Menanti Diplomasi Tingkat Tinggi Indonesia dalam Konflik Thailand-Kamboja

Belum tercapainya solusi nyata dalam pertemuan Joint Border Committee (JBC) antara Thailand dengan Kamboja pada awal April 2011 dan pecahnya kembali pertempuran antar militer kedua negara pada akhir April 2011, menjadi sinyal bahwa Indonesia sebagai  ketua ASEAN 2011 dituntut untuk bisa membuktikan pengaruh dan kepemimpinannya di kawasan Asia Tenggara.

Dalam pertemuan yang berlangsung di Istana Bogor pada 7-8 April 2011 yang lalu, setidaknya ada dua hal yang menunjukkan peran Indonesia yang masih dianggap lemah. Pertama, ketidakhadiran Menteri Luar Negeri Thailand dalam pertemuan tersebut. Kedua, belum disepakatinya kerangka acuan kerja pengiriman tim pemantau yang merupakan usulan Indonesia oleh kedua negara yang berkonflik. Prinsip nonintervensi yang dianut ASEAN kemudian sering dijadikan alasan atas ketidakmauan/ ketidakmampuan Indonesia untuk menekan Thailand dan Kamboja secara lebih tegas. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan mustahil bahwa konflik ini akan kembali dibawa dalam level bilateral tanpa campur tangan ASEAN seperti yang selama ini  diinginkan Thailand, atau dibawa ke level internasional seperti yang pernah dilakukan Kamboja.

Citra lemah Indonesia sebagai ketua ASEAN 2011 semakin diperparah dengan pecahnya kembali pertempuran antarmiliter kedua negara yang dimulai pada 22 April 2011. Pertempuran ini seolah mengacuhkan hasil pertemuan JBC di mana kedua pihak sepakat untuk mengedepankan jalur diplomasi dalam menyelesaikan konflik. Bahkan, pertempuran tersebut kini tidak lagi terjadi di sekitar Candi Preah Vihear, tetapi meluas ke arah barat sejauh 153 km, yaitu di Candi Ta Moan dan Ta Krabey dan mengundang reaksi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki Moon, agar kedua negara melakukan genjatan senjata (Reuters, 24 April 2011). Padahal pada Februari lalu, PBB sudah memercayakan penanganan konflik ini ke ASEAN, setelah Menteri Luar Negeri Indonesia melakukan lobi ke New York. Dengan demikian, pertempuran ini seolah-olah menampilkan bahwa Indonesia tidak mampu mengemban kepercayaan PBB tersebut.

Perselisihan dalam Pendekatan Penyelesaian Konflik
Konflik antara Thailand dengan Kamboja yang memanas sejak 2008 lalu sebenarnya bukanlah konflik perebutan atas Candi Preah Vihear karena Mahkamah Internasional pada 1962 telah memutuskan bahwa candi tersebut milik Kamboja. Thailand dan Kamboja mempermasalahkan daerah seluas 4,6 km persegi di sekitar candi tersebut. Konflik ini telah menjadi komoditi politik domestik di kedua negara.

Mengingat kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya mau menyelesaikan konflik dalam level bilateral. Dalam posisi ini, Thailand secara angka lebih kuat dibandingkan Kamboja. Sementara itu, Kamboja lebih percaya diri melibatkan pihak luar, baik PBB maupun ASEAN. Keterlibatan pihak luar dipercaya bisa menaikkan posisi tawar Kamboja di mata Thailand. Sedangkan Indonesia yang secara moral merasa bertanggung jawab terhadap keamanan regional, merasa perlu melokalisir konflik agar bisa diselesaikan dalam kerangka regional ASEAN. Ketidaksamaan pendekatan yang ingin digunakan oleh ketiga pihak tersebut menyebabkan konflik ini terus berlanjut hingga sekarang.

Konflik Internal Thailand sebagai Penghambat Perundingan 
Secara formal, Thailand dan Kamboja sebenarnya sudah mau duduk bersama dalam pertemuan yang difasilitasi ASEAN seperti yang yang dilakukan pada 22 Februari 2011 di Jakarta. Kala itu, menteri luar negeri kedua negara sepakat  untuk menerima tim pemantau dari Indonesia. Hasil pertemuan ini juga menyepakati pertemuan JBC di Bogor pada April 2011 yang seharusnya juga melibatkan menteri pertahanan kedua negara. Jika Perdana Menteri (PM) Kamboja, Hun Sen, menyatakan dukungannya atas keputusan ini, maka sikap yang berbeda ditunjukkan pihak Thailand. Menteri Pertahanan Thailand, Prawit Wongsuwan, menyatakan tidak akan menghadiri JBC tersebut dan menolak kehadiran tim pemantau dari Indonesia di wilayah yang disengketakan karena dianggap sebagai wujud campur tangan pihak luar (The Nation, 25 Maret 2011). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pandangan dalam domestik Thailand sendiri antara kementerian luar negeri dengan kementerian pertahanan.

Jika melihat latar belakang politik Thailand di mana kekuatan militer sangat berpengaruh, maka masa depan perundingan yang difasilitasi ASEAN akan semakin suram. Sebagai perbandingan, Menteri Luar Negeri Thailand pada kabinet ke-57 dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi karena mendukung pendaftaran Candi Preah Vihear sebagai situs warisan dunia oleh Kamboja, padahal sebelumnya Menteri Pertahanan Thailand memprotes pendaftaran tersebut. Oleh karena itu, peran Perdana Menteri Thailand dalam melakukan koordinasi internal kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand sebagai satu kesatuan, sehingga usaha untuk menegosiasikan kepentingan nasional masing-masing negara menjadi keputusan yang win-win solution bisa lebih mudah diwujudkan.

Peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN
Walaupun penyelesaian konflik dengan mendudukkan Thailand dan Kamboja secara bersama belum menunjukkan hasil, Indonesia melalui kementerian luar negeri terus bergerak mencari celah dengan mengadakan pertemuan informal secara terpisah dengan Kamboja dan Thailand. Indonesia setidaknya tidak perlu merisaukan Kamboja karena negara ini telah menunjukkan itikad baik dengan bersedia mendatangkan menteri luar negerinya pada pertemuan JBC awal bulan ini, dan juga bersedia menerima tim pemantau dari Indonesia. Hal yang harus dirisaukan Indonesia adalah sikap Thailand yang masih bercabang. Di satu sisi, Kementerian Luar Negeri Thailand mau menerima pendekatan yang ditawarkan ASEAN. Di sisi lain, kementerian pertahanannya bersikeras menggunakan pendekatan bilateral tanpa campur tangan Indonesia. Tampaknya, Indonesia harus lebih intensif melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri luar negerinya tetapi seluruh pihak yang berkepentingan dalam kabinet Thailand. Secara khusus, Indonesia melalui kementerian pertahanan dan TNI harus bisa mendekati militer Thailand yang punya pengaruh besar dalam peta politik Thailand. Hal ini perlu dilakukan karena pernyataan terbaru PM Abhisit Vejjajiva yang menyiratkan bahwa Thailand tetap bertahan untuk menggunakan jalur bilateral menunjukkan bahwa apa yang sudah diusahakan dan disepakati Menteri Luar Negeri Thailand, Kamboja, dan Indonesia pada 22 Februari 2011 seolah tidak berarti. Selain itu,  Indonesia juga harus berani mengadakan diplomasi tingkat tinggi antar kepala negara. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta pemimpin negara ASEAN lainnya seharusnya memberikan perhatian yang lebih terhadap isu ini tanpa harus terjebak pada ketakutan terhadap tuduhan intervensi.

Oleh karena itu, Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN yang akan diadakan pada 7-9 Mei 2011 nanti menjadi sangat krusial karena akan mempertemukan perdana menteri dari kedua negara, di mana sikap resmi Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva sebagai perwakilan tertinggi Thailand akan sangat menentukan proses penyelesaian konflik perbatasan Thailand-Kamboja

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger