Sudan antara Separasi dan Syariat Islam

Tinggal menghitung jari menuju hari H penentuan nasib Republik Sudan pada 9 Januari 2011. Sesuai kesepakatan antara pemerintah wilayah selatan dengan pemerintah pusat, pada hari itu dilangsungkan istiftaa (referendum) separasi (pemisahan) Sudan selatan dari negara induknya.
Warga selatan yang merupakan seperempat dari sekitar 40 juta jiwa total penduduk Sudan berdasarkan sensus 2008, pada hari itu memilih antara ya atau tidak untuk pemisahan wilayah selatan. Indikasi kemenangan mengarah kepada pihak yang pro separatisme yang mendapat dukungan kuat negara-negara Barat.
Sedangkan dukungan atas pemerintah Sudan dan pihak yang pro integrasi dari luar negeri terutama di kalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab lambat laun makin surut. Dunia Arab hanya sebatas menghimbau bagi keutuhan kesatuan negeri paling luas di Afrika itu tanpa ada upaya nyata untuk menekan pimpinan Sudan Selatan guna mempertahankan integritas negara atau melobi dunia Barat.

Dua negara Arab terkemua di Afrika yang paling berkepentingan terhadap keutuhan wilayah Sudan yakni Mesir dan Libya akhirnya tidak bisa berbuat banyak. Dalam lawatan terakhir pertengahan Desember lalu ke Khartum, Presiden Mesir Hosni Mubarak bersama Pemimpin Libya, Moammar Kaddafi di hadapan Presiden Sudan, Omar Hassan Al-Bashir dan pemimpin Sudan Selatan, Silva Keir menegaskan bahwa mereka menerima apapun hasil referendum mendatang.
Karenanya hampir semua analis Arab menyebutkan bahwa disintegritas Sudan adalah suatu kepastian setelah referendum 9 Januari mendatang. Apalagi kalangan pemuka Kristen di selatan menjadi ujung tombak mendukung pemisahan, sementara dari kalangan ulama Islam di selatan yang diharapkan sebagai ujung tombak mendukung integrasi tidak terdengar nyaring suara mereka.

Pemuka Kristen pada perayaan Natal 25 Desember lalu untuk pertama kali memanfaatkan kesempatan ritual tersebut untuk tujuan politis bagi kepentingan pro separatisme atau dengan kata lain mempolitisir  hari Natal. Mereka secara tegas mendukung separasi dua Sudan sebagai opsi paling tepat bagi keberadaan dan perkembangan agama Kristen.
Sementara pemuka Islam nampaknya lebih memilih diam menunggu hasil referendum. Hanya warga biasa dari selatan yang sekali-kali muncul menyuarkan pro integrasi namun suara mereka tidak diperhitungkan dibandingkan gegap gempita suara-suara dari para politisi dan pemuka Kristen wilayah selatan yang pro separatisme.
Padahal bila dilihat dari komposisi penduduk wilayah selatan, kaum Muslimin lebih banyak yakni sekitar 24 persen, lalu Krsiten sekitar 17 persen sisanya 59 persen masih menganut animisme. Meskipun demikian, yang memegang kendali pemerintahan dan menguasai bisnis di selatan adalah dari kalangan Kristen sehingga suara kaum Muslimin hampir tenggelam apalagi sebagian dari tokoh Muslim juga banyak yang pro separatisme.
Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seandainya suara pro integrasi yang menang dalam referendum tersebut merupakan \"mu`jizat\". Paling tidak ada dua skenario menyangkut referendum dimaksud yaitu apabila suara pendukung wahdah (integrasi) menang tapi pemimpin selatan mengklaim terjadi kecurangan oleh pihak utara (pemerintah pusat), dunia Barat dipastikan menuntut pemungutan ulang di daerah-daerah yang diklaim terjadinya kecurangan dimaksud.

Namun sebaliknya (skenario kedua), bila terjadi kecurangan di pihak selatan untuk memenangkan separatisme hampir dipastikan Barat tidak akan menggubrisnya dan tetap mendukung hasil pro separatisme tersebut. \"Pasalnya, referendum dimaksud adalah peta jalan menuju pemisahan Sudan yang telah dicanangkan Barat,\" papar sejumlah analis Arab.

Dari sekilas paparan di atas memang telah dicanangkan jauh sebelumnya agar negeri terluas di Afrika ini dan nomor 10 terluas di dunia (2,5 juta km2) harus dipecah dan Barat kebetulan menemukan momentum yang tepat pada saat persetujuan damai antara Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Sudan (selatan) dengan wakil dari pemerintah pusat pada 9 Januari 2005 yang antara lain disepakati pelaksanaan referendum penentuan nasib sendiri bagi warga selatan lima tahun setelah persetujaun tersebut.
Janji Presiden Bashir belum lama ini agar semua hasil minyak di selatan akan digunakan sepenuhnya untuk membangun wilayah selatan bila warganya memilih integritas nampaknya sangat terlambat. Sebagaimana diketahui, cadangan minyak di selatan diperkirakan lebih besar dari total cadangan minyak Sudan.

Isyarat kuat
Disintegritas Sudan bakal menjadi salah satu peristiwa besar pada dekade pertama abad 21 ini di dunia Arab setelah hancurnya Irak pada 2003 lalu. Guna lebih memperkuat dugaan suara separatisme bakal menang dalam referendum mendatang baik pula melihat isyarat kuat akan lahirnya negara baru dari rahim Republik Sudan dimaksud.
Isyarat pertama adalah makin intensifnya zionis Israel membantu merampungkan pembentukan Tentara Rakyat (nama tentara Sudan Selatan) sebelum referendum dimulai. Berdasarkan Pusat Pelayanan Pers Sudan, pimpinan Sudan Selatan juga telah menerima paket bantuan senjata sebanyak 12 kontainer termasuk di dalamnya peluncur roket, roket anti pesawat, panser, roket darat ke udara dan berbagai jenis senjata lainnya.
Israel tidak hanya berhenti sebatas pasokan senjata, akan tetapi juga bantuan logistik dan kerjasama intelijen. Bahkan Kepala Intelijen Militer Israel mengungkapkan tentang peran besar negeri zionis itu dalam mempermulus separasi Sudan Selatan dari negeri induknya.

Isyarat kedua adalah desakan Dewan Keamanan PBB untuk menekan kedua belah pihak (pemerintah pusat dan pemerintah selatan) untuk segera menyepakati tapal batas utara dan selatan serta kesepakatan pembagian minyak pasca referendum. Hal ini membuktikan dorongan badan dunia itu ke arah disintegritas Sudan.
Sedangkan isyarat ketiga adalah penolakan pemerintah selatan seperti diungkapkan wakil pemimpin selatan, Riek Mashar atas tawaran Presiden Omar Bashir agar hasil minyak selatan hanya diperuntukkan bagi selatan sebagai imbalan atas keutuhan unifikasi. Mashar dengan tegas menyatakan bahwa waktu sudah berlalu dan selatan sudah di ambang kemerdekaan.
Adapun isyarat keempat adalah pemindahan puluhan ribu warga selatan yang mukim di utara ke ibu kota Juba di selatan yang mempertegas kesiapan sebagian warga selatan yang mukim di utara untuk menyongsong negara merdeka.

Sementara isyarat lainnya adalah beberan laporan Wikileaks tentang dokumen rahasia yang menyebutkan Presiden Bashir melakukan korupsi hasil  minyak sebesar 9 milyar dolar. Bocoran tersebut telah dibantah oleh pemerintah Sudan di Kahrtoum. Yang pasti bocoran itu bermaksud untuk memperkuat opsi pemisahan sehingga momentum publikasinya sengaja diagendakan Barat menjelang referendum.
\"Adapun suara-suara yang menegaskan keutuhan unifikasi Sudan tak lebih sebatas harapan. Kita mengetahui konspirasi yang dilakukan musuh kita namun sangat disayangkan kita selalu membuka tangan untuk bekerjasama dengan musuh,\" papar Khamis Ben Habib Al-Thoubi, analis Arab dalam kolomnya di harian Al-Watan Oman (20/12).

Penegakan Syariat
Mengingat negeri terluas di Afrika itu diambang disintegritas maka pemerintahan Bashir tidak ingin kehilangan semuanya. Agenda besar yang sejak lama tersandung akibat penolakan kaum minorotas Kristen di selatan yang didukung kaum sekuler di utara adalah penegakan syariat di seluruh Sudan.
Bila pemisahan akhirnya menjadi opsi warga selatan yang hampir pasti, maka tidak ada lagi alasan penolakan penegakan syariat Islam, bahkan negeri ini namapknya tidak ragu-ragu akan menambahkan nama Islam di belakang Republik Sudan. Hal ini ditegaskan Presiden Bashir, Ahad (19/12) lalu untuk mengantisipasi kemerdekaan Sudan Selatan.

Bashir menegaskan komitmennya untuk melaksanakan hukum Allah dan tidak ada lagi basa-basi untuk menunda-nunda pelaksanaan syariat. \"Islam adalah agama negara dan tidak ada lagi kelonggaran dalam menegakkan syariat Allah,\" tegasnya di hadapan massa sehubungan dengan petingatan hari panen nasional sambil mengecam kelompok yang disebutnya musuh syariat.
Bashir berjanji untuk mengamandemen konstitusi bila selatan merdeka. Sebagaimana diketahui konstitusi sekarang bersifat sementara hasil kompromi antara para pemimpin pemberontak di selatan dan pemerintah pusat pada Januari 2005 menandai berakhirnya perang saudara 20 tahun atau yang terlama di Afrika yang antara lain berisi pengakuan atas  keanekaragaman ras, etnik, budaya dan agama.
Janji Bashir menyangkut penegakan syariat ini hampir dipastikan mendapat dukungan mayoritas rakyat utara. Halangan yang mungkin berasal dari tokoh-tokoh sekuler nampaknya tidak akan berhasil, mengingat pengaruh mereka tidak mengakar di tengah masyarakat Muslim Sudan yang dikenal multazim (konsisten) melaksanakan ajaran agama Islam terutama yang terkait hukum pidana.
Sebenarnya hampir seluruh bangsa Arab ingin melihat Sudan tetap bersatu pasca referendum 9 Januari mendatang. Namun besar kemungkinan referendum tersebut akan melahirkan dua negara sekaligus yaitu Sudan Selatan yang pisah dari negeri induknya dan Republik Sudan dengan warna baru yang bertekad menegakkan syariat Islam secara konsekwen tanpa perlu khawatir penentangan dari Barat selama rakyat mendukung penuh. [Sana`a, 22 Muharram 1432 H/hidayatullah.com]
*)Penulis kolumnis hidayatullah.com, kini tinggal di Yaman

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger