
Sampai saat ini, pihak Palestina terus melakukan perlawanan – perlawanan terhadap zionis Israel, baik secara diplomatik maupun secara kekerasan. Dan pada saat memasuki abad ke 20, pertikaian antara kedua belah pihak semakin meruncing, yang dapat kita lihat dengan perlawanan – perlawanan, seperti aksi – aksi bom bunuh diri oleh masyarakat Palestina, invasi militer/agresi Israel ke pemukiman Palestina dan lain sebagainya. Apalagi baru – baru ini, Israel kembali melakukan agresinya ke wilayah Palestina yang dimulai pada tanggal 29 Mart 2002 yang lalu. Bahkan Agresi militer ini dilukiskan sebagai agresi yang terbesar sejak perang Libanon pada tahun 1982. Agresi Israel ini dikawatirkan akan meluaskan konflik antara Israel dan Palestina, yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad, menjadi konflik regional yang melibatkan banyak negara Arab dan bahkan Iran. Hal ini menunjukkan akan adanya kegagalan – kegagalan secara nyata atas setiap apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk mencapai perdamaian.
Sampai sejauh ini baik organisasi internasional maupun negara – negara yang sudah mengupayakan akan adanya perdamaian di kawasan Timur Tengah ini antara Israel dengan lawan – lawannya, terutama dengan Palestina, bisa kita lihat tidak menghasilkan adanya perdamaian yang menguntungkan bagi kedua pihak. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan untuk dibahas pada saat ini. Yang pertama, mengapa usaha – usaha perdamaian yang dimotori oleh PBB ataupun oleh negara – negara besar lainnya selalu mengalami kegagalan dalam artian yang nyata ? Kemudian yang kedua, langkah – langkah apakah yang seharusnya dilakukan untuk mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah, terutama antara Israel dengan Palestina?
II. Kerangka Pemikiran
Landasan dan kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam menganalisa konflik Arab-Israel ini adalah berdasarkan pada asumsi-asumsi dasar dan srategi perdamaian Liberalisme. Dimana, Liberalis memiliki kecenderungan menggunakan cara-cara kooperatif, negosiasi dan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa di bandingkan dengan menggunakan kekuatan militer. Bagi Liberalis damai didapat dengan perang (peace is prior to war) dan sebaliknya “war is necessary evil”
Pandangan war as a necessary evil yang melihat perang sebagai sebuah kejahatan yang perlu dilakukan untuk perdamaian, melahirkan doktrin ius ad bellum yang terdiri dari tiga landasan filosofis Liberalis, antara lain :
 Landasan pertama adalah tentang kemungkinan penerapan perang sebagai suatu instrumen untuk mencapai kepentingan tertentu. Namun hal ini dapat dilakukan dengan syarat: pertama, tujuan perang adalah menciptakan perdamaian positif, yang dipandang sebagai suatu proses untuk menciptakan tradisi penciptaan alternatif-alternatif resolusi konflik yang tidak memungkinkan diterapkannya opsi penggunaan kekerasan. Kedua, perang bukanlah sesuatu yang dikehendaki, dan karenanya harus dijadikan sebagai pilihan terakhir (last resort) yang terpaksa dipilih karena eksplorasi alternatif yang lain gagal.
 Landasan kedua adalah Authority, yaitu ssebuah negara dapat mendeklarasikan perang terhadap negara lain dan secara moral deklarasi itu dapat dinilai sebagai just war hanya jika deklarasi itu dideklarasikan oleh pemerintah yang sah (authority), ditujukan murni unutk pertahanan (causta iusta), dan peperangan dilakukan untuk menciptakan kembali perdamaian (intentio recta), sehingga satu-satunya motivasi perang adalah untuk mempertahankan diri dari agresi lawan (legitimate self-defense).
 Landasan ketiga adalah bahwa setiap usaha yang dilakukan dalam pertempuran tidak boleh melanggar standar-standar moral/standar HAM yang ada yang mengacu pada syarat diskriminasi (membedakan tindakan terhadap combatant dan noncombatant) dan proportionalitas (mengkalkulasikan biaya dan kerusakan yang timbul akibat perang).
Meskipun dalam paham Liberalis meyakini war = justify (dibenarkan), namun tetap saja Liberalis sangat menekankan penyelesaian konflik dengan jalan negosiasi dan diplomasi yang jauh dari tindakan-tindakan kekerasan serta mengupayakan terciptanya positive peace, perdamaian yang dapat diselesaikan hingga ke akar persoalan sehingga kondisi damai tersebut bertahan terus menerus yaitu apa yang disebut Immanuel Kant sebagai perpetual peace , dan hal tersebut hanya dapat tercapai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pemikiran Liberalis penting lainnya adalah menjadikan individu atau institusi non negara sebagai unit utama analisanya. Institusi dipandang dapat mengurangi negara dari unsur kalkulasi kepentingan sendiri menjadi seberapa besar bagi setiap tindakan mereka memberikan dampak terhadap power-nya. Institusi adalah variabel indenpenden dan kemampuan menghindarkan negara dari perang.
Dalam resolusi konflik, Liberalis juga cenderung menggunakan institusi sebagai pihak ketiga (third party Intervention). Intervensi pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik dianggap penting oleh Liberalis dikarenakan asumsi mereka bahwa penyelesaian konflik harus memberikan keuntungan/keputusan yang sama baiknya bagi pihak yang bersengketa (positive sum game). Sebaliknya Institusi sering menjadi alat kepentingan negara, sehingga konflik juga sering dipandang sebagai alat pemenuhan kepentingan pihak tertentu.
Liberalis yakin bahwa kerjasama negara dalam sebuah institusi internasional dapat terwujud bukan sekedar distribusi power saja sebab pandangan liberalis tentang sistem internasional tidak terlalu buruk. Kaum Liberalis juga menolak analogi politik bagaikan hutan rimba dan lebih mengumpamakan menanam perang atau damai, tergantung sang pelaksana. Tentu pengolahan yang dilakukan bagaimana caranya sistem internasional ini menjadi damai. Bekerja sendiri atau self – help dari aktor mustahil mampu menciptakan perdamaian tersebut. Harus ada kerjasama antar aktor politik internasional dan kerjasama itu diwujudkan dalam struktur kelembagaan yaitu: institusi dan organisasi internasional.
Mengenai sistem internasional, kaum liberalis memiliki asumsi; pertama, lebih menekankan kepada penjelasan mengapa kerjasama ekonomi dan lingkungan lebih dimungkinkan. Kedua, kerjasama tersebut akan mengurangi perang. Ketiga, kecurangan dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat kerjasama internasional.Keempat, institusi akan memberikan jalan keluar untuk mengadapi persolaan dan kelima, pembentukan institusi akan mengekang negara melakukan tindakan berbahaya.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Liberalis memiliki causal logic sebagai berikut. Pertama, rintangan utama bagi terjadinya sistem kooperatif yang saling menguntungkan adalah Threat of Cheating atau ancaman berbuat curang untuk mengungguli dimana negara selalu berusaha memaksimalkan kepentingan yang kan diraihnya tanpa peduli apa yang kan diperoleh pihak lain. Kedua, guna memecahkan problem tersebut maka setiap pihak membatasai yang lainnya dengan cara merumuskan collective interest. Ketiga, institusi harus menangkap cheater dan melindungi korban namun secara fundamental tidak mengubah norma prilaku-prilaku negara tersebut.
Dalam Liberalisme, ada beberapa bentuk institusi internasional, yang pertama adalah institusi sebagai alat pengikat antara pihak lain dan diri sendiri. Model ini penting untuk memudahkan membuat suatu ikatan atau komitmen yang dapat dipercaya. Kedua adalah institusi sebagai alat inovatif, yang dapat dijadikan alat delegasi oleh negara untuk menyelesaikan berbagai macam persengketaan, menyelesaikan krisis dan ketiga adalah institusi sebagai alat atau penyebab perubahan melalui hasil-hasil yang dikeluarkannya.
Leberalis memiliki strategi perdamaian yang mengedepankan upaya-upaya yang jauh dari militeristik demi tercapainya perdamaian yang positif. Strategi perdamaian tersebut antara lain adalah: pertama, menciptakan aktor keamanan baru. Dimana, Liberal selalu memiliki kecenderungan pada pembentukan sebuah institusi dalam menyelesaikan konflik.
Strategi perdamaian Kedua yang ditawarkan Liberalis, adalah menciptakan keamanan yang unidimensional. Strategi kedua ini menurunkan teori functionalism, intregrasi, dan teori fungsi integrasi. Teori functionalism diungkapkan oleh David Mitrany sebagai sebuah sebuah “working peace system” yang menggunakan aspek sosio-historikal. Dalam hal ini Mitrany melakukan kategorisasi secara implisit menjadi tiga konsep yang diangkat dari pendekatan normatif dan historis tersebut, yaitu; inclusion/exclusion, economic/social processes dan dialectical evolutionism.
Inklusif/ekslusif sebagai model institusi politik dianggap sebagai salah satu pedekatan yang baik dalam mengakomodasi nilai-nilai dan kebutuhan sosial ekonomi individu. Maka semakin inklusif institusi politik, semakin besar pula kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan individu, serta semakin tinggi pula dukungan/wakil internasional yang datang. Sedangkan proses sosial/ekonomi digambarkan dengan “economic interdependence”, terutama dalam pembangungan teknologi global dan dalam Dialectical evolusionism, ada dugaan bahwa progresifitas sejarah terjadi atas proses dilaektika.
Sementara teori integrasi, merupakan teori turunan yang berhubungan dengan adanya proses-proses integrasi berdasarkan kepentingan ekonomi, seperti European Union (EU), North Atlantic Free Trade Area (NAFTA). Teori turunan terakhir yaitu teori fungsional integrasi. Dalam teori ini ditegaskan secara jelas batas-batas yang mengatur hubungan militer antar negara. Kerjasama militer yang dibenarkan dalam Liberalis hanyalah yang bersifat institutionalization, seperti collective security/defense pact.
Strategi perdamaian ketiga, yaitu pengaturan resource. Pengaturan atau distribusi resource atau sumber daya ini berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme. Interaksi yang terjadi adalah “Positive Sum Game”, dimana harus mampu menghasilkan keputusan yang adil dan keuntungan di dua belah pihak, khususnya untuk distribusi sumberdaya.
Terakhir adalah Identity, yaitu berangkat dari prinsip cosmopolitant Identity (Immanuel Kant) yang mengatakan bahwa setiap manusia mengingainkan kebebasan, dan keinginan kebebasan itu dapat diwujudkan dalam bentuk kesatuan (federasi/republik) yang demokratis.
Asumsi-asumsi dasar dari perspektif Liberal tersebut yang kemudian akan dipergunakan sebagai kerangka berfikir dalam memahami, mengevaluasi dan memprediksikan persoalan-persoalan dalam konflik Arab-Israel yang akan diulas dalam bagian berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger