Untuk menafsirkan sindiran terkenal dalam debat calon Presiden AS tahun 1992, ketika William Jefferson Clinton – yang tidak dikenal, berkata pada calon Presiden George Herbert Walker Bush, "Ekonomi ini sangat bodoh," perhatian terkini pada pemerintah di Washington saat ini soal konflik Darfur di Sudan selatan, jika kita tidak melihat dari dekat, adanya genosida terhadap penduduk termiskin di bagian miskin di negara Afrika itu.
Bukan. Sesungguhnya, ini soal minyak.
Ini membuka kisah tentang dimensi sinis yang tepat menggambarkan rejim di Washington yang tidak memperdulikan genosida di Irak, ketika kepentingan kontrol atas cadangan minyak besar terlibat. Apa yang dipertaruhkan dalam perjuangan untuk Darfur? Kontrol atas minyak, banyak dan banyak sekali minyak.
Kasus Darfur, potongang terlarang di selatan Sudan, menggambarkan Perang Dingin baru atas nama minyak, di mana kenaikan dramatis permintaan minyak Cina untuk bahan bakar yang mengalami booming pertumbuhan, telah menyebabkan Beijing memulai sebuah kebijakan agresif - ironisnya disebut : diplomasi dolar. Dengan lebih dari $ 1,3 triliun cadangan dolar terutama di Bank Sentral China, Beijing terlibat dalam geopolitik perminyakan aktif. Afrika adalah fokus utama, dan di Afrika, wilayah tengah antara Sudan dan Chad jadi prioritas. Hal ini telah mendefinisikan front utama baru, sejak invasi AS ke Irak tahun 2003, Perang Dingin baru antara Washington-Beijing yang memperebutkan kendali atas sumber-sumber minyak utama. Sejauh ini Beijing telah memainkan kartu yang sedikit lebih cerdik dari Washington. Darfur adalah sebuah medan pertempuran besar, yang dalam kontes ini berisiko tinggi untuk mengontrol minyak.
Diplomasi Minyak Cina
Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing telah meluncurkan serangkaian inisiatif yang dirancang untuk mengamankan sumber jangka panjang bahan baku dari salah satu daerah yang paling diberkahi - benua Afrika. Tidak ada bahan baku yang sangat diprioritaskan di Beijing saat ini selain pengamanan sumber minyak jangka panjang.
Saat ini Cina telah menarik sekitar 30% minyak mentah dari Afrika. Itu membuktikan serangkaian inisiatif diplomatik luar biasa yang telah membuat marah Washington. Cina tidak menggunakan trik pengucuran kredit jutaan dolar untuk mendapatkan akses ke kekayaan besar bahan baku Afrika, meninggalkan permainan khas Washington yang memanfaatkan kontrol Bank Dunia dan IMF. Siapa yang peduli obat IMF yang menyakitkan ketika Cina memberikan syarat mudah dan membangun jalan dan sekolah-sekolah?
Pada bulan November tahun lalu, Beijing menjadi tuan rumah pertemuan puncak luar biasa 40 kepala negara Afrika. Cina benar-benar menggelar karpet merah bagi para kepala negara antara lain Aljazair, Nigeria, Mali, Angola, Republik Afrika Tengah, Zambia, dan Afrika Selatan.
Cina baru saja melakukan kesepakatan minyak, menghubungkan Republik Rakyat China dengan dua negara terbesar di benua itu : Nigeria dan Afrika Selatan. Perusahaan nasional minyak Cina (CNOC) akan mengangkat minyak di Nigeria, melalui konsorsium yang juga beranggotakan South Africa Petroleum Co., membukakan Cina akses ke sumber eskploitasi 175.000 barel per hari pada tahun 2008. Ini kesepakatan senilai $ 2,27 milyar, menjadikan CNOC – yang dikendalikan negara, memiliki saham 45% dalam proyek eksplorasi besar ladang minyak lepas pantai Nigeria. Sebelumnya, Nigeria telah dianggap Washington sebagai aset perusahaan migas Anglo-Amerika : ExxonMobil, Shell dan Chevron.
Cina telah bermurah hati dengan mengeluarkan pinjaman lunak tanpa bunga atau hibah langsung ke beberapa negara debitur miskin di Afrika. Pinjaman digunakan dalam pengembangan infrastruktur termasuk jalan tol, rumah sakit, dan sekolah. Sangat kontras dengan tuntutan penghematan brutal IMF dan Bank Dunia. Tahun 2006, Cina mengeluarkan lebih dari $ 8 milyar untuk Nigeria, Angola dan Mozambik, versus $2,3 milyar untuk semua wilayah sub-Sahara Afrika dari Bank Dunia. Ghana kini sedang menegosiasikan pinjaman elektrifikasi senilai $1,2 milyar dari Cina. Tidak seperti Bank Dunia, lengan kebijakan ekonomi luar negeri AS secara de facto, Cina sangat tajam menempel tanpa negara-negara Afrika dengan pinjaman tanpa syarat tersebut.
Ini diplomasi minyak Cina telah memunculkan tuduhan aneh dari Washington bahwa Beijing sedang mencoba "mengamankan sumber-sumber minyak," tuduhan yang sebenarnya pantas disematkan pada kebijakan luar negeri Washington sendiri, setidaknya dalam satu abad terakhir.
Tidak ada sumber minyak yang telah menjadi fokus konflik minyak Cina-AS selain dari Sudan, rumah wilayah Darfur.
Kekayaan Minyak Sudan
Perusahaan Minyak Nasional China-Beijing (CNPC), adalah investor asing terbesar di Sudan, dengan sekitar US$5 miliar dalam pembangunan ladang-ladang minyak. Sejak tahun 1999 Cina telah menginvestasikan setidaknya $15 miliar di Sudan. CNPC sendiri kini memiliki 50% keuntungan dari kilang minyak dekat Khartoum bekerjasama dengan pemerintah Sudan. Ladang minyak itu (lihat grafik) terkonsentrasi di selatan, tempat perang saudara yang panjang-mendidih, sebagian terselubung dibiayai oleh Amerika Serikat, untuk memecah wilayah selatan Sudan dari pemerintahan Islam Sudan, Khartoum yang berpusat di utara.
CNPC membangun jalur pipa minyak dari blok konsesi 1, 2, dan 4 di Sudan selatan, menuju terminal baru Pelabuhan Sudan di Laut Merah, dimana minyak diangkut oleh kapal tanker dengan tujuan Cina. Delapan persen minyak China kini berasal dari Sudan selatan. Cina membutuhkan 65% hingga 80% dari 500.000 barel/hari produksi minyak Sudan. Tahun terakhir, Sudan merupakan sumber minyak asing keempat terbesar bagi Cina. Pada tahun 2006 Cina melewati Jepang sebagai importir minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dengan nilai impor 6.500.000 barel per hari. Dengan meningkatnya permintaan minyak sekitar 30% per tahun, beberapa tahun lagi Cina akan melewati AS dalam permintaan impor minyak. Kenyataan itulah yang jadi motor penggerak kebijakan asing Beijing di Afrika.
Bukan. Sesungguhnya, ini soal minyak.
Ini membuka kisah tentang dimensi sinis yang tepat menggambarkan rejim di Washington yang tidak memperdulikan genosida di Irak, ketika kepentingan kontrol atas cadangan minyak besar terlibat. Apa yang dipertaruhkan dalam perjuangan untuk Darfur? Kontrol atas minyak, banyak dan banyak sekali minyak.
Kasus Darfur, potongang terlarang di selatan Sudan, menggambarkan Perang Dingin baru atas nama minyak, di mana kenaikan dramatis permintaan minyak Cina untuk bahan bakar yang mengalami booming pertumbuhan, telah menyebabkan Beijing memulai sebuah kebijakan agresif - ironisnya disebut : diplomasi dolar. Dengan lebih dari $ 1,3 triliun cadangan dolar terutama di Bank Sentral China, Beijing terlibat dalam geopolitik perminyakan aktif. Afrika adalah fokus utama, dan di Afrika, wilayah tengah antara Sudan dan Chad jadi prioritas. Hal ini telah mendefinisikan front utama baru, sejak invasi AS ke Irak tahun 2003, Perang Dingin baru antara Washington-Beijing yang memperebutkan kendali atas sumber-sumber minyak utama. Sejauh ini Beijing telah memainkan kartu yang sedikit lebih cerdik dari Washington. Darfur adalah sebuah medan pertempuran besar, yang dalam kontes ini berisiko tinggi untuk mengontrol minyak.
Diplomasi Minyak Cina
Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing telah meluncurkan serangkaian inisiatif yang dirancang untuk mengamankan sumber jangka panjang bahan baku dari salah satu daerah yang paling diberkahi - benua Afrika. Tidak ada bahan baku yang sangat diprioritaskan di Beijing saat ini selain pengamanan sumber minyak jangka panjang.
Saat ini Cina telah menarik sekitar 30% minyak mentah dari Afrika. Itu membuktikan serangkaian inisiatif diplomatik luar biasa yang telah membuat marah Washington. Cina tidak menggunakan trik pengucuran kredit jutaan dolar untuk mendapatkan akses ke kekayaan besar bahan baku Afrika, meninggalkan permainan khas Washington yang memanfaatkan kontrol Bank Dunia dan IMF. Siapa yang peduli obat IMF yang menyakitkan ketika Cina memberikan syarat mudah dan membangun jalan dan sekolah-sekolah?
Pada bulan November tahun lalu, Beijing menjadi tuan rumah pertemuan puncak luar biasa 40 kepala negara Afrika. Cina benar-benar menggelar karpet merah bagi para kepala negara antara lain Aljazair, Nigeria, Mali, Angola, Republik Afrika Tengah, Zambia, dan Afrika Selatan.
Cina baru saja melakukan kesepakatan minyak, menghubungkan Republik Rakyat China dengan dua negara terbesar di benua itu : Nigeria dan Afrika Selatan. Perusahaan nasional minyak Cina (CNOC) akan mengangkat minyak di Nigeria, melalui konsorsium yang juga beranggotakan South Africa Petroleum Co., membukakan Cina akses ke sumber eskploitasi 175.000 barel per hari pada tahun 2008. Ini kesepakatan senilai $ 2,27 milyar, menjadikan CNOC – yang dikendalikan negara, memiliki saham 45% dalam proyek eksplorasi besar ladang minyak lepas pantai Nigeria. Sebelumnya, Nigeria telah dianggap Washington sebagai aset perusahaan migas Anglo-Amerika : ExxonMobil, Shell dan Chevron.
Cina telah bermurah hati dengan mengeluarkan pinjaman lunak tanpa bunga atau hibah langsung ke beberapa negara debitur miskin di Afrika. Pinjaman digunakan dalam pengembangan infrastruktur termasuk jalan tol, rumah sakit, dan sekolah. Sangat kontras dengan tuntutan penghematan brutal IMF dan Bank Dunia. Tahun 2006, Cina mengeluarkan lebih dari $ 8 milyar untuk Nigeria, Angola dan Mozambik, versus $2,3 milyar untuk semua wilayah sub-Sahara Afrika dari Bank Dunia. Ghana kini sedang menegosiasikan pinjaman elektrifikasi senilai $1,2 milyar dari Cina. Tidak seperti Bank Dunia, lengan kebijakan ekonomi luar negeri AS secara de facto, Cina sangat tajam menempel tanpa negara-negara Afrika dengan pinjaman tanpa syarat tersebut.
Ini diplomasi minyak Cina telah memunculkan tuduhan aneh dari Washington bahwa Beijing sedang mencoba "mengamankan sumber-sumber minyak," tuduhan yang sebenarnya pantas disematkan pada kebijakan luar negeri Washington sendiri, setidaknya dalam satu abad terakhir.
Tidak ada sumber minyak yang telah menjadi fokus konflik minyak Cina-AS selain dari Sudan, rumah wilayah Darfur.
Kekayaan Minyak Sudan
Perusahaan Minyak Nasional China-Beijing (CNPC), adalah investor asing terbesar di Sudan, dengan sekitar US$5 miliar dalam pembangunan ladang-ladang minyak. Sejak tahun 1999 Cina telah menginvestasikan setidaknya $15 miliar di Sudan. CNPC sendiri kini memiliki 50% keuntungan dari kilang minyak dekat Khartoum bekerjasama dengan pemerintah Sudan. Ladang minyak itu (lihat grafik) terkonsentrasi di selatan, tempat perang saudara yang panjang-mendidih, sebagian terselubung dibiayai oleh Amerika Serikat, untuk memecah wilayah selatan Sudan dari pemerintahan Islam Sudan, Khartoum yang berpusat di utara.
CNPC membangun jalur pipa minyak dari blok konsesi 1, 2, dan 4 di Sudan selatan, menuju terminal baru Pelabuhan Sudan di Laut Merah, dimana minyak diangkut oleh kapal tanker dengan tujuan Cina. Delapan persen minyak China kini berasal dari Sudan selatan. Cina membutuhkan 65% hingga 80% dari 500.000 barel/hari produksi minyak Sudan. Tahun terakhir, Sudan merupakan sumber minyak asing keempat terbesar bagi Cina. Pada tahun 2006 Cina melewati Jepang sebagai importir minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dengan nilai impor 6.500.000 barel per hari. Dengan meningkatnya permintaan minyak sekitar 30% per tahun, beberapa tahun lagi Cina akan melewati AS dalam permintaan impor minyak. Kenyataan itulah yang jadi motor penggerak kebijakan asing Beijing di Afrika.
Sumber: USAID
Jika melihat konsesi minyak Sudan selatan menunjukkan bahwa CNPC Cina memiliki hak atas 6 blok di Darfur, dekat perbatasan dengan Chad dan Republik Afrika Tengah. Pada April 2005, pemerintah Sudan mengumumkan telah menemukan minyak di Darfur Selatan yang diperkirakan ketika dikembangkan dapat menghasilkan 500.000 barel /hari. Pers dunia telah lupa untuk melaporkan fakta vital dalam membahas konflik Darfur.
Menggunakan Tuduhan Genosida Untuk Memilitarisasi Kawasan Minyak Sudan
Genosida adalah tema yang dipilih, dan Washington berada dibaliknya. Anehnya, sementara semua pengamat melihat telah terjadi banjir pengungsi dari Darfur dan puluhan ribu atau bahkan sebanyak 300.000 telah tewas dalam beberapa tahun terakhir, hanya Washington dan LSM binaannya yang menggunakan istilah "genosida" dalam menggambarkan Darfur. Jika mereka (AS dan LSM Internasionalnya) mampu mendapatkan penerimaan umum dari tuduhan genosida tersebut, hal ini akan membuka kemungkinan untuk "perubahan rezim" radikal maupun intervensi NATO dan secara de facto oleh Washington dalam kedaulatan Sudan.
Tema genosida digunakan dengan dukungan skala penuh Hollywood seperti bintang George Clooney (Clooney adalah salah satu bintang dalam film politik minyak – Syriana- pen), untuk merekayasa kasus selama pendudukan de facto NATO di wilayah itu. Sejauh ini pemerintah Sudan menolak keras keterlibatan asing, jelas tidak mengherankan.
Pemerintah AS berulang kali menggunakan istilah "genosida" dalam merujuk konflik Darfur. Satu-satunya pemerintah yang menggunakan kata itu. Asisten Menteri Luar Negeri Ellen Sauerbrey, Kepala Biro Kependudukan, Pengungsi dan Migrasi, mengatakan dalam sebuah wawancara online USINFO 17 November lalu, " Genosida tengah berlangsung di Darfur, Sudan, pelanggaran besar hak asasi manusia, adalah salah satu di masalah internasional teratas yang jadi perhatian Amerika Serikat." Washington pun sangat percaya diri, bahwa pemerintah Islam Sudan telah membungihangus dan membunuhi ribuan populasi minoritas Kristen di Sudan selatan, yang menyebabkan etnis-etnis Kristen bangkit melakukan perlawanan bersenjata. Saya tidak akan terjebak dalam logika ini, milisi Kristen di Darfur pasti dibiayai CIA-AS, begitu pun milisi-milisi non Kristen anti rejim Islam Sudan. Pemerintahan Bush saat itu tetap bersikeras genosida telah terjadi di Darfur sejak tahun 2003, meskipun faktanya lima orang panel misi PBB yang dipimpin Hakim Italia Antonio Cassese melaporkan pada tahun 2004 bahwa genosida tidak pernah terjadi di Darfur, Meski memang terjadi sejumlah kejahatan HAM dalam perang, yang justru dilakukan milisi anti pemerintah. Kelima orang itu meminta pengadilan kejahatan perang.
Saudagar Kematian
Amerika Serikat, yang bertindak melalui sekutunya di Chad dan negara tetangga Sudan laiinya, telah melatih dan mempersenjatai Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SLPA) sebuah milisi Kristen pimpinan John Garang sejak tahun 90-an, hingga menuju kematiannya pada bulan Juli 2005. John Garang sempat menjadi siswa latih sekolah Pasukan Khusus AS di Fort Benning, Georgia.
Dengan menaburkan senjata ke Sudan selatan sebelah timur dan adanya penemuan minyak di Darfur, di daerah itu juga, Washington memicu konflik yang menyebabkan puluhan ribu orang sekarat dan jutaan lainnya dipaksa meninggalkan rumah mereka. Rejim Eritrea turut menyumbang milisi dan mendukung SPLA, payung kelompok oposisi NDA (National Defence Army), Front Timur dan pemberontakan Darfur.
Ada dua kelompok pemberontak yang berperang di kawasan Darfur, melawan pemerintah pusat di Khartoum pimpinan Presiden Omar al-Bashir : Justice for Equality Movement (JEM) dan Sudan Liberation Army (SLA) yang lebih besar.
Pada bulan Februari 2003, SLA melancarkan serangan terhadap posisi-posisi pemerintah Sudan di wilayah Darfur. Sekretaris Jenderal SLA Minni Arkou Minnawi menyerukan perjuangan bersenjata, menuduh pemerintah mengabaikan Darfur. "Tujuan dari SLA adalah untuk menciptakan demokrasi Sudan bersatu." Dengan kata lain, perubahan rezim di Sudan. Senat AS mengadopsi resolusi pada bulan Februari 2006 yang meminta pasukan NATO terlibat di Darfur, serta pasukan penjaga perdamaian PBB dengan mandate yang lebih kuat. Sebulan kemudian, Presiden Bush meminta tambahan pasukan NATO di Darfur. Genosida atau minyak?
Pentagon sibuk melatih perwira militer Afrika di AS, seperti yang terjadi ketika Washington menggoyang sejumlah pemerintahan sah di Amerika Latin seperti Chile, Guatemala, Kuba, Venezuela, Nikaragua, dan Panama selama beberapa dekade. Program International Military Education and Training (IMET) telah melatih sejumlah perwira dari Chad, Ethiopia, Eritrea, Kamerun dan Republik Afrika Tengah, yang pada dasarnya adalah negara di perbatasan Sudan. Sebagian besar senjata yang telah memicu pembunuhan di Darfur dan telah dibawa melalui operasi "saudagar kematian" seperti mantan agen KGB yang kini berkantor di Amerika Serikat, Victor Bout. Bout berkali-kali disebut dalam beberapa tahun terakhir karena telah menjual senjata di seluruh Afrika. Pejabat pemerintah AS menjaga operasinya di Texas dan Florida tetap tak tersentuh, meskipun Bout tercatat dalam daftar buruan Interpol atas kasus pencucian uang.
Program bantuan pembangunan AS untuk semua wilayah Sub-Sahara termasuk Chad, telah dipotong tajam dalam beberapa tahun terakhir sementara bantuan militer justru ditingkatkan. Motif minyak dan bahan baku strategis adalah alasan yang jelas dari semua ini. Wilayah Sudan selatan dari sungai Nil di utara hingga ke perbatasan Chad sangat kaya minyak. Washington tahu hal ini jauh sebelum pemerintah Sudan.
Proyek Minyak Chevron 1974
Perusahaan minyak besar AS telah mengetahui kekayaan minyak Sudan sejak awal 1970. Pada tahun 1979, Jafaar Nimeiry, kepala negara Sudan, pecah dengan Soviet dan mengundang Chevron untuk mengeksplorasi minyak di Sudan. Ini kesalahan fatal. Duta Besar PBB George H.W. Bush secara pribadi memperlihatkan pada Nimeiry hasil foto satelit yang menunjukkan minyak di Sudan. Nimeiry mengambil umpan. Perang minyak adalah konsekuensi saat itu.
Chevron menemukan cadangan besar minyak di Sudan selatan. Proyek pencarian dan pengujian cadangan minyak itu telah menghabiskan $1,2. Minyak itulah yang telah memicu perang sipil Sudan kedua tahun 1983. Chevron menjadi target serangan dan pembunuhan berulang-ulang sehingga menunda proyek eksplorasi tahun 1984. Pada tahun 1992, mereka menjual konsesi minyaknya di Sudan. Kemudian Cina mulai mengembangkan proyek yang ditinggalkan Chevron tahun 1999 dengan hasil yang sangat memuaskan.
Tapi Chevron tidak pernah menjauh dari Darfur kini.
Politik Migas dan Pipa Minyak Chad
Chevron milik Condi Rice kini berada di negara tetangga Sudan, Chad, bersama-sama dengan raksasa minyak AS lainnya, ExxonMobil. Mereka baru saja membangun jaringan pipa minyak $3,7 milyar yang mampu mengangkut 160.000 barel minyak per hari dari Doba di Chad bagian pusat ke dekat Darfur, melalui Kamerun ke Kribi di Samudera Atlantik, dan berakhir di pusat penyulingan di AS.
Untuk melakukannya, mereka bekerja dengan "Presiden seumur hidup" Chad Idriss Deby, seorang tiran korup yang dituduh telah mensuplai senjata AS kepada para pemberontak di Darfur. Deby bergabung dengan inisiasi Pan Sahel yang dijalankan dengan komando dari Pentagon AS-Eropa untuk melatih pasukannya dalam rangka memerangi "terorisme Islam." Mayoritas suku-suku di wilayah Darfur adalah Muslim.
Dengan dukungan militer AS, pelatihan dan senjata, pada tahun 2004 Deby melancarkan serangan pertama yang memicu konflik di Darfur, mengerahkan satuan elit Penjaga Presiden yang berasal dari provinsi ini, mensuplai seluruh personil dengan kendaraan lapangan, senjata dan senjata anti-pesawat untuk pemberontak Darfur terhadap pemerintah Khartoum di Sudan. Dukungan militer AS pada Deby sebenarnya telah menjadi pemicu pertumpahan darah di Darfur. Khartoum pun bereaksi dan berencana mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengusir intervensi asing.
LSM yang didukung Washington mengklaim genosida belum yang terbukti sebagai alasan untuk akhirnya membawa pasukan PBB/NATO ke ladang minyak di Darfur dan wilayah selatan Sudan. Minyak, bukan hak asasi manusia, ada di balik kepentingan baru Washington di Darfur.
K ampanye "Genosida Darfur" dimulai pada 2003, saat yang sama jalur pipa minyak Chad-Kamerun mulai beroperasi. Amerika Serikat sekarang memiliki basis di Chad setelah minyak Darfur dan berpotensi mengkooptasi sumber baru minyak Cina. Darfur sangat strategis, mengangkangi Chad, Republik Afrika Tengah, Mesir dan Libya.
Tujuan militer AS di Darfur -dan Tanduk Afrika secara umum - yang saat ini dilayani dengan kehadiran pasukan Uni Afrika dukungan AS dan NATO di Darfur. Disana NATO menyediakan lahan dan dukungan udara bagi pasukan AU yang dikategorikan "netral" dan "penjaga perdamaian" Sudan pada tiga front peperangan, masing-masing negara “netral” itu adalah Uganda, Chad, dan Ethiopia, caranya dengan kehadiran militer AS yang signifikan dan terus-menerus. Perang di Sudan melibatkan kedua operasi rahasia AS dan faksi "pemberontak" hasil pelatihan AS yang datang dari selatan Sudan, Chad, Ethiopia dan Uganda.
Deby Pun Mengincar Cina
Penyelesaian proyek pipa minyak AS yang didanai Bank Dunia dari Chad hingga pantai Kamerun dirancang sebagai salah satu bagian dari skema besar Washington untuk mengontrol kekayaan minyak Afrika Tengah dari Sudan dan seluruh Teluk Guinea.
Tapi mantan sobat Washington, Presiden seumur hidup Chad, Idriss Deby, mulai merasa risau dengan pangsa kecil dari keuntungan minyak yang dikuasai. Ketika ia dan parlemen Chad memutuskan pada awal tahun 2006 mengambil lebih dari pendapatan minyak untuk membiayai operasi militer dan ransom daging bagi tentaranya, Presiden baru Bank Dunia - arsitek perang Irak, Paul Wolfowitz, memindahkan pinjaman yang ditangguhkan ke negara itu. Kemudian pada bulan Agustus, setelah Deby memenangkan pemilihan ulang, ia menciptakan minyak perusahaan Chad sendiri (SHT) dan mengancam akan mengusir Chevron maupun Petronas Malaysia karena tidak membayar pajak utang, Deby pun menuntut bagian 60% dari laba minyak Chad. Pada akhirnya ia datang untuk berdamai dengan perusahaan-perusahaan minyak, tetapi angin perubahan bertiup.
Deby juga menghadapi pertumbuhan oposisi internal dari sebuah kelompok pemberontak Chad, United Front for Change yang dikenal dengan nama Prancis FUC, diam-diam mengklaim didanai oleh Sudan. Kawasan ini merupakan bagian yang sangat kompleks di perang dunia. FUC telah memiliki basis tersendiri di Darfur.
D alam situasi yang tidak stabil, Beijing muncul di Chad dengan membawa peti penuh bantuan dana di tangan. Pada akhir Januari, Presiden Cina Hu Jintao melakukan kunjungan kenegaraan ke Sudan dan Kamerun di antara negara-negara Afrika lainnya. Pada tahun 2006 para pemimpin Cina mengunjungi tidak kurang dari 48 negara-negara Afrika. Pada bulan Agustus 2006 Beijing mengundang Menteri Luar Negeri Chad untuk melakukan pembicaraan dan pembukaan hubungan diplomatik formal yang terputus tahun 1997. Cina telah mulai mengimpor minyak dari Chad maupun Sudan. Bukan karena banyak minyak, tetapi jika Beijing telah memulai jalan, semuanya segera akan berubah.
April ini, Menteri Luar Negeri Chad mengumumkan bahwa pembicaraan dengan Cina soal partisipasi lebih besar Cina dalam pengembangan minyak Chad "berjalan dengan baik." Dia merujuk istilah Cina dalam menemukan sumber eksplorasi minyak bumi, menyebutnya dengan : "kemitraan yang lebih adil daripada yang telah kami jalani selama ini."
Kehadiran ekonomi Cina di Chad, ironisnya, lebih efektif untuk menenangkan pertempuran dan arus pengungsian di Darfur daripada yang bisa dilakukan Uni Afrika atau kehadiran pasukan PBB. Strategi Cina itu tidak akan diterima Washington dan kantor pusat Chevron, karena minyak tidak akan jatuh ke tangan mereka yang berlumuran darah bercampur minyak.
Chad dan Darfur hanyalah bagian dari upaya luas Cina untuk mengamankan " sumber minyak" di Afrika. Minyak juga merupakan faktor utama dalam kebijakan Amerika di Afrika hari ini. Kepentingan Presiden AS saat itu, George W. Bush di Afrika termasuk pangkalan AS baru di Sao Tome/Principe 124 mil dari Teluk Guinea yang dapat mengendalikan ladang minyak Teluk Guinea dari Angola di selatan hingga Kongo, Gabon, Equitorial Guinea, Kamerun dan Nigeria. Sementara Cina pun telah memfokuskan kebijakan diplomatic maupun kegiatan investasi pada daerah yang sama.
"Minyak Afrika Barat telah menjadi kepentingan strategis nasional untuk kami," ujar mantan Dubes AS untuk Afrika, Walter Kansteiner yang telah kembali pada tahun 2002. Darfur dan Chad hanyalah merupakan kelanjutan dari kebijakan AS di Irak dalam arti “Kendalikan minyak di mana pun!” Cina adalah kekuatan yang menantang ambisi AS tersebut di Afrika. Ini Perang Dingin baru yang dideklarasikan karena faktor minyak.
0 komentar:
Posting Komentar