DI ANTARA isyarat Orde perubahan di dunia Arab sukses bagi bangsa-bangsa Muslim kawasan paling tidak ada tiga, yakni masalah Palestina kembali menjadi isu sentral yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh, restrukturisasi persekutuan di kawasan dan kesenjangan perpecahan di kalangan intern negara-negara Arab serta antara dunia Arab dan negara-negara Muslim non Arab di kawasan makin kecil, meskipun belum mencapai tingkat solidaritas penuh.
Ketiga masalah itu sebenarnya saling terkait antara satu dengan yang lainnya, seperti perpecahan intern Palestina misalnya, sebagai cermin perpecahan di kalangan negara-negara Arab yang sebagian memihak Hamas, sebagaian lainnya memihak Fatah sesuai kepentingan masing-masing. Perpecahan tersebut juga berpengaruh terhadap persekutuan di kawasan, sebagian didikte Barat terutama AS agar mempererat persekutuan dengan negara tertentu, sebagian menolaknya sehingga memilih persekutuan dengan negara lainnya yang dinggap bersebrangan dengan Barat.
Selain penyelesaian masalah dalam negeri masing-masing, ketiga masalah tersebut diatas pantas menjadi perhatian pengamat, pemerhati dan publik bangsa-bangsa kawasan khususnya dan dunia Islam umumnya untuk mengukur sukses tidaknya orde perubahan yang masih berlangsung saat ini. Yang paling utama dicatat dari orde perubahan ini, bukan melihat pergantian kekuasaan, akan tetapi perubahan kebijakan.
Bisa saja rejim di sebagian negara-negara kawasan masih tetap bertahan di tengah ``badai`` tuntutan perubahan, namun yang utama, perubahan kebijakan sesuai tuntutan rakyat termasuk yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri yang sebelumnya sangat menguntungkan Israel dan sekutu-sekutunya di barat. Tidak ada artinya bila rejim berubah namun kebijakan tetap seperti semula atau bahkan lebih buruk sehingga perubahan yang diharapkan dapat memulihkan kembali harga diri bangsa-bangsa kawasan justeru berujung kepada keterpurukan yang makin parah.
Terkait dengan isu Palestina, paling mendesak untuk diselesaikan adalah rekonsiliasi intern Palestina yang bibit-bibit perpecahannya mulai terasa pasca persetujuan Oslo 1993, kemudian semakin mencuat ketika faksi Gerakan Perlawanan Islam Palestina yang lebih dikenal dengan Hamas memenangi suara mayoritas pemilu Palestina Januari 2006 mengakhiri dominasi Fatah selama 40 tahun. Hasil pemilu yang oleh dunia Barat sendiri disebut sebagai paling demokratis di Arab itu tidak sesuai dengan harapan Israel dan sekutu-sekutunya.
Walaupun Hamas mendapatkan dukungan mayoritas rakyat Palestina lewat pemilu jurdil Januari 2006, namun justeru kemenangan inilah pangkal permasalahan karena Israel yang didukung AS menolak berunding dengan Hamas yang dituduh sebagai gerakan terorisme. Dunia Arab, terutama Mesir dibawah rejim sebelumnya, selaku pemrakarsa rekonsiliasi terutama pada 2005, 2009 dan 2010, tidak bisa menolak kehendak AS dan Israel sehingga tidak bisa berlaku adil sebagai penengah.
Akibatnya, prakarsa rekonsiliasi sebelum-sebelumnya terkesan hanya basa-basi untuk ``mengelabui`` publik Arab bahwa para pemimpin Arab tetap memperhatikan masalah Palestina sebagai isu sentral Arab. Di lain pihak, faksi-faksi yang bertikai juga tidak sepenuh hati melaksanakan isi kesepakatan rekonsiliasi sebab kehadiran mereka juga sebatas basa-basi agar tidak dianggap sebagai penyebab gagalnya setiap usaha rujuk nasional.
Sejak kemenangan Hamas 2006, telah beberapa kali dilakukan upaya rekonsiliasi oleh beberapa negara Arab, misalnya pada 2007 oleh Arab Saudi lewat pertemuan Mekkah, kemudian pada 2008 oleh Yaman, lalu kembali ke Mesir pada 2009. Bahkan pada Oktober 2010, dipastikan kedua faksi tersebut menandatangani kesepakatan namun ternyata gagal karena sulit dicapai titik temu disebabkan salah satu faksi mengusung keinginan penjajah Israel, dan negara penengah pun lebih memihak kepada salah satu faksi itu.
Intinya, tujuan rekonsiliasi sebelumnya yang menyebabkan selalu gagal adalah, rejim lama Mesir menginginkan agar faksi-faksi Palestina digeret untuk tunduk kepada rancangan Israel ke dalam perundingan yang sia-sia tanpa penyelesaian. Karena tujuan setiap perundingan ``damai`` selama ini hanya satu yakni memaksa seluruh faksi Palestina menjadi pengawal keamanan Israel dan pemukim-pemukim (baca: pencaplok-pencaplok) Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki.
Karena itu, hampir seluruh faksi Palestina kecuali Fatah selalu menolak perundingan yang agendanya hanya difokuskan pada keamanan si negeri zionis itu tanpa ada ujung penyelesaian yang menyangkut kemerdekaan Palestina. Janji-janji kemerdekaan (meskipun minus kedaulatan penuh) yang disampaikan Israel dan sekutu-sekutunya hanya sebatas janji, sebab ketika batas waktu tiba, selalu saja ada alasan untuk berkelit.
Namun kesepahaman yang dicapai di Kairo Rabu (27/4) berbeda dari sebelum-sebelumnya karena suasana dunia Arab terutama Mesir selaku penengah berbeda setelah keberhasilan rakyat negeri itu menumbangkan rejim lama yang sangat ``manut`` kepada Israel. Penandatanganan inisial (paraf) dilakukan oleh Moussa Abu Marzouk, wakil kepala politbiro Hamas, dan Azzam al-Ahmad, anggota Komite Sentral Fatah yang selanjutnya direncanakan akan ditandatangani oleh Presiden Mahmoud Abbas dan Khalid Mashaal, ketua politbiro Hamas, Kamis (5/5) di Kairo.
Berubah
Posisi Mesir selaku penengah pasca tumbangnya rejim Hosni Mubarak telah berubah yang tadinya hanya memperjuangkan kepentingan Fatah dan menekan Hamas menjadi penengah yang sebisa mungkin memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina. Posisi negeri Lembah Nil itu, utamanya merujuk kepada aspirasi rakyat Palestina sehingga tidak ada lagi faksi tertentu yang dianakemaskan.
Isyarat perubahan sikap tersebut misalnya dapat dilihat dari pernyataan PM Mesir, Essham Sharaf setelah penandatangan kesepahaman itu, tentang prioritas kebijakan negaranya menyangkut Palestina ke depan yakni memperjuangkan tercapainya penyelesaian damai dan berdirinya negara Palestina merdeka bukan mengupayakan perundingan ke perundingan yang tak bertepi seperti yang diinginkan Israel.
Menlu Mesir, Nabil al-Arabi seusai paraf kesepahaman juga menyampaikan kabar gembira tentang rencana negaranya untuk segera membuka pintu perbatasan Rafah dan menghentikan embargo atas warga Gaza. Bahkan pada hari Ahad (1/5), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Mesir mengumumkan secara resmi pembukaan pintu perbatasan Rafah secara permanen yang direspon khawatir oleh Israel.
Sebagaimana diketahui Menlu al-Arabi akhir-akhir ini dikenal vokal mengeritik kebijakan negaranya pada masa rejim lama, terkait embargo Gaza, terutama setelah serangan biadab Israel pada 27 Desember 2008 – 18 Januari 2009, yang dinilainya memalukan dan keterpurukan negerinya akibat perjanjian Camp David 1979 yang diterjemahkan sesuai kehendak Israel. Pada Minggu (1/5), Kemlu Mesir juga dilaporkan mendesak AS agar segera mengakui kemerdekaan Palestina.
Dibawah pemerintahan orde perubahan saat ini, sangat tepat bila kedua faksi utama yang bertikai (Fatah-Hamas) kembali mempercayakan Mesir, selaku negara Arab terbesar dan berpengaruh, menjadi penengah konflik intern Palestina. Kedua faksi ini, terutama Hamas merasa bahwa Mesir revolusi telah berubah 180 derajat dalam penanganan masalah Palestina yang sejalan dengan aspirasi rakyat Mmesir yang mendesak agar penderitaan bangsa Palestina dari penindasan penjajah zionis segera berakhir.
Di lain pihak Fatah tidak lagi gentar terhadap ancaman Israel seperti yang dinyatakan PM, Benjamin Netanyahu ``otoritas Palestina silahkan memilih perdamaian dengan Hamas atau Israel``. Kantor Kepresidenan Mahmoud Abbas di Ramallah bahkan membalas ancaman tersebut dengan menyatakan ``Israel silahkan memilih perdamaian atau (kelanjutan) pemukiman Yahudi (di wilayah pendudukan Palestina)``.
Seperti halnya bangsa-bangsa Arab yang telah hilang haajiz el-khouf (rasa takut) dari para penguasa diktator, pimpinan otoritas Palestina nampaknya juga telah hilang rasa khawatir dan takut dari ancaman Israel dan AS. Sebagaimana diketahui kedua negara tersebut secara serentak mengeluarkan berbagai ancaman begitu otoritas Palestina menyetujui kesepahaman yang diprakarsai Mesir itu.
Tel Aviv sangat khawatir dengan rujuknya Fatah-Hamas karena sadar bahwa persatuan nasional Palestina adalah senjata paling berbahaya yang diarahkan ke tubuh negeri zionis tersebut. Apalagi rujuk tersebut berlangsung pada saat dunia Arab sedang dilanda ``badai`` perubahan diantaranya berhasil menjatuhkan rejim Mubarak yang dinilai sebagai tulang punggung negara-negara Arab yang berhubungan erat dengan Israel.
Karena itu, banyak pengamat Arab memandang bahwa kesepahaman Fatah-Hamas kali ini akan bertahan dan menjadi fondasi kuat ke arah kesatuan sikap faksi-faksi Palestina menghadapi zionis. Sikap optimis ini didasari pada dua kenyataan penting yakni, pertama, rekonsiliasi adalah tuntutan seluruh bangsa Palestina sebagaimana perubahan adalah tuntutan seluruh bangsa Arab.
Kenyataan kedua, rekonsiliasi tersebut berlangsung di Mesir revolusi yang telah berubah pasca jatuhnya rejim Mubarak yang digambarkan oleh sebagian pengamat ibarat raksasa yang bangun dari tidurnya di tengah puing-puing perbudakan AS dan Israel. Dilpomasi negeri ini kembali difokuskan pada kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan sehingga dapat sebagai penggerak utama perubahan perimbangan strategis di kawasan di masa mendatang.
Isu inti
Kesepahaman yang dicapai Fatah dan Hamas dilaporkan berkisar pada lima hal yaitu pemilu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), keamanan, pemerintahan dan lembaga legislatif. Menyangkut pemilu, kedua faksi sepakat tentang pembentukan komite pemilu, mahkamah pemilu dan waktu pelaksanaannya yang dicanangkan setahun setelah penandatangan kesepakatan nasional.
Sedangkan mengenai PLO, disebutkan bahwa keputusan pimpinan sementara Palestina tidak dapat digagalkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan PLO. Sementara menyangkut keamanan, kedua faksi sepakat untuk membentuk Komite Tinggi Keamanan berdasarkan keputusan Presiden yang keanggotaannya terdiri dari perwira profesional yang ditunjuk sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Adapun yang berkaitan dengan pemerintahan, kedua faksi sepakat membentuk kabinet persatuan yang PM dan para menterinya ditunjuk berdasarkan kesepakatan. Tugas utama pemerintahan antara lain menciptakan situasi kondusif bagi pelaksanaan pilpres, pemilu legislatif dan Dewan Nasional Palestina.
Tugas lainnya adalah mengawasi rekonstruksi Gaza dan mengakhiri blokade, menyelesaikan persoalan sipil dan birokrasi akibat perpecahan sebelumnya serta menyatukan lembaga-lembaga nasional di Tepi Barat, Gaza dan Al-Quds. Sedangkan yang terkait dengan Lembaga Legislatif, kedua pihak sepakat untuk mengaktifkan kembali Parlemen Palestina.
Dari naskah rekonsiliasi tersebut, terkesan bahwa isu inti seperti perjuangan bersenjata melawan penjajah, hak kembali pengungsi Palestina dan koordinasi keamanan dengan Israel tidak disinggung sehingga sebagian pengamat Arab khawatir bila kedua faksi sepakat untuk mengenyampingkannya. ``Dari kesepakatan tersebut kita mendapat gambaran bahwa perselisihan kedua faksi ternyata hanya sebatas konflik marginal (sampingan) bukan inti karena hanya terfokus pada pemilu dan kekuasaan,`` papar Dr. Adnan Bakaria, seorang analis Arab, dalam tulisannya Jum`at (29/4).
Ketelitian Dr. Adnan tersebut memang benar karena isu-isu inti yang selama ini dianggap sebagai penyebab utama konflik dua faksi utama Palestina itu tidak disebutkan. Menurut hemat penulis, isu-isu inti tersebut tidak mungkin dikesampingkan secara mutlak, namun naskah kesepahaman itu hanya sebagai dasar bagi penentuan kesatuan sikap Palestina ke depan termasuk yang berkaitan dengan isu-isu utama dimaksud sebab tidak ada lagi tempat bagi rekonsiliasi basa-basi di era perubahan saat ini.
Ketiga masalah itu sebenarnya saling terkait antara satu dengan yang lainnya, seperti perpecahan intern Palestina misalnya, sebagai cermin perpecahan di kalangan negara-negara Arab yang sebagian memihak Hamas, sebagaian lainnya memihak Fatah sesuai kepentingan masing-masing. Perpecahan tersebut juga berpengaruh terhadap persekutuan di kawasan, sebagian didikte Barat terutama AS agar mempererat persekutuan dengan negara tertentu, sebagian menolaknya sehingga memilih persekutuan dengan negara lainnya yang dinggap bersebrangan dengan Barat.
Selain penyelesaian masalah dalam negeri masing-masing, ketiga masalah tersebut diatas pantas menjadi perhatian pengamat, pemerhati dan publik bangsa-bangsa kawasan khususnya dan dunia Islam umumnya untuk mengukur sukses tidaknya orde perubahan yang masih berlangsung saat ini. Yang paling utama dicatat dari orde perubahan ini, bukan melihat pergantian kekuasaan, akan tetapi perubahan kebijakan.
Bisa saja rejim di sebagian negara-negara kawasan masih tetap bertahan di tengah ``badai`` tuntutan perubahan, namun yang utama, perubahan kebijakan sesuai tuntutan rakyat termasuk yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri yang sebelumnya sangat menguntungkan Israel dan sekutu-sekutunya di barat. Tidak ada artinya bila rejim berubah namun kebijakan tetap seperti semula atau bahkan lebih buruk sehingga perubahan yang diharapkan dapat memulihkan kembali harga diri bangsa-bangsa kawasan justeru berujung kepada keterpurukan yang makin parah.
Terkait dengan isu Palestina, paling mendesak untuk diselesaikan adalah rekonsiliasi intern Palestina yang bibit-bibit perpecahannya mulai terasa pasca persetujuan Oslo 1993, kemudian semakin mencuat ketika faksi Gerakan Perlawanan Islam Palestina yang lebih dikenal dengan Hamas memenangi suara mayoritas pemilu Palestina Januari 2006 mengakhiri dominasi Fatah selama 40 tahun. Hasil pemilu yang oleh dunia Barat sendiri disebut sebagai paling demokratis di Arab itu tidak sesuai dengan harapan Israel dan sekutu-sekutunya.
Walaupun Hamas mendapatkan dukungan mayoritas rakyat Palestina lewat pemilu jurdil Januari 2006, namun justeru kemenangan inilah pangkal permasalahan karena Israel yang didukung AS menolak berunding dengan Hamas yang dituduh sebagai gerakan terorisme. Dunia Arab, terutama Mesir dibawah rejim sebelumnya, selaku pemrakarsa rekonsiliasi terutama pada 2005, 2009 dan 2010, tidak bisa menolak kehendak AS dan Israel sehingga tidak bisa berlaku adil sebagai penengah.
Akibatnya, prakarsa rekonsiliasi sebelum-sebelumnya terkesan hanya basa-basi untuk ``mengelabui`` publik Arab bahwa para pemimpin Arab tetap memperhatikan masalah Palestina sebagai isu sentral Arab. Di lain pihak, faksi-faksi yang bertikai juga tidak sepenuh hati melaksanakan isi kesepakatan rekonsiliasi sebab kehadiran mereka juga sebatas basa-basi agar tidak dianggap sebagai penyebab gagalnya setiap usaha rujuk nasional.
Sejak kemenangan Hamas 2006, telah beberapa kali dilakukan upaya rekonsiliasi oleh beberapa negara Arab, misalnya pada 2007 oleh Arab Saudi lewat pertemuan Mekkah, kemudian pada 2008 oleh Yaman, lalu kembali ke Mesir pada 2009. Bahkan pada Oktober 2010, dipastikan kedua faksi tersebut menandatangani kesepakatan namun ternyata gagal karena sulit dicapai titik temu disebabkan salah satu faksi mengusung keinginan penjajah Israel, dan negara penengah pun lebih memihak kepada salah satu faksi itu.
Intinya, tujuan rekonsiliasi sebelumnya yang menyebabkan selalu gagal adalah, rejim lama Mesir menginginkan agar faksi-faksi Palestina digeret untuk tunduk kepada rancangan Israel ke dalam perundingan yang sia-sia tanpa penyelesaian. Karena tujuan setiap perundingan ``damai`` selama ini hanya satu yakni memaksa seluruh faksi Palestina menjadi pengawal keamanan Israel dan pemukim-pemukim (baca: pencaplok-pencaplok) Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki.
Karena itu, hampir seluruh faksi Palestina kecuali Fatah selalu menolak perundingan yang agendanya hanya difokuskan pada keamanan si negeri zionis itu tanpa ada ujung penyelesaian yang menyangkut kemerdekaan Palestina. Janji-janji kemerdekaan (meskipun minus kedaulatan penuh) yang disampaikan Israel dan sekutu-sekutunya hanya sebatas janji, sebab ketika batas waktu tiba, selalu saja ada alasan untuk berkelit.
Namun kesepahaman yang dicapai di Kairo Rabu (27/4) berbeda dari sebelum-sebelumnya karena suasana dunia Arab terutama Mesir selaku penengah berbeda setelah keberhasilan rakyat negeri itu menumbangkan rejim lama yang sangat ``manut`` kepada Israel. Penandatanganan inisial (paraf) dilakukan oleh Moussa Abu Marzouk, wakil kepala politbiro Hamas, dan Azzam al-Ahmad, anggota Komite Sentral Fatah yang selanjutnya direncanakan akan ditandatangani oleh Presiden Mahmoud Abbas dan Khalid Mashaal, ketua politbiro Hamas, Kamis (5/5) di Kairo.
Berubah
Posisi Mesir selaku penengah pasca tumbangnya rejim Hosni Mubarak telah berubah yang tadinya hanya memperjuangkan kepentingan Fatah dan menekan Hamas menjadi penengah yang sebisa mungkin memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina. Posisi negeri Lembah Nil itu, utamanya merujuk kepada aspirasi rakyat Palestina sehingga tidak ada lagi faksi tertentu yang dianakemaskan.
Isyarat perubahan sikap tersebut misalnya dapat dilihat dari pernyataan PM Mesir, Essham Sharaf setelah penandatangan kesepahaman itu, tentang prioritas kebijakan negaranya menyangkut Palestina ke depan yakni memperjuangkan tercapainya penyelesaian damai dan berdirinya negara Palestina merdeka bukan mengupayakan perundingan ke perundingan yang tak bertepi seperti yang diinginkan Israel.
Menlu Mesir, Nabil al-Arabi seusai paraf kesepahaman juga menyampaikan kabar gembira tentang rencana negaranya untuk segera membuka pintu perbatasan Rafah dan menghentikan embargo atas warga Gaza. Bahkan pada hari Ahad (1/5), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Mesir mengumumkan secara resmi pembukaan pintu perbatasan Rafah secara permanen yang direspon khawatir oleh Israel.
Sebagaimana diketahui Menlu al-Arabi akhir-akhir ini dikenal vokal mengeritik kebijakan negaranya pada masa rejim lama, terkait embargo Gaza, terutama setelah serangan biadab Israel pada 27 Desember 2008 – 18 Januari 2009, yang dinilainya memalukan dan keterpurukan negerinya akibat perjanjian Camp David 1979 yang diterjemahkan sesuai kehendak Israel. Pada Minggu (1/5), Kemlu Mesir juga dilaporkan mendesak AS agar segera mengakui kemerdekaan Palestina.
Dibawah pemerintahan orde perubahan saat ini, sangat tepat bila kedua faksi utama yang bertikai (Fatah-Hamas) kembali mempercayakan Mesir, selaku negara Arab terbesar dan berpengaruh, menjadi penengah konflik intern Palestina. Kedua faksi ini, terutama Hamas merasa bahwa Mesir revolusi telah berubah 180 derajat dalam penanganan masalah Palestina yang sejalan dengan aspirasi rakyat Mmesir yang mendesak agar penderitaan bangsa Palestina dari penindasan penjajah zionis segera berakhir.
Di lain pihak Fatah tidak lagi gentar terhadap ancaman Israel seperti yang dinyatakan PM, Benjamin Netanyahu ``otoritas Palestina silahkan memilih perdamaian dengan Hamas atau Israel``. Kantor Kepresidenan Mahmoud Abbas di Ramallah bahkan membalas ancaman tersebut dengan menyatakan ``Israel silahkan memilih perdamaian atau (kelanjutan) pemukiman Yahudi (di wilayah pendudukan Palestina)``.
Seperti halnya bangsa-bangsa Arab yang telah hilang haajiz el-khouf (rasa takut) dari para penguasa diktator, pimpinan otoritas Palestina nampaknya juga telah hilang rasa khawatir dan takut dari ancaman Israel dan AS. Sebagaimana diketahui kedua negara tersebut secara serentak mengeluarkan berbagai ancaman begitu otoritas Palestina menyetujui kesepahaman yang diprakarsai Mesir itu.
Tel Aviv sangat khawatir dengan rujuknya Fatah-Hamas karena sadar bahwa persatuan nasional Palestina adalah senjata paling berbahaya yang diarahkan ke tubuh negeri zionis tersebut. Apalagi rujuk tersebut berlangsung pada saat dunia Arab sedang dilanda ``badai`` perubahan diantaranya berhasil menjatuhkan rejim Mubarak yang dinilai sebagai tulang punggung negara-negara Arab yang berhubungan erat dengan Israel.
Karena itu, banyak pengamat Arab memandang bahwa kesepahaman Fatah-Hamas kali ini akan bertahan dan menjadi fondasi kuat ke arah kesatuan sikap faksi-faksi Palestina menghadapi zionis. Sikap optimis ini didasari pada dua kenyataan penting yakni, pertama, rekonsiliasi adalah tuntutan seluruh bangsa Palestina sebagaimana perubahan adalah tuntutan seluruh bangsa Arab.
Kenyataan kedua, rekonsiliasi tersebut berlangsung di Mesir revolusi yang telah berubah pasca jatuhnya rejim Mubarak yang digambarkan oleh sebagian pengamat ibarat raksasa yang bangun dari tidurnya di tengah puing-puing perbudakan AS dan Israel. Dilpomasi negeri ini kembali difokuskan pada kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan sehingga dapat sebagai penggerak utama perubahan perimbangan strategis di kawasan di masa mendatang.
Isu inti
Kesepahaman yang dicapai Fatah dan Hamas dilaporkan berkisar pada lima hal yaitu pemilu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), keamanan, pemerintahan dan lembaga legislatif. Menyangkut pemilu, kedua faksi sepakat tentang pembentukan komite pemilu, mahkamah pemilu dan waktu pelaksanaannya yang dicanangkan setahun setelah penandatangan kesepakatan nasional.
Sedangkan mengenai PLO, disebutkan bahwa keputusan pimpinan sementara Palestina tidak dapat digagalkan jika tidak bertentangan dengan kepentingan PLO. Sementara menyangkut keamanan, kedua faksi sepakat untuk membentuk Komite Tinggi Keamanan berdasarkan keputusan Presiden yang keanggotaannya terdiri dari perwira profesional yang ditunjuk sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Adapun yang berkaitan dengan pemerintahan, kedua faksi sepakat membentuk kabinet persatuan yang PM dan para menterinya ditunjuk berdasarkan kesepakatan. Tugas utama pemerintahan antara lain menciptakan situasi kondusif bagi pelaksanaan pilpres, pemilu legislatif dan Dewan Nasional Palestina.
Tugas lainnya adalah mengawasi rekonstruksi Gaza dan mengakhiri blokade, menyelesaikan persoalan sipil dan birokrasi akibat perpecahan sebelumnya serta menyatukan lembaga-lembaga nasional di Tepi Barat, Gaza dan Al-Quds. Sedangkan yang terkait dengan Lembaga Legislatif, kedua pihak sepakat untuk mengaktifkan kembali Parlemen Palestina.
Dari naskah rekonsiliasi tersebut, terkesan bahwa isu inti seperti perjuangan bersenjata melawan penjajah, hak kembali pengungsi Palestina dan koordinasi keamanan dengan Israel tidak disinggung sehingga sebagian pengamat Arab khawatir bila kedua faksi sepakat untuk mengenyampingkannya. ``Dari kesepakatan tersebut kita mendapat gambaran bahwa perselisihan kedua faksi ternyata hanya sebatas konflik marginal (sampingan) bukan inti karena hanya terfokus pada pemilu dan kekuasaan,`` papar Dr. Adnan Bakaria, seorang analis Arab, dalam tulisannya Jum`at (29/4).
Ketelitian Dr. Adnan tersebut memang benar karena isu-isu inti yang selama ini dianggap sebagai penyebab utama konflik dua faksi utama Palestina itu tidak disebutkan. Menurut hemat penulis, isu-isu inti tersebut tidak mungkin dikesampingkan secara mutlak, namun naskah kesepahaman itu hanya sebagai dasar bagi penentuan kesatuan sikap Palestina ke depan termasuk yang berkaitan dengan isu-isu utama dimaksud sebab tidak ada lagi tempat bagi rekonsiliasi basa-basi di era perubahan saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar