A. Pendahuluan
Konstruktivisme muncul di tengah perdebatan antara teori-teori yang digolongkan ke dalam aliran materialisme-rasionalisme seperti realisme, neorealisme, neoliberalisme, liberalisme/pluralisme, Marxisme dengan teori-teori radikal yang digolongkan ke dalam aliran reflektivis seperti teori kritis, feminisme dan postmodernisme. Perdebatan kedua aliran tersebut terkait dengan pondasi ilmu hubungan internasional yang dalam bahasa filsafat disebut dengan perdebatan ontologis dan epistemologis. Aliran rasionalisme menganggap bahwa ada sesuatu di luar sana (fakta materi) yang independen dari pengetahuan kita, sedangkan reflektivis menganggap bahwa tidak ada sesuatu di luar sana yang terpisah dari pengaruh konstruksi pengetahuan subyek dan interaksi dengan lingkungannya. Semua femomena yang ada adalah hasil dari konstruksi sosial. Dengan kata lain rasionalis menganggap bahwa fakta itu ada sedangkan reflektivis tidak mengakui adanya fakta.
Dalam konteks inilah konstruktivisme muncul sebagai suatu jalan tengah atau jembatan antara perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme, critical theori. Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah (given) ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia (reflektifis).
Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya given dan tidak juga sepenuhnya nihil (tidak ada). Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh (fakta) evidence yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak menentukan bagaimana kita (manusia) melihat realitas sosial. Sebaliknya relitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial). Dalam definisi Emanuel Adler, konstruktivisme merujuk pandangan yang melihat bahwa terdapat suatu pola di mana dunia materi pada dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi-interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda (antara manusia satu dengan manusia lainnya) karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Jika kita akan memakan roti makan bukan roti itu yang menentukan pisau apa yang akan kita pakai untuk mengirisnya, sebaliknya konstruksi pikiran kitalah yang menentukan pisau jenis apa yang tepat menurut kita, atau sangat terbuka kemungkinan kita untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut pisau asalkan menurut pikiran kita alat tersebut bisa digunakan untuk mengiris roti.
Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas tentang ontologi dan posisi ontologis konstruktivisme di antara teori-teori hubungan internasional. Bagian kedua menjelaskan tentang bagaimana konstruktivisme melihat realitas hubungan internasional.
B. Ontologi Konstruktvisme
Konstruktivis muncul sebagai suatu pendekatan yang penting di dalam hubungan internasional karena posisi ontologisnya yang secara nyata berbeda dari pendekatan-pendekatan rasionalis yang lebih dulu ada dan sangat dominan. Konstruktivis muncul memberikan alternatif lain di dalam melihat hubungan internasional yang selama ini didominasi oleh pemahaman materialis-rasionalis yang berbasiskan pada materi. Teori-teori itu mengklaim bahwa negara ataupun power actors pada umumnya, telah mengetahui dengan pasti apa kepentingan mereka, serta mengetahui bagaimana cara mewujudkannya. Bagi rasionalis, logika yang berlaku adalah negara merupakan aktor rasional yang selalu mengejar power atau selalu memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya.
Sebaliknya, konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial. Proses tersebut dapat dilihat pada figure berikut:
Gambar 1
Kerangka Berpikir Konstruktivis
Sumber: Ronald L Jepperson,et.all, Norms, Identity, and Culture in National Security, dalam Peter J. Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, Columbia University Press, New York, 1996, hal. 53.
Secara sederhana proses itu bisa dijelaskan dengan identitas seseorang di dalam masyarkat. Identitas seseorang ada bermacam-macam terkait dengan institutional role yang diperankannya. Misalnya seseorang bisa saja berperan sebagai Saudara, Anak, Guru, dan Warga negara. Komitmen dan kepentingan yang terdapat di dalam berbagai identitas itu berbeda-beda, namun masing-masing identitas tersebut semuanya merupakan definisi sosial terhadap aktor di mana aktor-aktor mengikatkan diri mereka sendiri antara satu dengan lainnya. Identitas-identitas itu kemudian membentuk struktur sosial ( social world).
Selanjutnya identitas aktor akan menentukan kepentingannya, karena identitas merupakan dasar dari kepentingan. Aktor tidak memiliki kepentingan yang tidak didasarkan pada identitas yaitu yang secara independen dimilikinya di dalam konteks sosial. Aktor mendefinisikan kepentingannya di dalam proses mendefinisikan situasi. Seorang politisi memiliki kepentingan untuk dipilih kembali karena Ia merasa dirinya sebagai politisi; Profesor memiliki kepentingan untuk mendapatkan jabatan karena Ia melihat dirinya adalah seorang profesor. Proses terbentuknya identitas dan kepentingan disebut sebagai “socialization”. Sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran (learning) untuk penyesuaian diri -tingkah laku (behavioral) seseorang- dengan ekspektasi sosialnya.
Selain digolongkan ke dalam kelompok teori idealis, konstruktivis juga dapat dimasukkan ke dalam kategori teori sistem. Penggolongan ini di dasarkan pada posisi konstruktivis yang menjelaskan tingkah laku aktor pada level sistem/struktur. Konstruktivis mengasumsikan bahwa suatu unit yang kemudian disebut agent dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang mengelilinginya. Teori-teori yang mengambil sudut pandang dari posisi struktur selanjutnya disebut dengan teori holisme. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa identitas, tingkah laku dan kepentingan seorang individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat ia bersosialisasi. Jadi identitas, perilaku, dan kepentingan individu tidak secara alamiah ada dengan sendirinya dan murni muncul dari dalam individu itu sendiri, akan tetapi merupakan bentuk dari pengaruh lingkungan sosial terhadap individu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konstruktivisme terletak di dalam kelompok teori yang idealism-holism.
Posisi konstruktivis sebagai teori yang idealism-holism dijelaskan oleh Alexander Wendt dengan menggunakan mapping struktur teorisasi. Wendt membagi teori-teori sosial ke dalam empat kuadran yaitu materialis-individualism yang menekankan pada peran human nature yang sangat penting di dalam terbentuknya national interest; Materialis-holism menyatakan bahwa the properties of agent dikonstruksi di dalam level internasional dengan basis material; Idealis-individualism menyatakan bahwa identitas dan kepentingan kepentingan negara diciptakan oleh politik domestik dan mempunyai social view terhadap terbentuknya sistem internasional; Kategori terakhir yaitu idealism-holism merujuk pada pandangan bahwa struktur internasional secara fundamental terdiri dari shared knowledge, dan hal itu tidak hanya mempengaruhi tingkah laku negara tetapi juga memebentuk identitas dan kepentingan negara.
Gambar 2
A Map of Structural Theorizing (Locating International Theories)
Sumber: Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University, 1999, hal 29 & 32
Konstruktivis, terletak di kuadran atas sebelah kanan, satu kelompok dengan english school, world society, postmodern IR dan feminist IR. Letak konstruktivis di sebelah kanan (paling kanan) itu menegaskan bahwa konstruktivis dibangun di atas asumsi-asumsi idealis yang menempatkan norma, ide, nilai dan budaya sebagai sesuatu yang utama yang menentukan bentuk identitas, kepentingan dan perilaku aktor (negara). Sedangkan posisi konstruktivis di kuadran atas menegaskan bahwa perilaku negara dijelaskan pada level struktur. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealism-holism.
Dari kategorisasi tersebut kemudian dapat diperjelas bahwa pada dasarnya konstruktivis memiliki 4 (empat) prinsip dasar yaitu:
a) Pengutamaan faktor-faktor yang berbasiskan pada ide (ideational factors). Konstruktivis menolak teori-teori dominan dalam HI yang menempatkan faktor material secara berlebihan, di mana hal itu menyebabkan teori-teori tersebut gagal dalam menjelaskan perilaku negara di dalam sistem internasional. Menurut konstruktivis, norma-norma sifatnya otonom dan norma membentuk dan menentukan perilaku negara di dalam sistem internasional. Norma tidak hanya berfungsi untuk mengatur (regulatory) namun lebih dari itu membentuk (constitutive) perilaku negara.
b) Kepentingan agent didasarkan/ditentukan oleh konstruksi identitasnya yang terbentuk di dalam/ melalui interaksi sosial.
c) Komunikasi antar aktor dan norma (moral norms) akan menentukan tingkah laku aktor tersebut. Aktor akan cenderung berprilaku sesuai dengan norma yang disepakati bersama.
d) Pentingnya perubahan sejarah internasional. Identitas agent akan berubah sejalan dengan perubahan struktur internasional.
C. Pandangan Konstruktivis tentang Realitas Hubungan Ilnternasional
Pandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk membantah pandangangan neorealis. Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive. Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik. Jadi jika negara A menyerang negara B, kemudian B melakukan tindakan defense, maka itu disebabkan semata-mata hanya oleh faktor sifat alamiah manusia atau politik domestik. Jadi sistem internasional yang anarkis dan negara adalah sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Semua perilaku negara terjadi di dalam sistem anarkis itu tanpa ada pengaruh apapun dari perilaku negara-negara terhadap sistem tersebut. Neorealis tidak melihat bahwa “practices” negara menentukan karakter anarchy. Dalam pandangan neorealis anarchy adalah sistem yang sifatnya self- help dan ditentukan oleh persaingan power politics, di mana keduanya adalah given oleh struktur sistem negara.
Konstruktivis tidak dalam posisi untuk menolak asumsi anarkis itu, namun memberikan argumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga memberikan “bentuk” terhadap struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menyebabkan terjadinya interaksi subyektifitas, dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain--- yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self-- memunculkan konsep intersubyektifitas. Intersubyektifitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Masing-masing pihak di dalam proses interaksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu bisa berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Terkait dengan asumsi neorealis yang menyatakan bahwa sistem internasional diwarnai oleh adanya distribution of power dan hal itu mempengaruhi negara-negara dalam melakukan kalkulasi, konstruktivis menegaskan bahwa bagaimana mungkin kalkulasi itu terjadi jika tidak ada “distribution of knowledge” di antara negara-negara di dalam sistem internasional tersebut. Distribusi knowledge tersebut akan menentukan atau membentuk konsepsi negara-negara tentang self dan other. Jika tidak ada distribusi knowledge yang menjadi dasar terbentuknya collective meanings bagaimana bisa suatu negara menganggap suatu negara lain adalah “teman” atau aliansinya sementara negara suatu negara lainnya adalah musuhnya. Jadi intersubjective understandings dan ekspektasilah yang menentukan konsepsi negara tentang self dan other.
Sebagai contoh mengapa AS menganggap Kuba adalah musuhnya sedangkan Kanada adalah sekutunya. Secara geografis, kedua negara tersebut adalah tetangga AS. Demikian juga mengapa kepemilikan nuklir Iran dianggap berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya sementara kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Perbedaan-perbedaan persepsi yang selanjutnya menjadi perbedaan sikap terhadap others tersebut menurut Wendt disebabkan oleh adanya collective meanings yang tercipta di dalam interaksi. Tanpa adanya perbedaan meanings maka sudah tentu AS akan menganggap berbahaya semua negara tetangganya dan semua negara yang memiliki kekuatan senjata nuklir, atau sebaliknya AS akan menganggap semua negara adalah temannya. Contoh lain misalnya, mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir jika AS dan Uni Soviet masih menganggap bahwa mereka adalah musuh. Jadi jelas bahwa Perang berakhir karena kedua belah pihak sudah menganggap pihak lainnya bukan lagi musuh. Contoh sederhana lainnya yaitu jika masyarakat sudah lupa tentang apakah universitas itu, maka powers dan practices profesor dan mahasiswa tidak akan ada lagi.
Untuk memperjelas bagaimana konstruktivis memandang realitas hubungan internasional berikut akan dijelaskan tentang varian-varian konstruktivis. Pembagian berikut tentu saja tidak mencakup semua bentuk varian konstruktivis seperti varian John Gerard Ruggie, Friedrich Kratochwil, Nicholas Onuf dan Reus Smith. Hal ini penting untuk diutarakan mengingat satu varian akan sangat berbeda sisi/ bagian penekanannya dibandingkan dengan varian lainnya. Menurut John M. Hobson, konstruktivis dapat dibedakan berdasarkan pada dua kondisi yaitu, pertama, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan dometik (domestic agential state power). Kedua, yaitu, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan internasional (international agential state power).
Berdasarkan dua kondisi tersebut konstruktivis dapat dibagi menjadi tiga varian yaitu: pertama, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam international society-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa kemampuan untuk membuat kebijakan sangat ditentukan oleh lingkungan internasional, sedangkan lingkungan domestik sangat kecil pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan. (The theory of the low domestic agential power of the state and high international agential state power). Salah satu teoritisi yang termasuk di dalam varian ini adalah Martha Finnemore. Menurut dia, HI sangatlah agent-centric. Ia mengasumsikan bahwa negara tidak selalu mengetahui apa yang diinginkannya, sehingga pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana kepentingan negara ditentukan (defined)? Identitas dan kepentingan negara menurutnya ditentukan oleh struktur norma internasional. Oleh karena itu perilaku negara harus dianalisa pada level sistem.
Kedua, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam radical-constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik sangat kecil di dalam pembuatan kebijakan suatu negara. Sedangkan pengaruh lingkungan internasional tidak terlalu besar (moderat). (The theory of the very low domestic agential power of the state but moderate international agential sate power). Konstruktivisme radikal menurut Hobson adalah postmodernisme. Menurut varian ini, proses pembentukan identitas negara yang dipengaruhi oleh norma global menyebabkan munculnya kekerasan, penindasan, penderitaan dan marginalisasi kaum minoritas. Selain itu varian ini juga mengasumsikan bahwa kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang terbentuk dari basis materi, tetapi sesuatu yang socially construct. Lebih spesifik varian ini mengatakan bahwa kedaulatan, perbatasan, legitimasi, bangsa atau komunitas politik domestik, haruslah dilihat dalam konteks proses yang masih berlangsung dan bukan sesuatu yang telah usai (finished or completed).
Ketiga, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam state-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik maupun lingkungan internasional sama-sama rendah atu moderat. (The theory of the low/moderate domestic agential power of the state and moderate/high international agential state power). Salah satu tokoh utama varian ini adalah Peter J. Katzenstein. Ia mengatakan bahwa teori sistem (systemic theory) tidak mampu menjelaskan perilaku negara, karena, teori sistem memperlakukan negara sebagai suatu kotak hitam (black-boxes) sehingga gagal dalam menjelaskan hubungan antar struktur di dalam negara yang sifatnya kompleks. Katzenstein mengasumsikan bahwa setiap negara berbeda secara internal, dan hal itu menentukan perilaku mereka di dalam sistem internasional.
D. Kesimpulan
Konstruktivisme memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perkembangan teori-teori hubungan internasional. Kehadiran konstruktivisme yang sering disebut sebagai jembatan (via media) antara teori-teori rasionalis dengan reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan cara pandang baru atas realitas hubungan internasional. Barry Buzan membuktikan hal itu dengan teori sekuritisasi (securitization) di mana ia berhasil menggabungkan antara pendekatan rasionalis terutama realis dengan pendekatan reflektifis seperti teori kritis dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dibangun oleh konstruktivis.
Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis yang cukup mumpuni ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara. Sebagai contoh misalnya, realis tidak dapat memberikan penjelasan memuaskan mengapa Perag Dingin berakhir, mengapa Amerika Serikat di satu sisi menentang keras program nuklir Iran tetapi di sisi lain membiarkan (untuk tidak mengatakan mendukung sepenuhnya) program nuklir Pakistan, India dan Israel. Terkait dengan sikap AS terhadap rezim-rezim otriter juga menjadi pertanyaan besar yang tidak bisa dijawab oleh teori rasionalis seperti liberalism yaitu mengapa AS menyerang Irak dengan alasan penyebaran demokrasi tetapi pada sisi lain konsisten mendukung rezim paling totaliter seperti Arab Saudi.
DAFTAR PUSTAKA
Hay,Collin, Structure and Agency, dalam David Marsh and Gerry Stoker (eds), Theory and Methodes in Political Science. London: Macmillan Press, 1995.
Hobson,John M., The State and the International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
-------------------., What’s at Stake in ‘Bringing historical sociology Back into International relations? Transcending ‘Cronofetishm’ and ‘tempocentrism’ in International Relations, dalam Stephen Hobden and John M. Hobson (eds), Historical Sociology of International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
Jepperson,Ronald L. et.all, Norms, Identity, and Culture in National Security, dalam Peter J. Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York: Columbia University Press, 1996.
Marsh, David and Paul Furlong, Chapter 1: A Skin not a Swater: Ontology and Epistemology, in Political Science. hal 17. dalam http://www.palgrave.com
Nau, Henry R. Identity and the Balance of Power in Asia, dalam G. John Ikenberry and Michael Mastanduno (eds), International Relations Theory and The Asia-Pacific. New York: Columbia University Press, 2003.
Reus-Smit, Cristian, The Idea of History and history with Ideas, dalam Stephen Hobden and John M. Hobson (eds), Historical Sociology of International Relations. Cambridge: Cambridge University Pres, 2002.
Ringmar, Erik, and Alexander Wendt: A Social Scientist Struggling with History, dalam Iver B. Neumann and Ole Waever (ed), The Future of Internasional Relations, Masters in the Making, Routledge, London, 1997, hal. 276.
Shmidt, Brian C,. The Political Discourse of Anarchy: A Disclipinary History of International Relations. New York: State University of New York Press, 1998.
Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University, 1999.
Wendt, Alexander, Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics, International Organization. MIT Press, Vol. 46, No. 2 (Spring 1992).
Zehfuss, Maja, Constructivism in International Relations, The Politics of Reality, Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Posted by hary wibowo on 10.55
0 komentar:
Posting Komentar