Normalisasi hubungan diplomatik Mesir-Iran

DALAM suasana roda perubahan dan tuntutan perubahan yang terus bergulir di dunia Arab dewasa ini, tentunya bangsa Arab khususnya dan bangsa-bangsa Muslim umumnya berharap perubahan tersebut membawa kebaikan terlepas dari sebagian dari usaha tersebut terpaksa mengundang campur tangan asing sebagaimana yang terjadi di negeri Libya sekarang ini. Bila terpaksa harus ada campur tangan dari luar seharusnya dari negara-negara sesama Muslim yang tidak memiliki kepentingan khusus.

Yang patut dihargai dan syukuri, dua kubu yang bertikai di Libya akhirnya sama-sama sepakat dengan upaya penengah dari Turki lewat ``peta jalan`` mengatasi krisis yang ditawarkan oleh pemerintahan PM Recep Tayyip Erdogan. Paling tidak campur tangan Turki guna menengahi pertikaian itu, sedikit mengobati karena seolah-olah pemerintah negara-negara Muslim terkesan sebagai penonton saja, meskipun sikap pemerintahan Erdogan sempat mengundang kecaman kubu revolusi.

Kembali kepada perubahan di dunia Arab, paling tidak ada satu catatan terpenting yang perlu dipertegas lagi bahwa perubahan tersebut akan memulihkan kembali harga diri bangsa-bangsa Muslim di kawasan karena lewat perubahan dimaksud tidak akan ada lagi kekuasaan otoriter yang menyebabkan mereka terpuruk selama lebih dari setengah abad. Seandainya ada rejim yang terus berusaha memutar balik jarum jam sejarah dipastikan tidak akan lama bertahan melawan aspirasi rakyat yang sudah tak lagi terhantui haajis al-khouf (rasa takut).

Tentunya ketika suatu bangsa berhasil memulihkan harga diri, tidak akan mudah lagi didekte secara membabi buta oleh negara-negara besar terutama yang terkait dengan kebebasan melaksanakan kebijakan luar negeri termasuk menentukan sekutu-sekutu strategis yang dapat memperkuat stabilitas dan keamanan dalam negeri serta memperkuat posisi bangsa-bangsa Muslim di kawasan tersebut.

Dari serangkaian perubahan yang terjadi dan masih berlangsung di dunia Arab saat ini, perubahan di Mesir dinilai sebagai salah satu tolok ukur utama arah kebijakan dunia Arab ke depan termasuk yang terkait dengan peninjauan kembali persekutuan strategis di kawasan Timur Tengah (Timteng). Betapa tidak, negeri Lembah Nil tersebut selain sebagai kekuatan militer terbesar di dunia Arab juga memiliki sumber daya manusia (SDM) terbesar dengan penduduk sekitar 85 juta jiwa lebih atau hampir sepertiga penduduk dari sekitar 300 juta penduduk Arab yang terdiri dari 22 negara.

Sejak tumbangnya rejim Husni Mubarak pada 11 Februari lalu, menandai era perubahan termasuk yang berkaitan dengan hubungan luar negeri setelah selama tiga dekade kekuasaannya peran negeri itu terpasung oleh tekanan AS dan Israel sebagai konsekwensi dari persetujuan Camp David tahun 1979. Di pertengahan hingga akhir-akhir masa kekuasaan rejim Mubarak, Mesir semakin tidak diperhitungkan karena ibaratnya berada di ketiak dua negara tersebut.

Sekarang setelah hampir dua bulan sejak orde perubahan, bagi siapa saja yang mengamati orientasi negeri Piramida tersebut akan menemukan pada pandangan pertama bahwa orientasi itu difokuskan pada kepentingan keamanan dan strategi yang dapat mengembalikan lagi perannya di tingkat regional dan internasional yang sempat dikerdilkan pada masa rejim Mubarak. Atau dengan kata lain tidak lagi sebagai peran pengekor namun sebagai penentu.

Sejumlah analis Arab menyebutkan bahwa Mesir di masa orde perubahan akan menghindar dari kebijakan ``poros`` dan tidak akan melaksanakan peran sebagai pengekor AS dan sekutu-sekutunya. Sebagaimana diketahui, negeri itu pada 2006 (setelah perang Israel-Hizbullah) dimasukkan dalam daftar ``poros moderat`` oleh AS dan Barat yang bertujuan mengusung kepentingan Barat dan tidak bersebrangan dengan kehendak politis Israel.

Sementara negara-negara kawasan yang dianggap bersebrangan dengan Barat dan menjadi ancaman serius Israel dimasukkan oleh AS dalam daftar ``poros jahat``. Negara-negara yang masuk daftar terakhir ini adalah Iran, Suriah dan gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajah Israel terutama Hamas di Palestina dan Hizbullah di Libanon.

Satu lagi yang terus diupayakan AS adalah menciptakan musuh dan ancaman baru di kawasan setelah selama ini Israel dianggap sebagai musuh dan ancaman abadi dunia Arab. Setidaknya dalam satu dekade belakangan ini, AS dan Israel mencoba menjadikan Iran sebagai ancaman dan musuh sejati dunia Arab menggantikan negeri zionis itu, namun nampaknya upaya tersebut belum berhasil bahkan diperkirakan akan gagal total setelah orde perubahan di dunia Arab.
Hubungan Mesir-Iran

Terkait dengan peninjauan kembali persekutuan strategis di kawasan, yang paling banyak menyedot perhatian adalah hubungan Mesir dan Iran, dua negara yang sebelum 1979 pernah menjalin persekutuan terkuat di kawasan. Persekutuan tersebut putus setelah penandatangan persetujuan Camp David 26 Maret 1979 yang bertepatan pula dengan jatuhnya rejim Shah Iran, Reza Pahlevi (sekutu Mesir) dan berdirinya negara Republik Islam Iran 1 April 1979.

Bila melihat dari kriteria hubungan diplomasi modern maka hubungan Mesir-Iran merupakan salah satu hubungan bilateral yang paling dulu ada dalam sejarah modern karena hubungan itu terpulang pada tahun 1856, yaitu tahun dibukanya pertama kali kantor perwakilan kepentingan Iran di Kairo. Hubungan bilateral ini semakin erat pada 1920-an tepatnya pada 1928 ketika kedua negara menandatangani hubungan persahabatan.

Setelah itu, hubungan kedua negara yang saat itu masih dalam bentuk kerajaan diperkuat lagi dengan pernikahan kerajaan di masa Raja Mohammad Ali. Hubungan tersebut bertambah kuat dengan pernikahan anak sulung Shah Reza Mizra Khan bernama Mohammad dengan saudara perempuan Raja Farouk, Putri Fauziah.

Hubungan politis yang diperkuat oleh hubungan kekerabatan tersebut bahkan diupayakan kedua negara sebagai ``batu pertama`` untuk mengembalikan Khilafah Islam setelah jatuhnya Khilafah Othmaniyah. Namun upaya kedua negara tersebut akhirnya urung terwujud setelah perceraian kedua keluarga kerajaan tersebut yang dibarengi pula dengan ``perceraian`` politis terutama setelah tumbangnya kerajaan di Mesir oleh revolusi militer pada 1952.

Hubungan kedua negara pada era Presiden Gamal Abdel Nasser yang dikenal dekat dengan Uni Soviet jelas bersebrangan dengan rejim Shah Mohammad Reza Pahlevi yang memihak AS. Hubungan ini sempat berada di titik terendah setelah tahun 1955 terutama saat dibentuknya Pakta Baghdad beranggotakan Iran, Iraq dan Turki pada 1960 bahkan akhirnya Abdel Nasser memutuskan hubungan diplomatik setelah rejim Shah Iran mengakui Israel lewat hubungan dangang resmi pada 1965.

Pemutusan hubungan kedua negara berlangsung hingga 1970 setelah wafatnya Presiden Nasser kemudian diganti oleh Presiden Anwar Sadat. Pada perang Ramadhan/Oktober 1973, hubungan kedua negara kembali normal bahkan bertambah kuat setelah Iran mendukung kuat Mesir dalam perang tersebut yang selanjutnya surut kembali setelah Mesir menampung Shah Iran yang digulingkan hingga ia wafat di Kairo bahkan akhirnya putus kembali setelah pesetujuan Camp David.

Hubungan kedua negara di masa rejim Mubarak tidak banyak mengalami perubahan setelah pemutusan hubungan diplomatik pada 1979 tersebut. Upaya-upaya untuk menormalisasikan hubungan kedua negara sulit tercapai karena beberapa faktor termasuk perbedaan bahkan kontradiksi posisi kedua negara terkait sejumlah isu penting kawasan terutama masalah Palestina, kemudian Teluk dan pengaruh Iran di beberapa negara Arab serta pengaruhnya di tingkat regional.

Menyangkut isu Palestina, Mesir adalah negara Arab yang bertangungjawab bagi penyelesaian isu ini lewat opsi politis, yang akhirnya terbukti opsi tersebut hanya menguntungkan Israel sehingga upaya menciptakan perdamaian sesuai resolusi PBB semakin jauh. Di lain pihak, Iran salah satu negara kawasan yang menentang opsi politis tanpa opsi perlawanan sehingga menjadi salah satu pendukung utama gerakan-gerakan perlawanan Arab terhadap Israel.

Kontradiski sikap kedua negara dalam memandang cara penyelesaian konflik Arab-Israel tersebut adalah salah satu faktor penting yang mempertegang hubungan bilateral terlebih lagi dukungan Iran terhadap gerakan perlawanan yang menambah rasa sensitif Mesir selaku saudara tertua Arab. Sikap Teheran yang sering mengecam opsi penyelesaian politis yang terus mengalami kegagalan akibat sikap keras kepala Israel selama era rejim Mubarak dianggap Kairo sebagai upaya Iran untuk mempermalukannya di hadapan publik Arab.

Karena itu, banyak pengamat melihat bahwa faktor isu Palestina ini akan tetap menjadi ganjalan utama normalisasi hubungan kedua negara apabila masih terjadi kontradiksi sikap kedua negara. ``Apabila Mesir mengubah sikapnya dengan tetap mengakui opsi perlawanan disamping opsi politis atau terjadi kerenggangan hubungan Mesir-Israel, maka akan melapangkan jalan menuju normalisasi hubungan Mesir-Iran,`` papar sejumlah analis.

Upaya Iran untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Teluk kaya minyak bahkan tuduhan untuk mensyiahkan kaum Sunni Arab juga sebagai salah satu ganjalan menuju normalisasi tersebut. Upaya untuk mengurangi ketegangan hubungan Iran-Arab pernah diupayakan pada masa pemerintahan Presiden Mohammad Khatami yang lebih mengedepankan kebijakan ``menghilangkan ketegangan`` sebagai ganti dari kebijakan ``ekspor revolusi``.

Namun upaya tersebut belum berhasil sepenuhnya meskipun pada masa Khatami sudah terlihat isyarat menuju normalisasi dimaksud. Upaya AS dan Israel yang ingin menjadikan Iran sebagai ancaman dan musuh sejati Arab, walupun tidak berhasil secara penuh, namun setidaknya sukses mengganjal setiap usaha ke arah normalisasi hubungan kedua negara yang dinanti-nantikan oleh bangsa di kawasan.
Upaya Normalisasi

Pada era perubahan ini, Mesir kelihatannya telah mulai sejak dini meletakkan kembali skala prioritas persekutuan strategisnya di tingkat regional. Dr. Nabiel Al-Arabi, Menlu Mesir yang dipercayakan menjadi arsitek hubungan luar negeri pasca rejim Mubarak, bahkan telah melakukan langkah jauh lebih maju terkait upaya normalisasi hubungan dengan Iran saat menerima Mujtaba Amani, Direktur Kantor Perlindungan Kepentingan Iran di Kairo, Senin (4/4).
Pertemuan yang berlangsung di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Mesir itu bertujuan membahas upaya-upaya menormalisasikan hubungan bilateral. Seusai pertemuan, diumukan tentang kontak-kontak yang dilakukan para pejabat kedua negara untuk mencapai normalisasi dimaksud karena Mesir di era baru, ingin membuka hubungan baik dengan semua negara. Ia juga dilaporkan menerima undangan Menlu Iran untuk berkunjung ke Teheran dalam waktu dekat.

Langkah Mesir pasca Mubarak ini mengingatkan kembali kepada kebijakan Turki pada awal pemerintahan PM Recep Tayyip Erdogan yang segera menormalisasikan hubungan dengan semua negara jiran dengan prinsip ``zero enemy`` (tanpa musuh), setelah pada masa pemerintahan pendahulu-pendahulunya, Turki terkesan hanya fokus pada pengembangan persekutuan strategis dengan Israel saja.

Sebenarnya sejak hari-hari pertama era perubahan, Mesir telah berusaha membuka lembaran baru hubungannya dengan Iran. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan langkah berikut:
Pertama: persetujuan Mesir mengjinkan kapal perang Iran untuk menyeberang Terusan Suez dalam perjalanan menuju pelabuhan Laziqia, Suriah dan kembali ke Iran tanpa melalui prosedur yang berbelit-belit meskipun mendapat protes keras dari Israel dan AS.
Kedua: Mengurangi sikap permusuhan terhadap Hizbullah dan sekutu-sekutunya di Libanon. Sebagaimana diketahui, gerakan perlawanan Hizbullah yang paling ditakuti Israel itu adalah sekutu strategis Iran di Libanon.
Ketiga: Mengijinkan sejumlah petinggi Hamas di Gaza untuk transit di bandara Kairo dalam perjalanannya menuju Damaskus yang merupakan pertama kali sejak beberapa bulan belakangan ini setelah rejim lama menyaratkan para petinggi Hamas yang ingin meninggalkan Gaza harus menandatangani persetujuan rekonsiliasi dengan gerakan Fatah. Ijin ini juga setidaknya sebagai salah satu bentuk pencabutan embargo atas Gaza.
Adapun
yang keempat sebagaimana dilaporkan harian Al-Quds Al-Arabi, Selasa (5/4) adalah kunjungan rahasia Kepala Intelijen Mesir yang baru, Mayjen Murad Mawafi ke Suriah untuk membahas koordinasi kedua negara di bidang keamanan dan isu-isu lainnya yang menjadi perhatian bersama kedua negara. Seperti diketahui, Suriah adalah sekutu utama Iran di Arab.
Berbagai langkah ke arah normalisasi hubungannya dengan Iran tersebut menunjukkan bahwa Mesir serius meletakkan kembali skala prioritas hubungan dan persekutuannya di tingkat regional terutama dengan Iran. Atau dengan kata lain, prioritas utama negeri Piramida itu pasca Mubarak adalah penolakan untuk tunduk kepada kehendak Israel, setelah negeri zionis itu sejak beberapa tahun belakangan ini dan dibantu oleh tekanan AS berusaha memaksa Kairo menjadikan Iran sebagai musuh sejati.

Dengan kembalinya memainkan perannya selaku negara Arab terbesar setelah lama terpuruk dibawah ketiak Israel, Mesir diprediksi akan menjadi negara garis depan untuk mengatur kembali skala prioritas persekutuan regional khususnya dengan Iran meskipun hubungan Iran dengan negara-negara Teluk saat ini sempat tegang akibat krisis di Bahrain. Mesir yang berusaha membangun hubungan baru dengan Iran kelihatannya tidak ingin terlalu dalam mencampuri masalah Bahrain tersebut.

Menurut hemat penulis, krisis Bahrain itu keliahatannya tidak sampai menjadi ganjalan ke arah normalisasi hubungan Mesir-Iran, sehingga setelah krisis berakhir, persekutuan Mesir-Iran dapat mengarah kepada persekutuan Arab-Iran yang  selanjutnya bermuara ke persekutuan segitiga Arab-Iran-Turki yang cukup lama diimpikan bangsa-bangsa Muslim kawasan. Pada era perubahan di dunia Arab saat ini mimpi tersebut kelihatannya tidak terlalu sulit diwujudkan di alam nyata.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger