Balochistan, Islam, dan Masalah National Identity di Pakistan

Pakistan adalah negara di Asia Selatan  yang terbesar kedua baik secara georgafis maupun demografis setelah India. Luas wilayah Pakistan adalah 803,940 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sekitar 165.803.560 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah muslim (Sunni).
Pakistan merupakan wilayah konflik terpanas di Asia Selatan. Konflik-konlflik yang terjadi memiliki kompleksitas yang tinggi karena di samping secara internal negara tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan politik, etnis, sosial dan agama, secara eksternal Pakistan masih memiliki persoalan perbatasan dengan India. Tidak hanya itu konflik etnis dan agama yang terjadi di Pakistan memiliki keterkaitan erat dengan konflik agama di negara tetangganya, Afganistan. Sebagai dampaknya, misalkan, Pakistan menjadi negara yang paling banyak menampung para pengungsi dari Afganistan. Pada akhir 2008 terdapat sekitar 1.790.900 warganegara Afghanistan yang mengungsi di Pakistan. Fakta ini menempatkan Pakistan pada peringkat pertama negara-negara penampung pengungsi terbesar di dunia.[1] Wilayah Pakistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan juga menjadi salah satu pusat gerakan-gerakan Islam radikal transnasional seperti Al Qaedah dan Taliban.
Fakta-fakta tersebut di atas adalah sedikit gambaran betapa Pakistan adalah negara yang paling bermasalah di dunia. Topik yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai sebuah konflik internal yang semula dan bisa jadi hingga kini merupakan konflik separatis, yaitu konflik Balochistan dengan pemerintah pusat Pakistan di Islamabad.
  1. A. Balochistan dan Pembangunan Nasional
Konflik Balochistan memang tidak terlalu terekspos oleh media asing karena sifatnya yang fluktuatif dan “kalah pamor” dengan isu Taliban, Kashmir dan Al Qaedah. Persoalan yang mengemuka dalam konflk Balochistan memang berkaitan dengan isu-isu pragmatis yaitu ekonomi, politik dan pelanggaran HAM.
Balochistan adalah wilayah paling kaya di Pakistan karena mensuplai 40% kebutuhan energi Pakistan melalui eksplorasi gas dan batubara. Sedangkan produksi gasnya mencapai 36% produksi gas nasional.[2] Namun dengan kekayaan alam yang melimpah itu Balochistan tercatat sebagai provinsi termiskin di Pakistan. The Social Policy and Development Centre (SPDC) yang berkantor di Karachi mendeskripsikan kondisi kemiskinan di Balochistan sebagai berikut:[3] lebih dari separuh rakyat di provinsi ini hidup di bawah garis kemiskinan, kurang dari 50% penduduk yang menikmati air bersih, kurang dari 50% anak-anak yang menempuh sekolah dasar, 33% bayi yang mendapat imunisasi. Angka buta huruf kaum perempuan adalah yang tertinggi di Pakistan. Hanya 7% perempuan Balochistan yang melek huruf.
Pembangunan akses-akses kebutuhan masyarakat hanya terpusat di Punjab yang ibukontanya, Islamabad, merupakan pusat pemerintahan nasional dan didiami oleh etnik Punjab yang menguasai pemerintahan dan militer. Kemudian peringkat itu selanjutnya diikuti oleh dua provinsi lainnya, Sindh dan North-West Frontier Province. Padahal sumbangan devisa yang diberikan oleh Balochistan setiap tahunnya adalah yang terbesar dibandingkan dengan ketiga provinsi tersebut. Balochistan menyumbangkan Rs 85 miliar per tahun, akan tetapi hanya menerima Rs 7 miliar dari pemerintah pusat,[4] dengan alasan jumlah penduduknya yang tidak sebanyak ketiga provinsi tersebut.
Fakta ketidakadilan di atas menimbulkan protes keras dari rakyat dan para pemimpin Balochistan. Namun pemerintah pusat di Islamabad kurang memperdulikan protes rakyat Balochistan. Eksploitasi kekayaan alam Balochistan terus berlanjut dan begitu halnya dengan ketimpangan pembangunan dan juga pembagian hasil pendapatan negara.
Pengabaian tersebut akhirnya memicu perlawanan bersenjata dari rakyat dan para pemimpin Balochistan. Sejak pembentukan Pakistan pada 1947, telah terjadi beberapa kali konfrontasi berdarah antara kedua belah pihak, yaitu pada 1948, 1958, 1963-1969, 1973-1977, dan 2004-sekarang. Setelah 1973-1977, perlawanan bersenjata dilakukan secara lebih terorganisir dengan dibentuknya dua organ militer yaitu  Balochistan Liberation Army (BLA), Baloch Republican Army (BRA). Tidak banyak diketahui tentang  BLA[5] dan BRA yang dibentuk beberapa lama setelahnya.
Tampaknya dari waktu ke waktu ada semacam kesepakatan opini dari rezim-rezim berkuasa untuk tidak mengabulkan semua tuntutan Balochistan. Hal ini terlihat dari respon pemerintah terhadap konflik tersebut yang lebih sering bersifat subversif, baik itu saat pemerintahan dikuasai oleh rezim militer maupun rezim demokratis. Misalnya adalah operasi militer yang dilancarkan pada Agustus 2008 menewaskan 80 orang. Dalam operasi itu militer menculik 170 orang yang dituduh memiliki hubungan dengan Baloch Nationalist Movements.[6]
Dari lamanya waktu berlangsungnya konflik dan kecenderungan respon subversif dari pemerintah, dapat disimpulkan bahwa konflik Balochistan sebenarnya bukan sebatas konflik kepentingan pragmatis. Ada faktor yang lebih prinsipil yang menyebakan kedua belah pihak sulit untuk mencapai perdamaian. Faktor ini dapat ditelurusi dari dinamika konflik tersebut hingga dari proses awal tergabungnya Balochistan dengan Pakistan. Proses penelusuran ini tentu  berkaitan erat dengan identitas nasional yang hendak dibangun oleh para founding fathers Pakistan.
  1. B. Nasionalisme Pakistan
Setelah hampir 62 tahun merdeka, Pakistan masih memiliki persoalan identitas nasional yang menjadi sebab mendasar terjadinya berbagai konflik internal yang berlarut-larut. Identitas nasional dapat diartikan sebagai norma kultural yang merefleksikan orientasi-orientasi afektif dan cultural yang dimiliki oleh setiap individu terhadap bangsa dan sistem politik nasionalnya.[7]
Merunut pada sejarah kelahirannya, Pakistan lahir dari sebuah keinginan/cita-cita rakyat muslim India yang saat itu masih di bawah mandat Inggris untuk membentuk sebuah negara merdeka terpisah dari India yang didasarkan pada persamaan identitas sebagai muslim. Ketika itu mereka merasa sebagai masyarakat kelas dua karena selalu mendapatkan perlakuan diskrimintatif dalam hal politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan bahasa oleh mayoritas Hindu.. Oleh karena itu, Pakistan merupakan produk dari sebuah pandangan fundamentalis terhadap Islam.
Di dalam Oxford Advanced Learner’s dictionary, fundamentalisme diartikan sebagai “the practice of following very strictly the basic rules and teachings of any religion.”[8] Sedangkan Leonard Binder mendefinisikan fundamentalisme sebagai “an ideological dimension of the movement to restrict the power of the state.”[9] Fundamentalisme agama ini kemudian menjadi sumber konflik berkepanjangan dan kompleks yang terjadi hingga saat ini, karena berbenturan dengan primordialisme yang ternyata eksis pada masing-masing etnik yang ada.
Primordialisme etnik ini muncul sejak awal tercapainya cita-cita bersama lahirnya Pakistan. Hal ini tampak pada pemerintahan yang didominasi oleh etnik Punjab, padahal secara kuantitas Baloch adalah etnik mayoritas. Masyarakat Pakistan terbagi ke dalam beberapa kelompok entis yaitu Baloch 54.7 %, Pashtun 29.0%[10], dan selebihnya adalah Punjab, Kashmir, Afghan dan Sindh yang masing-masing terkonsentrasi pada salah satu dari empat provinsi di Pakistan, yaitu: Balochistan (Baloch),North-West Frontier Province (Pashtun), Punjab (Punjab), dan Sindh (Shind). Pembagian ke dalam empat provinsi itu pun didasarkan pada konsentrasi etnis-etnis mayoritas.
Fundamentalisme dan primordialisme inilah yang menjadi akar semua konflik internal Pakistan baik yang bermotif agama maupun etnis yang sering kali berkembang pada konflik politik maupun ekonomi. Di satu sisi, fundamentalisme yang dijadikan sebagai kerangka dasar pemahaman Islam melahirkan nasionalime Pakistan. Ini berarti bahwa identitas nasional negara tersebut adalah Islam. Di sisi lain, primordialisme juga merupakan kerangka dasar yang tidak kurang signifikannya bagi rakyat Pakistan dalam memahami Islam itu sendiri.
Pada masing-masing etnik yang ada, kadar signifikansi kedua paradigma ini berbeda-beda. Satu kelompok etnik dapat memiliki loyalitas kuat terhadap Islam, namun tetap berkelindan dengan primordialisme etniknya. Sedangkan satu kelompok etnik yang lain lebih menonjolkan prinsip-prinsip dan identitas etnisnya dari pada agamanya (Islam). Hal ini menyebabkan perbedaan tajam memahami politik. Kelompok yang pertama akan memahami politik sebagai sub-sistem dari agama sehingga pemerintahan harus didasarkan pada konsep-konsep dan mekanisme-mekanisme politik yang ada dalam Islam (Al Quran dan Hadits). Sedangkan kelompok yang kedua akan memandang bahwa politik/pemerintahan adalah wilayah kehidupan  yang terpisah atau harus dipisahkan dari agama yang merupakan wilayah privat masing-masing individu. Oleh karena itu fungsi Islam sebagai agama adalah sebagai landasan moral bagi masing-masing individu dalam menjalankan politik.
Perbedaan mendasar antara kedua kelompok ini menyebabkan terjadinya tarik-ulur kekuasaan antara kedua kelompok tersebut. Tidak jarang perselisihan ini menyebabkan konflik berdarah yang memakan korban jiwa puluhan bahkan ratusan. Kelompok pertama secara etnis banyak yang berasal dari etnik Pastun dan Punjab, dan secara politis diwakili oleh Muttahida Majlis -e- Amal (MMA) yang merupkan gabungan dari partai-partai Islam. Sedangkan kelompok yang kedua banyak berasal dari etnik Baloch dan Sindh dan secara politik diwakili oleh partai seperti Partai Rakyat Pakistan/Pakistan Peoples Party (PPP) dan Partai Nasionalis Awami (ANP).
Dari dikotomi tersebut, walaupun sifatnya general dan relatif, dapat dipahami bahwa nasionalisme Islam yang merupakan identitas nasional karena mendasari lahirnya negara tersebut masih menjadi bahan perdebatan di dalam elemen-elemen masyarakatnya sendiri. Perdebatan tersebut seputar bagaimana Islam diimplementasikan dalam konteks negara. Ini menunjukkan bahwa Pakistan hingga kini masih menjalani tahap pembentukan identitas nasionalnya.
C.   Peace Building
Benturan antara fundamentalisme (Islam) dan primordialisme (etmik) seperti yang dijelaskan di atas merupakan esensi dari konflik Balochistan yang berlangsung hingga saat ini. Konflik ini tidak akan berakhir sebelum ditemukan titik temu/persamaan antara kedua bangunan paradigma tersebut.
Islam dianut oleh mayoritas penduduk Balochistan sejak masa kepemimpinan imperium Islam dipengan oleh Khalifah Umar (Umar bin Khattab)[11] Akan tetapi mereka tidak terlalu berantusias dalam menggali nilai-nilai keimanan baru ini, sehingga Islam bagi mereka pada saat itu hanyalah  nama/identitas, sedangkan mereka tidak begitu taat dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam yang sesunguhnya.[12] Etnisitas mereka sebagai Baloch lebih melekat dari pada Islam. Dalam arti bahwa tingkat religiusitas etnik Baloch lebih rendah jika dibandingkan dengan etnik-etnik lain di Pakistan.
Loyalitas rakyat Balochistan terhadap etnisnya lebih besar daripada kepada agamanya (Islam). Faktor ini yang membuatnya menolak untuk dimasukkan ke dalam wilayah Pakistan saat negara itu lahir. Saat itu Balochistan merupakan sebuah kerajaan Khan of Kalat (Kalat State) yang berada di ujung barat laut anak benua India  yang berbatasan langsung dengan Iran dan Afghanistan. Saat Pakistan berdiri dan memasukkan Khan of Kalat ke dalam wilayahnya, para pemimpin Kalat melakukan perlawanan. Akan tetapi perlawanan mereka dapat dipatahkan pada tahun 1954.[13] Perlawanan-perlawanan bersenjata terus berlangsung namun sifatnya sporadis dan gerilnya.
Faktor rendahnya religiusitas etnik Baloch juga yang menjadi alasan bagi perlakuan diskriminatif pemerintah pusat terhadap mereka. Hal ini terlihat saat Islam kembali dijadikan alat politik bagi kepentingan pemereintah pada masa pemerintahan Presiden Zia’ul Haq (1977-1988). Pada saat itu, Zia memberikan perlakuan istimewa terhadap penduduk Balochistan yang berasal dari etnik Pastun, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki loyalitas tinggi terhadap Islam. Mereka dijadikan alat pemerintah pusat untuk bersama-sama dengan militer membantu perjuangan Taliban dalam menghadapi penjajahan Uni Soviet terhadap Afghanistan. Sementara penduduk dari etnik Baloch tetap diperlakukan secara diskriminatif.
Pada saat yang sama, pemerintah pusat melakukan “islamisasi” Balochistan dengan membangun ribuan madrasah untuk mendidik para mujahidin. Sejak pemerintahan Zia hingga sekarang, anggaran untuk Departemen Agama yang secara langsung mendanai sekolah-sekolah agama setiap tahunnya adalah sekitar 200 juta dolar AS, padahal anggaran untuk Departemen Pendidikan hanya 3 juta dolar AS.[14]
Pada perkembangan selanjutnya, konflik antara Balochistan dengan pemerintah pusat menyebar ke wilayah lain yaitu politik, ekonomi, budaya hingga HAM. Perluasan ranah konflik selalu terjadi pada setiap konflik separatis saat konflik berlangsung dalam jangka yang cukup panjang, karena perbedaan konflik akibat perdaan ideologi dengan pemerintah akan cenderung dihadapi dengan cara-cara represif dengan kekuatan militer atau dengan perlakuan diskriminatif.
Saat konflik telah mencapai tahapan tersebut di atas, maka proses peace building harus dilakukan dengan melingkupi wilayah normatif dan pragmatis dari sebab-sebab konflik tersebut. Pemenuhan tuntutan rakyat dan pemimpin Balochistan untuk mendapatkan hak-hak politik dan ekonominya harus pula diikuti dengan pemenuhan terhadap tuntutan normatif mereka untuk tidak menjadikan Islam sebagai formalitas kenegaraan. Mereka lebih berkenan untuk menjadikan Islam sebagai nilai moral kehidupan, bukan sebagai nilai formal yang dipaksakan.
Seorang pemimpin Baloch pernah mengatakan,” there is no such thing as a Muslim nation on the face of the globe. If the mere fact that we are Muslims requires us to join Pakistan , then Afghanistan and Iran, both Islamic countries , should also amalgamate with Pakistan.”[15]
Cecep Zakarias El Bilad

[1] Lihat Kompas, 20 Juni 2009.
[2] Frederic Grare, “Pakistan: The resurgence of Baloch nationalism”, Carnegie Papers, Carnegie Endowment for International Peace, no. 65, January 2006. Hlm. 4-5.
[5] http://www.southasiaanalysis.org/papers13/paper1220.html. Diakses pada 12 Mei 2009.
[7] Lihat Tsygankov, Andrei P. (2001). Pathways After Empire: National Identity and Foreign Economic Policy in the Post-Soviet World. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers. Hal,15.
[8] Oxford Advanced Learner’s dictionary, Sixth Edition, (2000), New York: Oxford University Press. Hal, 547.
[9] Bassam Tibbi. (2000), Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Yogyakarta: Tiara Wacana), Hal. 207.
[11] Janmahmad  dalam The Baloch Cultural Heritage. Dikutip oleh Malik Siraj Akbar dalam http://www.thebaluch.com/030608_article.php?id=7675. Diakses tanggal 15 Juni 2009.
[12] Ibid.
[14] http://www.thebaluch.com/030608_article.php?id=7675. Diakses pada 15 Mei 2009.
[15] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger