MASALAH KEAMANAN DALAM KONTEKS INTELIJEN - TERROR DAN REFORMASI PRAKTIK KEAMANAN KONTEKS KEPOLISIAN

Masalah Intelijen dan Terror
Masyarakat sering menghubungkan langsung antara Intel sebagai lembaga dengan terror sebagai sebuah event/kejadian terror. Secara awam hal ini dapat dimaklumi. Namun apakah sebenarnya Intelilen itu dan bagaimana hubungannya dengan penanganan terror. Pada masa lalu dan sebagian hingga ,masa kini, banyak pihak yang menerima kehadiran intelijen dalam operasi intelijen yang ingin menggunakan kewenangan penegakan hukum. Hal inilah yang akan menjadi issue utama dalam pembahasan bagian awal ini.

Hakekat Intelijen adalah Pendayagunaan kecerdasan intelektual untuk mencermati (membaca) perkembangan dinamika kehidupan yang dihadapi oleh penguna Intelijen. Penggunaan Intelijen dalam organisasi (Pemerintah – Militer – Polisi – Bisnis, dsb.) menjadi ”mata dan telinga bagi Pimpinan Organisasi untuk dapat mengetahui perkembangan dinamika lingkungan kehidupan internal maupun eksternal, yang dihadapi organisasi pada setiap saat sesuai dengan kebutuhan Pimpinan  Organisasi.
         
Pelaku Intelijen dalam organisasi (Pemerintah – Militer – Polisi – Bisnis, dsb.) adalah para pejabat yang ditugasi untuk menggunakan kemahiran-Intelijen guna menghasilkan produk Intelijen dalam bentuk gambaran menyeluruh ataupun khusus, tentang perkembangan dinamika lingkungan kehidupan internal dan kehidupan lingkungan eksternal organisasi, yang disampaikan kepada Pimpinan Organisasi secara tepat waktu dan tepat sasaran, guna pengambilan keputusan/ kebijakan yang terbaik.

Produk Intel adalah gambaran menyeluruh atau spesifik tentang perkembangan dinamika lingkungan kehidupan internal dan eksternal Organisasi serta identifikasi risiko yang dihadapi organisasi (menggambarkan dan memprediksi) , dan lebih jauh dapat menyarankan/ menawarkan alternatif tindakan yang dapat diambil.  Pengguna produk Intel adalah Pimpinan Organisasi yang mengendalikan peran pelaku Intelijen, sehingga dalam tradisi Intelijen senantiasa berlaku kaidah kegunaan Intelijen yaitu bahwa : ”Inteligence is for the Commander/ Leader.  Produk Intel merupakan suatu early warning kepada pimpinan organisasi, yang harus disampaikan kepada pimpinan organisasi secara tepat waktu dan tepat guna, setiap kali dibutuhkan pimpinan guna pengambilan keputusan ataupun sebelum membuat suatu kebijakan. Dalam arti yang tegas bahwa pengambilan keputusan dan executing keputusan itu bukanlah menjadi tugas dan kewajiban intelijen lagi, melainkan tugas lembaga eksekusi lainnya, dan tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum.

Produk Intel secara keseluruhan adalah mencakup akumulasi dari hasil pelaksanaan siklus Intelijen, hasil pelaksanaan pengamanan Intelijen dan hasil kegiatan penggalangan, yang di-interprestasi-kan ke dalam satu kesimpulan dalam bentuk produk Intel, serta identifikasi risiko yang keseluruhannya ditujukan kepada pimpinan organisasi secara tepat waktu dan tepat sasaran (velox et exactus).
 Berdasarkan prinsip bahwa ”Intelligence is for the commander” (Intelijen hanya untuk Pimpinan), maka pewadahan bagi unit atau Badan pelaksana tugas Intelijen tidak dimungkinkan untuk diletakkan di bawah unsur-unsur Pembantu Pimpinan, melainkan harus selalu langsung berada di bawah kendali Pimpinan.
Artinya : Unit organisasi Intel harus melekat pada fungsi managerial Pimpinan untuk kepentingan decision making processes yaitu  sebagai pemasok ”early warning” kepada pimpinan organisasi dalam bentuk produk Intel serta identifikasi risiko yang harus dihadapi organisasi untuk semua alternatif cara bertindak yang dipilih.
Contoh :
          1) di AS, CIA berada langsung di bawah Presiden AS
2) di Indonesia BAKIN (sekarang ”BIN”) selalu di bawah Presiden,
    demikian pula RRC dll.
3) di Kejaksaan Agung RI, pelaksana fungsi Intelnya adalah salah
    Seorang Jaksa Agung Muda.
Pada umumnya produk intelijen digunakan untuk masukan bagi Tugas bidang pembinaan kekuatan meliputi  manajemen segala bentuk resources; dan tugas bidang penggunaan kekuatan terdiri dari tugas preemtif, peventiv dan repressip.
Oleh sebab itu, secara tegas dapat dinyatakan bahwa fungsi Intelijen dalam organisasi bukan merupakan bagian dari fungsi-fungsi penggunaan kekuatan atau bukan merupakan bagian dari fungsi operasional maupun fungsi pembinaan kekuatan, melainkan harus merupakan badan atau unit yang mandiri dan langsung di bawah kendali pimpinan organisasi, agar mampu menjalankan perannya  dalam mendukung proses decision making pimpinan organisasi. Atau dengan kata lain penggunaan kekuatan intelijen memang langsung di bawah kendali Leader/ Commander, karena ia adalah mata dan telinga sang leader.

Hakekat dari Terror adalah menakuti pihak lain atau pihak yang disasar, dengan cara-cara yang tak terbatas, untuk memaksakan kehendak. Termasuk memaksa orang lain lain untuk melakukan reaksi sebagaimana yang diharapkan oleh si  peneror.
          Trend perkembangan dalam konteks global, terror berkembang menjadi instrumen untuk mencapai tujuan. Cara yang tak terbatas ini juga menyiratkan bahwa terror tidak terlalu peduli dengan korban yang terjadi, sebagai akibat dari aksi/ event terror, walaupun korban itu tidak merupakan sasaran pokok dari terror. ( spt. Bom, Gas beracun, penembakan membabi buta, menyandera, dsb).
Oleh karena tidak memilih dan menseleksi korban secara relatif tajam, maka terror juga disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagai contoh peristiwa Lockberby, dimana tigaratus penumpang pesawat dikorbankan hanya untuk membunuh satu atau dua orang agen Amerika di pesawat yang bersangkutan. Peledakan keretaapi oleh Macan Tamil untuk menunjukkan eksistensi mereka, peledakan bom di Bali, JW Marriot, dsb.

Dalam realitasnya sebuah event terror hanyalah sebuah puncak gunung es dari sebuah atau gabungan masalah sosial (termasuk politik),  yang bersumber dari Systemic structure yang memunculkan sebuah atau gabungan Systemic issues (contoh : kemiskinan dengan agama, politik dengan agama, kebijakan dengan kepentingan golongan tertententu,dsb) yang dipahami secara spesifik,  oleh sekelompok orang yang membentuk mereka dalam mental model tertentu (sering juga dilabel dengan istilah ekstrim atau radikal). Oleh karena itu, berkaitan dengan fungsi dari intelijen yang sudah dikemukakan diatas, maka fungsi intelijen bila dihadapkan pada masalah terror, akan sangat berguna dan tidak melanggar hukum, ketika secara tajam diarahkan kepada pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasi tentang masalah sosial, masalah systemic structure, yang kemudian mendorong munculnya systemic issues dan terkosentrasi pada terbentuknya mental model tertentu, yang pada gilirannya menghasilkan perilaku terror

Prediksi tentang perkembangan kelompok masyarakat semacam inilah yang harus menjadi lapangan kerja dari intelijen dengan produk yang tajam, sehingga perkiraan/ peramalan tentang terjadinya terror akan mampu dilakukan intelijen dalam memberikan masukan kepada pengguna untuk mempreemsi dan memprevensi terjadinya terror. Perkiraan atau Peramalan ini, akan sangat berguna bagi para leader pengguna kekuatan        ( Preemtif, Preventif dan Repressif ), sehingga para calon pelaku terror dapat ditangani secara dini.

 Adalah sangat keliru bila intelijen hanya terlihat sibuk secara terbuka setelah terjadinya event terror (kalau sudah terjadi tentu tetap berguna mengumpulkan info) , karena sebenarnya jenis pekerjaan untuk mengungkap sebuah event terror harus tetap dilakukan dengan cara-cara yang berdasar hukum dan menjadi kewajiban dari para Penyidik. Dalam negara demokratis yang selalu berdasar Rule of Law, maka penanganan (pelaku) kejahatan harus dilakukan berdasar hukum, yang mengharuskan ia ditangani oleh institusi dan petugas yang diberi wewenang oleh hukum itu sendiri.

 Keterlibatan intelijen dalam proses repressif terhadap warga negara yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum (karena tidak memiliki wewenang yang diberikan oleh hukum), pada hakekatnya tetaplah merupakan kejahatan atau tergolong pula sebagai terror, dan secara hukum tetap dapat diproses sebagai pelaku kejahatan. Bila di masa lalu kita melihat intelijen militer yang melakukan tindakan menangkap para aktivis sipil, maka hal itu tetaplah merupakan kejahatan. Sebab intelijen memang bukan untuk menangkap (kecuali tertangkap tangan, yang memang merupapak kewenangan setiap orang) seseorang, melainkan untuk mengumpulkan informasi yang akan digunakan oleh leader untuk mengambil keputusan. Hal inilah yang menjadi prinsip dasar pekerjaan intelijen.
 Variabilitas Badan-badan intelijen di Indonesia membutuhkan kerjasama dalam pertukaran informasi, namun tidak berarti memiliki medan tugas yang sama, walaupun dapat saja membutuhkan informasi dari tempat yang sama.
  • BAIS  seyogianya di bawah Dephan untuk kepentingan strategi Pertahanan yang mengkoordinasikan Intel tempur (combat Intell) AD-AL-AU, untuk kepentingan operasi militer dalam menjalankan tugas Prtahanan Negara ataupun tugas-tugas MOOTW.
  • BAIS dan Badan Intel Luar negeri dapat menjalankan aktifitasnya di luar teritori NKRI dalam rangka mendukung Strategi Pertahanan Negara dan Kebijakan Diplomasi RI.
  • Intel-intel Yustisial adalah intelijen yang melekat pada Badan-badan Yustisial (Polisi-Jaksa-Imigrasi, dll) dan merupakan intelijen yang menjalankan aktifitas rutin di seluruh wilayah Yurisdiksi NKRI, dalam rangka menegakkan internal security (Kamdagri) yang bentuk keputusan yang diambil berkaitan dengan proses Law Enforcement.
Dalam kerangka fungsi intelijen dalam penanggulangan terrorisme global di Indonesia, keseluruhan fungsi-fungsi intelijen yang ada dapat memberikan kontribusi informasi, yang kemudian dikelola oleh Badan Koordinasi Intelijen pada tingkat nasional (Bakin/BIN), yang hasilnya dapat menjadi in-put kembali, sekaligus bagi kebijakan nasional (contra intelijen) maupun kebijakan parsial sesuai fungsi parsial pengguna intelijen.
Kekacauan penerapan intelijen, dapat berakibat buruk bagi kebebasan warga negara. Oleh karena kekacauan intelijen dapat berupa :
·         Penggunaan informasi intelijen hanya untuk Badan intelijen dan dipergunakan untuk tindakan repressif oleh Badan intelijen; hal semacam ini akan mudah dapat berubah menjadi Badan intelijen yang men-terror warga negara.
·         Aplikasi Intelijen yang bertentangan dengan prisnsip demokrasi (membatasi akses informasi publik, monopoli informasi,dsb), karena hal itu akan membuat Badan Intelijen sebagai satu-satunya pemilik informasi yang lengkap, dan berubah sebagai penguasa yang mengendalikan seluruh gerak pemerintahan; dengan kata lain ”Yang memerintah di belakang Pemerintah yang syah”.
Namun suatu hal yang berbeda di era globalisasi informasi saat ini, adalah bahwa badan intelijen (dalam arti milik negara/ pemerintah), bukan lagi satu-satunya institusi yang mempunyai capabilitas/kemampuan untuk mengumpulkan dan menganalisa serta menyimpulkan informasi. Ada banyak pihak dan banyak jalur informasi yang saling silang di realitas kehidupan masyarakat. Hal ini akan mengandung konskuensi bahwa ”Intelijen terbuka” menjadi jauh lebih besar porsinya dari pada ’Intelijen tertutup’ ataupun Intelijen ala James Bond.  Dengan demikian Intelijen akan menjadi lebih bermakna dalam artinya yang asli, yaitu penggunaan kecerdasan, dari pada konotasi ’tertutup’-nya. Terutama bila kesadaran kita akan keterkaitan setiap bagian pisik maupun psiko yang terlebur menjadi bagian dari aliran global, yang bukan tabula konflik ala The end of History-nya Francois Fukuyama; melainkan memiliki pula sisi konflik yang lebih keras ala The Clash of Civilization-nya Samuel P Huntington. Dengan kata lain pula bahwa semakin masyarakat memiliki intelijen (kecerdasan) maka semakin pula peran Terroris maupun peran Badan Intelijen semakin dapat dikontrol. Oleh karena Early Warning System terhadap masalah terroris (maupun masalah lainnya), tidak pula hanya bergantung kepada Badan Intelijen, melainkan ’intelijen masyarakat’ lah yang bersinergi mengeliminasi specific structures, issues dan mental model yang menjadi fondasi dari perbuatan terror.

Beberapa Pendapat yang disarikan dari Hal-hal diatas :
  1. Proses pengembalian fungsi Intelijen sebagai pengumpul, pengolah dan supplier informasi adalah sesuatu yang mutlak terus diupayakan dan dijaga dalam masyarakat demokratis yang menghargai HAM.
  2. Menjaga agar fungsi dan Badan Intelijen tidak menyebal dari yang semestinya, berhubungan erat dengan tingkat kecerdasan dan akses masyarakat terhadap dynamika informasi; dengan kata lain hal ini berhubungan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan.
  3. Nilai-nilai yang mutlak harus dikembangkan dalam masyarakat demokratis yang menghargai HAM, untuk mendukung fungsionalisasi intelijen, seperti : kesetaraan, partisipasi publik dalam proses bernegara, kedaulatan rakyat, HAM, egalitarian, Supremasi Hukum, dll; harus senantiasa dipromosikan, dengan kesadaran bahwa masyarakat kita memang memiliki nilai warisan Feodalistik dan paramiliteristik, yang unsur-unsurnya tidak selalu kompatibel dengan HAM.
 PARADIGMA BARU POLRI
 “Pekerjaan dan organisasi di sektor modern mulai berubah dari pekerjaan yang bersifat  craft menjadi pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based works). Kebutuhan sumberdaya manusia juga berubah kearah pekerjaan berpengetahuan (knowledge workers), karena itu pekerjaan yang bersifat rutin (meaningless revetitive taks) mulai diganti dengan tugas pekerjaan yang menekankan pada inovasi dan perhatian (innovation and caring). Ketrampilan dan keahlian tunggal mulai ditinggalkan diganti dengan profesionalisasi dengan keahlian ganda. Di samping itu penugasan yang bersifat individual mulai berubah menjadi pekerjaan tim (team work)”. (Osbane dan Gaebler, 1999).   

Perubahan-perubahan yang digambarkan di atas tidak hanya dapat terjadi dengan perubahan pengetahuan, ketrampilan, dan keahlian, namun juga menuntut adanya perubahan sikap, mental, dan pola pikir atau paradigma dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dari sudut pandang perubahan, justru perubahan sikap, mental dan pola pikir atau paradigma itulah yang umumnya lebih sulit dibandingkan dengan perubahan pengetahuan,ketrampilan dan keahlian.
Perubahan paradigma tersebut menuntut proses reformasi pada setiap diri orang-orang yang terlibat. Proses reformasi ini dapat diibaratkan pada perubahan ulat dari kepompong menjadi kupu-kupu yang indah. Awalnya, perubahan itu memang kelihatan sulit, menyakitkan, dan tidak indah, namun, setelah kemudian menunjukkan hasil dari proses perubahan yang dilakukan, maka keindahan warna kupu-kupu menunjukkan hasil yang pantas diperoleh dari perjuangan dalam proses perubahan yang dilakukan.

Bagaimana dengan Institusi Kepolisian ?
          “Tugas polisi yang kompleks tidak dapat lagi sebagai Craft (seni) tetapi sebagai profesi. Yaiitu para anggotanya dituntut untuk professional………. yang artinya harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan….. “ (Bactiar, 1994)
          “Polisi yang ideal dimanapun adalah polisi yang cocok dengan masyarakat …. dan berubah dari brawn  menjadi brain… dari  polisi yang antagonis menjadi polisi yang protagonist.” –(Rahardjo, 2000)
          Selama lebih dari 300 tahun, institusi kepolisian di berbagai belahan dunia, seperti di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia, telah mengalami serangkaian tuntutan perubahan dan reformasi. Reformasi tersebut merupakan pergeseran birokrasi kontrol dan perintah (bureaucracy), menjadi berorientasi kepada pasar (markets) dan kemudian menjadi berorientasi kepada jaringan (networks). Reformasi yang terus menerus menjadi konskuensi yang tidak diinginkan dari proses perubahan yang semakin cepat terjadi dalam masyarakat global saat ini. Oleh karena itu, bagi intitusi kepolisian di berbagai belahan dunia, perubahan bukan lagi dianggap sebagai hanya satu kejadian, tetapi sudah menjadi semacam pola hidup (way of life).
          Agenda utama perubahan bagi institusi kepolisian adalah terutama didorong oleh tuntutan untuk efesiensi dan efektivitas, sebagai sebuah perhatian terhadap hubungan antara polisi dan masyarakat atau komunitas yang dilayaninya (Bayley, 1994). Di Inggris, pergolakan industrial dan kekacauan publik menjadi pencetus munculnya reformasi kepolisian di era 1980-an. Kemudian reformasi struktural  dan organisasional digerakkan oleh keprihatinan tentang efektivitas operasional, efesiensi, dan akuntabilitas. Di Australia, selain agenda manajerial yang mendorong reformasi operasional kepolisian, beberapa keprihatinan lanjutan terhadap perilaku menyimpang dari polisi sejak akhir era 1980-an telah menjadi pemicu terhadap munculnya momentum perubahan (Plemming dan Lafferty, 2000).
          Dari berbagai proses perubahan dan reformasi yang terjadi pada intitusi kepolisian di berbagai belahan dunia tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkannya adalah karena terjadinya perubahan dalam administrasi publik, kebijakan publik, dan menejemen publik, yang pada gilirannya mengharuskan perubahan budaya perpolisian dalam menghadapi dinamika dalam masyarakat akibat perubahan tadi.

Tugas polisi yang kompleks tidak dapat lagi dikatakan sebagai craft (seni) tetapi sudah sebagai profesi, yaitu para anggotanya dituntut untuk profesional.... yang artinya harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan.

Tantangan Institusi Kepolisian
          Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan yang telah banyak mengalami perubahan, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan teknologi, adalah bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing structure) kepolisian agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktural pengelolaan organisasi polisi dalam melayani kebutuhan masyarakat telah bergerak dari bentuk birokrasi (bereaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network).
          Dalam struktur pengelolaan birokrasi, organisasi kepolisian berbentuk otoritarian, garis komando para-militer, teratur dengan peraturan organisasi yang ketat, dengan penekanan pada komunikasi internal dan vertikal. Penekanan umumnya lebih diarahkan kepada kepatuhan dibandingkan pada inisiatif, dimana pengambilan keputusan jarang dilakukan secara partisipatif atau kolegial bersama dalam garis kepangkatan. Dengan ciri kombinasi keberadaan birokrasi formal dan praktek kerja yang terstandarisasi dengan ketat, maka institusi kepolisian dengan bentuk seperti ini sangatlah sulit untuk mengalami dan melakukan perubahan. Kritik terhadap struktur birokrasi adalah pada dampak inefisiensi, terlalu ”gemuk” dan mahal, dan kurang insentif untuk proses yang lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat.
          Perkembangan manajemen kemudian mengarahkan penyerahan sebagian aktivitas atau proses internal kepada pihak eksternal (contracting out). Struktur pengelolaan birokratis yang berorientasi internal mulai bergerak ke arah eksternal atau ”pasar” (market ) dari institusi kepolisian tersebut, yaitu pengguna jasanya atau masyarakat. Bentuk ini didasari oleh model prinsipal dan agen, dimana kewajiban bersama dituliskan dan menjadi prinsip acuan dalam kehidupan publik. Kontrak antara institusi kepolisian sebagai pemberi pelayan dan masyarakat sebagai penerima layanan, menuntut tingkat layanan tertentu yang harus dilakukan dan hukuman spesifik jika hal tersebut tidak dipatuhi. Dalam perubahan tersebut, tuntutan terhadap standar indikator kinerja tertentu menjadi fokus, dimana kemudian lazim disebut sebagai kontrak kinerja dalam pemberian layanan publik. Kritik terhadap bentuk struktur berorientasi pasar yang menekankan pada kontrak kinerja tersebut adalah penekanan yang cenderung dapat berlebihan pada pengawasan pemenuhan kontrak. Kemudian rigiditas hanya pada pemenuhan kinerja atas apa yang ada pada kontrak juga dapat mengurangi fleksibilitas untuk meningkatkan kinerja dan memenuhi kebutuhan untuk hal-hal penting lain yang mungkin tidak tercakup dalam kontrak.
          Selanjutnya perubahan menuju kepada struktur pengelolaan bebentuk jaringan (network) menunjukkan kebutuhan organisasi pada tuntutan era globalisasi yang semakin menuntut kesaling-tergantungan antar organisasi dalam mencapai tujuan. Jika bentuk birokratis bercirikan kewenangan dan peraturan, dan bentuk pasar atau kontraktual bercirikan harga dan kompetisi, maka bentuk jaringan bercirikan diplomasi, kepercayaan dan resiprositas. Diplomasi merujuk pada manajemen dengan negosiatif. Kemudian kepercayaan adalah atribut paling penting dalam bentuk jaringan, dalam hal ini penting untuk mendukung sikap bekerjasama. Sementara resiprositas adalah saling keterkaitan yang mencirikan hubungan yang timbal balik dan saling menguntungkan. Institusi kepolisian yang mempraktekkan Community policing/ Perpolisian Masyarakat (Polmas) adalah bentuk yang perlu didukung oleh stuktur pengelolaan berbentuk jaringan.

Polri Dalam Perubahan Terus Menerus.
     Tantangan bagi institusi kepolisian Indonesia, dikaitkan dengan fenomena yang digambarkan di atas, terlihat sangatlah berat. Hal ini disebabkan Polri berada ditengah-tengah dinamika masyarakat yang berubah dengan cepat, tuntutan untuk menerapkan pemolisian yang lebih demokratis dan berorientasi pada masyarakat sipil, telah ”memaksa” organisasi Polri untuk segera merubah struktur pengelolaannya ke arah bentuk jaringan. Sementara dilain pihak, perubahan pemerintahan saat ini mengarahkan organisasi pelayanan publik untuk menerapkan standar layanan berupa kontrak kinerja yang harus dibuat dan ditandatangani yang dilakukan secara berjenjang dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah. Hal ini tentunya telah ”memaksa” organisasi Polri untuk pada saat yang sama merubah struktur pengelolaannya ke arah bentuk berorientasi pasar yang bersifat kontraktual.

     Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan yang telah banyak mengalami perubahan, yaitu bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing stucture) kepolisian agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktur pengelolaan organisasi polisi dalam melayani masyarakat telah bergerak dari bentuk birokrasi (bureaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network).

     Tantangan perubahan ini sangatlah berat  mengingat Polri mewarisi dengan sangat kental pola hirarkis militeristik yang sangat ketat dan birokratis dari masa sebelumnya. Meskipun sisi positif dari bentuk birokratis dalam hal kontrol terhadap pelaksanaan peraturan kebijakan tetap perlu dipertahankan, namun mau tidak mau Polri pada saat yang bersamaan harus mengadopsi nilai-nilai baru yang ada dalam struktur pengelolaan berorientasi pasar dan berbentuk jaringan. Jika tidak, maka Polri akan berbenturan dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam lingkungan pemerintahan dan masyarakat, dan menjadi tidak relevan dalam perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
     ”Poliisi yang modern dan demokratis adalah polisi sipil dengan birokrasi yang modern dengan sistem yang impersonal ... . dan untuk menjadi profesional adalah dengan memahami corak masyarakat dan kebudayaannya ... (Parsudi Suparlan, 1990, dan .... senjata polisi bukan water canon, gas air mata, atau peluru karet melainkan simpati (dan kerjasama) dari masyarakat.......”-(Sir Robert mark dalam Reiner, 2000).
     Sejalan dengan pemikiran tersebut, Polri berupaya menunjukkan strategi dan kebijakan pimpinan Polri dalam membangun Polri sebagai polisi sipil yang profesional dan demokratis. Di dalam kebijakan dan strategi pimpinan Polri dinyatakan, bahwa peran polri adalah sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, penegak hukum, dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti yang tertuang dalam visi dan misi Polri. Pada organisasi Polri yang menuju polisi sipil dan demokratis, maka peran dan fungsinya adalah memberikan pelayanan kepada keamanan dengan tujuan melindungi harkat dan martabat manusia, sehingga dapat  melakukan aktivitasnya dengan produktif dan aman. Dapat dikatakan juga prinsip yang hakiki dari peran dan fungsi Polri adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menyadari bahwa sumber daya manusia adalah sebagai aset utama bangsa.
     Dalam masyarakat yang modern dituntut adanya produktivitas. Dengan adanya produktifitas tersebut maka masyarakat akan dapat tumbuh dan berkembang ; sementara yang tidak produktif akan menjadi benalu yang menghambat atau bahkan dapat mematikan produktivitas tersebut. Benalu tersebut salah satunya adalah gangguan keamanan yang dapat berupa tindak kriminal, kerusuhan, konflik sosial dan sebagainya. Untuk mengatur dan menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat diperlukan adanya aturan serta norma yang adil dan beradab. Untuk dapat menegakkan aturan tersebut dan mengajak masyarakat agar mematuhi serta menyelesaikan berbagai masalah sosial dalam masyarakat, diperlukan suatu institusi yang dapat bertindak sebagai wasit yang adil, salah satunya adalah Polisi, (Suparlan, 1999).

     Sosok Polisi yang ideal di seluruh dunia adalah polisi yang cocok dengan masyarakat. Dengan prinsip tersebut masyarakat mengharapkan adanya polisi yang cocok dengan masyarakatnya, yang berubah dari polisi yang antagonis (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyrakatnya), menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya ke dalam tugas-tugasnya).
     Polisi yang modern dan demokratis adalah polisi sipil dengan birokrasi yang modern dengan sistem yang impersonal .... dan untuk menjadi profesional adalah dengan memahami corak masyarakat dan kebudayaannya.
     Senjata polisi (yang terutama) bukan water canon, gas air mata, atau peluru karet melainkan simpati masyarakat.

Polisi dan Profesionalisme
          Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan polisi. Dalam sebuah masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil dengan pranata adatnya, mereka mampu mengatur keteraturan sosial sendiri, dan tidak memerlukan polisi. Tetapi  pada masyarakat yang kompleks (pedesaan maupun kota) dimana pranata adat tidak fungsional lagi, maka untuk mengatur keteraturan sosial diperlukan institusi kepolisian untuk menangani dan mengatasi berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masalah keamanan (Suparlan 1999).
          Fungsi polisi dalam struktural kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat dan penegak hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram (Bachtiar, 1994). Dengan kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai beban/gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan : 1999).
          Untuk mewujudkan rasa aman itu, mustahil dapat dilakukan oleh polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang konvensional dengan melibatkan birokrasi yang rumit, dan mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain.
          Untuk mencapai pemolisian yang efektif diperlukan petugas kepolisian yang profesional. Profesionalisme Polri dapat dijelaskan dari kata profesi: bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu, yaitu ketrampilan, kejujuran, dan sebagainya.
          Profesionalisme merupakan kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri mutu dari orang yang profesional. Profesionalisme Polri adalah sikap, cara berpikir, tindakan, dan perilku pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu kepolisian, yang diabdikan pada kemanusiaan atau melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset utama bangsa dalam wujud terpeliharanya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat, dan keberhasilannya adalah manakala tidak terjadi gangguan kemanan dan ketertiban serta tercipta atau terpeliharanya keteraturan sosial. Disamping itu, pemolisiannya harus dapat diterima dan mendapat dukungan masyarakat.
          Pemolisian yang sekarang ini dikembangkan dalam negara-negara yang modern dan demokratis adalah pendekatan proaktif-pemecahan masalah (problem solving), yang lebih mengedepankan pencegahan kejahatan (crime prevention).
          Dalam pemolisiannya, Polri berupaya meninggalkan gaya militeristik yang diganti dengan pemolisian yang sesuai dengan fungsi polisi sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat, penegak hukum, dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
          Dengan demikian pemolisian yang diterapkan dapat berjalan secara efektif dan dapat diterima atau cocok dengan masyarakatnya sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya, berorientasi pada masyarakat, dan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi.

Polisi Sipil yang Demokratis
          Polisi sipil yang demokratis adalah polisi dalam masyarakat yang modern dan yang  mengedepankan demokrasi, dimana polisi dan masyarakat dalam hubungan kekuatan yang relatif seimbang dan saling mengisi (overlapping). Landasan utamanya adalah hubungan yang tulus antara polisi dengan warga masyarakat, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menerapkan strategi atau kebijakan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan kejahatan. Dalam paradigma demikian, polisi sadar akan kemampuannya yang terbatas serta tidak tahu kapan dan dimana kejahatan terjadi dan siapa  pelakunya. Agar dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugasnya, maka polisi harus mendapatkan dukungan atau tempat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat diupayakan dengan mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas, memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat, menciptakan dan memelihara keteraturan sosial serta memperbaiki keteraturan sosial yang rusak akibat konflik. Polisi harus memiliki kesadaran tersebut dan berupaya untuk memperbaiki kualitas pelayanannya. Kemudian juga perlu melibatkan warga masyarakat untuk ikut berperan aktif dan peduli dalam pengambilan kebijakan dalam rangka menciptakan dan memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat.
          Polisi dalam masyarakat yang demokratis pemolisiannya mengacu pada dasar-dasar atau prnsip-prinsip demokrasi yang antara lain :
-              Berdasarkan supremasi hukum.
-              Memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia.
-              Transparan.
-              Pertanggungjawaban kepada publik.
-              Berorientasi pada masyarakat.
-              Adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan polisi.

Community Policing (Pemolisian/Perpolisian Masyarakat : akr. Polmas)
Pendekatan komunitas dalam pemolisian telah menjadi dampak yang dominan dalam model pemberian layanan kepolisian dalam tahun-tahun terakhir ini. Dalam model ini, petugas polisi digaris depan menjadi kunci dalam membina hubungan dengan komunitas dan menjadi penghubung di dalam komunitas untuk  mengidentifikasi prioritas, pengembangan strategi, dan pelaksanaan pelayanan.
          Pendekatan Community Policing berawal di Kanada pada pertengahan dan era akhir 80-an. Pada awalnya, konsep dalam pendekatan ini tidaklah terlalu jelas, walaupun visinya adalah adanya keinginan untuk menyampaikan layanan publik dalam cara yang lebih baik. Pada  era inilah muncul konsep kemitraan komunitas dalam bentuk dimana komunitas menjadi mata dan telinga bagi polisi. Program pengawasan dan patroli masyarakat mulai  menjadi hal yang lazim terlihat. Sementara di lain pihak polisipun mulai aktif terlibat dan terlihat dalam pemberian layanan di tengah-tengah kegiatan dan aktivitas dalam komunitas.
Kata pemolisian adalah terjemahan dari “policing”, walaupun ada juga yang menterjemahkan menjadi perpolisian. Konsep pemolisian pada dasarnya adalah “gaya atau model yang melatar-belakangi sebagain atau sejumlah aktivitas kepolisian  .... , dan lebih dari sekedar tehnik atau taktik kepolisian yg dilakukan tatkala menginterogasi tersangka, mengawal tamu penting, mengatur lalu lintas atau saat memberikan penyuluhan, (Meliala, 1999).
          Perkembangan selanjutnya dari kemitraan komunitas adalah kerjasama polisi dan komunitas dalam identifikasi dan pemecahan masalah. Hal ini muncul di awal era 90-an akibat meningkatnya beban pajak masyarakat di beberapa negara, sehingga masyarakat menuntut layanan publik yang lebih baik. Oleh karena itu, masyarakat ingin lebih dilibatkan dalam mengawasi akuntabilitas organisasi publik dalam menggunakan uang masyarakat yang diperoleh  dari pembayaran pajak. Dengan semakin berkembangnya konsep Community Policing, terjadilah pergeseran filosofi dari kepolisian yang memberikan jasa perlindungan atau protektif menjadi kepolisian yang memberikan jasa atau produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, inti dari Community Policing  terletak pada petugas polisi digaris terdepan dalam melakukan identifikasi masalah yang terjadi di dalam komunitas. Dengan identifikasi masalah dan kebutuhan dari komunitas sebagai penerima jasa atau produk kepolisian, maka akan dapat membuat efektif jasa atau produk layanan publik yang diberikan oleh kepolisian kepada masyarakat, yaitu yang utamanya adalah dalam pencegahan kejahatan.

          Dengan sentralnya peran petugas polisi digaris terdepan yang bersinggungan dengan masyarakat, maka pengetahuan, ketrampilan dan keahlian para petugas polisi tersebut menjadi krusial bagi keberhasilan pendekatan Community Policing. Dengan peran yang harus dilakukan oleh petugas polisi tersebut, maka mereka haruslah memiliki keahlian untuk melakukan peran sebagai fasilitator, mediator, dan edukator. Dengan peran yang demikian maka Community Policing sangatlah menuntut adanya proses pengumpulan dan pemrosesan informasi yang baik, dan juga komunikasi yang efektif antara petugas polisi dengan masyarakatnya.

          Dalam Community Policing, yang ingin ditunjukkan adalah “gaya pemolisian” sebagai suatu tindakan atau aktivitas kepolisian dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang berkaitan dengan pencegahan terjadinya tindak kejahatan dan upaya menciptakan keamanan dan ketertiban.
Gaya pemolisian sebagai model  yang melatarbelakangi dari kegiatan atau aktivitas kepolisian dalam memberikan pelayanan keamanan baik kepada individu, masyarakat, atau negara dapat dipahami dan dijelaskan dengan memahami secara hilistik dari komunitas yang terwujud sebagai satuan kehidupan yang menempati sebuah wilayah, dimana anggotanya terikat dalam suatu hubungan.
Dalam era reformasi, pembangunan yang telah dan sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bertujuan untuk dapat  mencapai suatu kehidupan berbangsa, bernegara, dan masyarakat sipil yang demokratis. Dalam tatanan demokratis ada tiga unsur mendasar yang sakral, yaitu individu, masyarakat atau komunitas, dan negara, dimana ketiga-tiganya selalu berada dalam konflik kepentingan atau selalu dalam proses persaingan untuk saling mengalahkan. Namun salah satu dari ketiganya tidak dapat dikalahkan secara absolut, karena ketiga-tiganya harus dalam keadaan seimbang untuk dapat tercapainya kesejahteraan dan kemajuan masyarakat, (Suparlan, 1999).
          Dalam masyarakat sipil yang modern, setiap masyarakat dituntut untuk produktif dan berguna atau setidak-tdaknya dapat menghidupi dirinya sendiri serta dapat saling menghidupi satu sama lain dalam kehidupan  bermasyarakat. Mereka yang produktif dianggap sebagai beban atau benalu masyarakat. Tindak kejahatan atau kerusuhan dapat merusak atau menghancurkan produktivitas dan dapat menghancurkan masyarakat. Dalam masyarakat modern, tugas polisi adalah menjaga agar jalannya produksi yang mensejahterakan masyarakat tersebut jangan sampai terganggu atau hancur karena terjadinya tindak kejahatan atau kerusuhan. Tercakup dalam pengertian tersebut adalah menjaga jalannya produktifitas, dengan tujuan utama adalah menjamin keberadaan manusia dan masyarakatnya yang beradab (Suparlan, 1999).

          Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan polisi. Fungsi polisi adalah untuk menjaga agar kemanan dan ketertiban dalam masyarakat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dalam proses tidak dirugikan.
          Dengan prinsip tersebut di atas masyarakat mengharapkan adanya perubahan dari polisi yang antagonis menjadi polisi yang pratagonis. Harapan masyarakat kepada polisi adalah sosok polisi yang cocok atau sesuai dengan masyarakatnya dan hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh polisi sendiri. Dapat dikatakan bahwa polisi adalah cerminan dari masyarakatnya, masyarakat yang bobrok jangan berharap mempunyai polisi yang baik (Rahardjo, 1999).
          Dengan kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai beban atau gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut.
          Dari bahasan di atas, fungsi polisi bukanlah sebagai alat penguasa atau hanya untuk kepentingan pejabat pemerintah. Dalam menciptakan tertib hukum, kemanan tidak dapat lagi dengan menggunakan kekuasaan atau alat paksa yang bersifat otoriter militeristik. Di dalam masyarakat yang otoriter militeristik mempunyai ciri-ciri kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri. Hampir disemua negara yang atoriter, gaji pegawai negeri sipil, polisi dan militer amat kecil, sementara yang besar adalah fasilitas dan pendapatan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya. Hal tersebut di dalam organisasi kepolisian dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya sistem yang tidak adil dan orientasi para anggotanya bukan pada pelayanan masyarakat.
          Sebagai konsekuensi dari hal-hal yang uraikan di atas, maka orientasi polisi untuk menciptakan suatu kondisi keamanan  dan ketertiban dimasyarakat diperlukan kepolisian yang demokratis dan cocok dengan  masyarakatnya. Dengan mengacu pada acuan dasar demokratis, polisi dapat menunjukkan adanya kesetaraan antara masyarakat dengan aparat kepolisiannya, polisi tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakatnya dalam tindakan pemolisiannya senantiasa berdasar pada supremasi hukum serta memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Adanya transparansi atau keterbukaan atas kinerjanya adalah sebagai wujud pertanggungjawaban publik dari polisi (tidak lagi mengannggap semua tugas polisi rahasia dan harus dirahasiakan). Untuk mengawasi dan mengontrol kinerja polisi agar tidak menyimpang dari hukum dan peraturan yang berlaku, diperlukan adanya lembaga yang independen untuk melakukan pembatasan dan pengawasan kewenangan polisi dengan harapan agar polisi dalam memberikan pelayanan keamanan berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya.
Dengan demikian maka prioritas pemolisian tidak hanya melihat dari sisi kepolisian saja melainkan juga melihat harapan dan keinginan masyarakat. Dalam membeerikan pelayanan kemanan kepada masyarakat gaya pemolisian yang dilakukan tidak lagi bersifat reaktif atau menunggu laporan atau pengaduan atau perintah, melainkan proaktif dan senantiasa menumbuhkan kreativitas dan inovasi-inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Untuk menentukan gaya pemolisian yang terbaik bagi masyarakat tidak hanya ditentukan atau diatur dari atas saja (top down) ,yang diatur secara sentralistik atau diseragmkan, melainkan tumbuh atau muncul dari tingkat bawah yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya atau dengan sistem disentralisasi (bottom up).
Prinsip desentralisasi akan lebih memperdayakan masyarakat dan meningkatkan kreativitas serta inovasi bagi petugas kepolisian ditingkat bawah atau daerah. Devid Baylay dalam bukunya Police for The Future yang merupakan hasil penelitian kepolisian di lima negara maju yaitu Australia, Inggris, Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat, dengan sistem pemerintahan dan kepolisian yang berbeda-beda, menyebutkan :”semua negara tersebut mengutamakan kesatuan kepolisian yang paling dekat dengan masyarakat, yang dinamakan unit polisi dasar (basic police unit, which is the smallest full service teritorrial command unit of a police force)” . Di Amerika Serikat seperti LAPD, NYPD, dan SPD, di Inggris disebut sub devision, di Jepang disebut Police Station, di Belanda disebut district politie. Bayley menyatakan ”.... basic Police unit would be responsible for delivering all but the most specialized police services :their essencial function would be to determine local needs and to devize strategies to meet those needs.”
Di Negara-negara yang demokratis sekarang ini lebih mengedepankan penerapan pemolisian komuniti sebagi alternative gaya pemolisian yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelasaikan berbagai masalah di dalam masyarakat. Dalam hal tersebut polisi sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang bersama-sama dengan masyarakat dilingkungannya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya gangguan kemanan dan ketertiban dilingkungannya.
Elemen kunci dalam menentukan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif adalah melalui pemberdayaan masyarakat sipil. Masyarakat sipil mungkin ada tanpa demokratis, tetapi demokrasi tidak bisa ada tanpa masyarakat sipil yang kuat.
Community Policing adalah bentuk pemolisian sipil untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah kemanan) yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gannguan kriminalitas, (3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention) ,dan (4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Community Policing  tidak dilakukan untuk melawan kejahatan, tetapi mencari dan melenyapkan sumber kejahatan (Rahardjo, 2002). Landasan atau acuannya dalam melakukan Community Policing (community polcing) adalah sebagi berikut : 

1.            Dilaksanakan dalam lingkup yang kecil (RW atau maksimal kelurahan) yang menekankan pada komunitas dari hati ke hati (memahami bahasa lokal dan adat istiadat masyarakat suku bangsa setempat), untuk menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan warga komunitas kepada petugas kepolisian. Hal ini kemudian diikuti pendataan dengan kategori-kategori (pemukiman, perkantoran, nama warga/ kepala keluarga, dan sebaginya) dan mencatat keluahan dari masyarakat.
2.            Petugas kepolisian berupaya menyelesaikan berbagai masalah social dilingkungannya terutama yang berkaitan dengan masalah keamanan.
3.            Berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat akan adanya kriminalitas, melalui patroli jalan kaki, patroli bersepeda ataupun penjagaan pada jam-jam rawan.
4.            Lebih mengutamakan terciptanya maupun terpeliharanya keteraturan social diwilayah tugasnya, sehingga warga komunitas dapat melaksanakan aktivitas maupun proses produktifitasnya dengan rasa aman tanpa adanya ketakutan.
5.            Pendekatan petugas kepolisian bukan lagi pada ancaman tetapi pada potensi yang ada untuk menciptakan dan memelihara keteraturan social.
6.            Dalam menjaga hubungan antara polisi dengan warga, komunitas tetap menunjukkan peran dan fungsinya masing-masing (polisi tetap polisi, dan komunitas tetap komunitas).

Model Community Policing ditunjukkan pada posisi polisi yang fleksibel di masyarakat, bisa setara di bawah dan di atas. Posisi setara adalah posisi menjadi mitra masyarakat yang terpercaya dapat sebagai penengah bila terjadi konflik, dapat menjadi mediator atau fasilitator yang adil dan beradab. Posisi di bawah adalah senantiasa berupaya untuk memahami keluhan atau kebutuhan warganya, melalui kunjungan, atau dari asosiasi-asosiasi (misalnya asosiasi orang tua murid) sesuai dengan kategorinya. Tujuannya adalah dalam menentukan kebijakan untuk menciptakan maupun memelihara keteraturan sosial tidak semata-mata dari sudut pandang polisi. Posisi di atas adalah polisi dapat sebagai pengayom, pelindung, dan panutan bagi masyarakat sebagai aparat penegak hukum.   
---------------------------------------------o0o-----------------------------------------

OPERASSIONALISASI
Sebagai sebuah organisasi modern yang task oriented, Ide yang telah dikemukakan diatas, telah diluncurkan ke tataran operasional dalam bentuk Surat Keputusan dan Surat Perintah Kapolri (SKEP/737/X/2005 & Sprin/2326/X/2005 & Skep/432/VII/2006) yang merumuskan Ide diatas menjadi “Kebijakan dan Strategi Penerapan dan Panduan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Menyelenggarakan Tugas Polri”. Tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi dan pemahaman serta sosialisasi mengenai  ide diatas, sekaligus merupakan instruksi agar menjadikannya sebagai filosofi dan strategi untuk melaksanakan tugas-tugas kepolisian di lapangan, yang dapat diartikan pula sebagai menjiwai dan memandu segala hal ichwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian.  Sekaligus juga merupakan upaya yang nyata untuk melakukan perubahan paradigma.
          Perubahan semacam ini adalah sebuah perubahan besar kedua setelah perubahan besar Polri keluar dari Institusi ABRI, dalam bentuk ide besar demiliterisasi Polri, yang akan senantiasa membutuhkan upaya perubahan Filosofis, Structural, Instrumental, dan terutama bagian yang paling krusial adalah perubahan Kultural. Hal ini akan melibatkan perubahan cara pandang dari setiap anggota polisi dan setiap stake holder yang terlibat dan masyarakat luas pada umumnya, di samping hal-hal yang bersifat ukungan material dan finansial. Dalam mengayunkan hal ini tetap dibutuhkan kesadaran bahwa betapa sulit dan jauhnya sebuah perjalanan, langkah-langkah awal akan tetap merupakan tindakan yang bersifat strategis.t
          Dalam kerangka hal-hal diatas, dipromosikan pula “Prinsip-Prinsip Operasionalisasi Perpolisian Masyarakat” (Polmas), yang meliputi :
1.    Transparansi dan Akuntabilitas : Operasionalisasi Polmas oleh petugas Polmas dan Forum Kemitraan harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat setempat.
2.    Partisipasi dan Kesetaraan : Operasionalisasi Polmas harus dibangun atas dasar Kemitraan yang setara dan saling mendukung dengan menjamin keikut sertaan warga dalam proses pengambilan keputusan dan menghargai perbedaan pendapat.
3.    Personalisasi : Petugas Polmas dituntut untuk memberikan layanan kepada setiap warga dengan lebih menekankan pendekatan pribadi dari pada hubungan formal yang kaku, dengan menciptakan hubungan yang dekat dan saling mengenal di antara mereka.
4.    Penugasan Permanen : Penempatan anggota Polri sebagai petugas Polmas merupakan penugasan yang permanent untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga memiliki kesempatan untuk membangun kemitraan dengan warga masyarakat dalam wilayah jurisdiksi yang jelas batas-batasnya.
5.    Desentralisasi dan otonomisasi : Operasionalisasi Polmas mensyaratkan adanya desentralisasi kewenangan yang meliputi pemberian tanggung jawab dan otoritas kepada petugas Polmas dan Forum Kemitraan Polisi –Masyarakat (FKPM) sehingga merupakan pranata yang bersifat otonom dalam mengambil langkah-langkah pemecahan masalah termasuk penyelesaian konflik antar warga maupun antara warga dengan polisi/pejabat setempat.

Keefektifan operasionalisasi Polmas sangat ditentukan oleh perubahan pendekatan manajerial, yang secara substantive berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yaitu :
@ Kapolsek bertanggung jawab untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas Polmas; dan Kapolres bersama staf terkait bertanggung jawab untuk memperoleh dan menyediakan sumberdaya dan dukungan yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
@ Perubahan persepsi segenap anggota kepolisian bahwa masayarakat adalah stake holder, yang bukan hanya kepada siapa polisi memberikan pelayanan tetapi juga kepada siapa polisi bertanggung jawab. Semangat “melayani dan melindungi” adalah suatu kewajiban profesi.
@ Kerjasama dan dukungan Pemerintah Daerah dan DPRD serta segenap komponen terkait, pengusaha, LSM, dll.

REALITAS DAN USAHA BERSAMA UNTUK MEREALISASIKAN :
@ Tabiat Repressif yang terkadang terkesan kambuh.
Pendapat bahwa kebiasaan lama amat sulit pupus ( Old habbits die hard) sebagai sebuah pendapat yang terlontar begitu saja, memang dapat diterima khalayak sebagai sebuah common sense. Tetapi bila kita hanya bersandar pada common sense tentu dunia tidak akan pernah sampai pada keadaan seperti sekarang. Karena sepanjang sejarah manusia senantiasa terjadi perubahan. Sebuah perubahan habitual suatu institusi dapat terjadi dengan setidak-tidaknya pengaruh tiga hal yaitu : pertama : Ada keinginan yang kuat dari kelompok dan sebagian besar anggota kelompok untuk melakukan perubahan; kedua : Ada usaha sistimatis dalam bentuk program yang terencana secara professional melakukan perubahan itu. Program terencana itu menyangkut perubahan Filosofi, Struktural, Instrumental dan Kultural. Ketiga : Adanya dukungan nyata dari publik baik dalam bentuk kepedulian, pengawasan maupun koreksi yang nyata.
          Sejalan dengan hal diatas maka usaha untuk memperbaharui kebiasaan lama Pelayanan Polri dalam fungsi Preemtif, Preventif dan Repressif, sangatlah mungkin dilakukan; dan telah dibuktikan dalam perjalanan sejarah Polri sejak mulai digulirkan reformasi pada tahun 1998. Keadaan demokrasi dan HAM berada pada posisi sekarang ini dengan segala fluktuasinya tidak terlepas dari pengawalan Polri terhadap proses 10 tahun Reformasi mengusung Demokrasi dari titik besar Otoritarian di masa lalu. Namun seyogianya kita memang tidak menutup mata terhadap fluktuasi naik turunnya vector perubahan perilaku itu sepanjang 10 tahun ini.
          Munculnya mengemuka dan terkesan kambuhnya perilaku masa-lalu, dapat terjadi karena berbagai hal, antara lain :
1.    “Nostalgia masa-lalu” (paradigma lama) yang kadang muncul secara sproradis pada saat kontrol diri (internal) melemah karena berbagai sebab; dan hal ini secara sosio-psykologis dapat dipahami, walaupun tidak dapat ditolerir, dan harus dilakukan koreksi, melalui berbagai sistim yang ada ( Hukum, Politik, Manajemen, Internal dan Eksternal Audit, dll), agar semakin lama nostalgia itu semakin dilupakan.
2.    Kemungkinan timbulnya akibat tekanan secara eksternal maupun internal, karena berbagai proses yang yang built in berada diluar kendali personel pelaku lapangan. Tekanan itu dapat muncul sebagai keluaran dari berbagai supra system yang melingkupi Polri, seperti Sistem Ketatanegaraan, system Politik, Sistem Administrasi Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan berbagai realitas system yang eksis namun tidak diakui secara formal. Tekanan ini dapat mnimbulkan kebingungan bertindak, yang pada gilirannya automasi bertindak masa lalu muncul tak terkendali. Dalam lingkup inilah biasanya kebiasaan lama yang sudah pernah terinternalisasi dan relative lebih menyatu dengan naluri ‘dasar’ manusia dapat mengemuka.
3.    Berbagai masalah internal yang berakibat lemahnya kendali terhadap petugas terdepan di lapangan, menjadi salah satu penyebab pula dari munculnya uncontrol behaviour di lapangan, yang dalam praktek muncul sebagai tanggapan atas realitas yang dihadapi bersifat provokatif. (Dalam hal ini penerimaan taruna Akpol dari sumber sarjana sejak tahun 2007, adalah termasuk upaya untuk menciptakan first line supervisor yang lebih matang secara psykologis dan lebih professional)
4.    Dan Hal normal yang terkadang dalam snapshot media terlihat sangat repressif, dalam menghadapi berbagai kelompok maupun individu dalam masyarakat yang justru secara prosedural adalah  masih dalam koridor tindakan yang dibolehkan dan atau diharuskan. Yaitu dalam hal diperlukan tindakan seketika untuk melindungi Badan, jiwa dan harta benda anggota masyarakat yang terancam bila tidak segera diambil tindakan yang seimbang atau setingkat lebih tinggi. Dalam hal seperti ini maka opini seyogianya harus dihadapkan pada fakta, melalui prosedur yang tersedia ( Pengaduan, Pencarian Fakta dan Pengadilan serta rekonsiliasi bila diperlukan)

@ Usaha Manajemen Polri untuk Profesionalisasi.
Dalam rangka usaha untuk mewujudkan profesionalisme melalui filosofi Polmas, maka oleh pimpinan Polri dipromosikan 10 (sepuluh) prinsip sebagai hal yang harus dipedomani dalam pelaksanaan tugas, yaitu :
1.    Memberikan kontribusi kearah kesejajaran dan persaudaraan dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan.
2.    Membantu mempertemukan kebebasan dengan keamanan dan mempertahankan tegaknya hukum
3.    Menjunjung martabat manusia dengan mempertahankan danmenjaga hak asasi manusia serta mengejar kebahagiaan.
4.    Membangun keteraturan social dengan menunjukkan polisi bukan sosok yang menakutkan dan jauh dengan masyarakatnya.
5.    Memberikan kontribusi ke arah tercipta dan terpeliharanya kepercayaan di dalam masyarakat.
6.    Memperkuat keamanan jiwa dan harta benda, serta rasa aman bagi setiap orang.
7.    Menyelidiki mendeteksi dan melaksanakan penyidikan/penuntutan atas tidakan kekerasan sesuai hukum.  Polisi harus dapat memberikan jaminan dan perlindungan HAM.
8.    Menciptakan keamanan dan kebebasan berlalu lintas di jalanan seperti di jalan raya, jalan kampong dan tempat-tempat yang terbuka untuk umum.
9.    Mencegah terjadinya kekacauan, di mana polisi lebih  mengutamakan tindakan preventif yang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang pada masa aman.
10. Menangani krisis besar maupun kecil dan membantu serta memberikan saran kepada mereka yang mengalami musibah, jika perlu dengan menggerakkan instansi lain.

@ Pengawasan dan Kepedulian Stakeholder sebagai usaha Bersama
Dari berbagai hal yang telah diuraikan diatas, maka pengawasan internal dan eksternal yang melibatkan seluruh stake holder Polri, merupakan hal yang mutlak. Karena pada dasarnya keinginan untuk membuat Polri lebih professional dalam alam demokratis dan penghargaan terhadap HAM, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat adalah hal yang sudah diketahui bersama, disadari bersama dan perwujudannya merupakan kewajiban bersama. Mengapa kewajiban bersama ? Karena bagaimana Masyarakatnya begitulah Polisinya; Police also the shadow of the society; Police is the parts of the society.
          Dalam konteks ini seyogianya berbagai desk untuk memajukan Polri dalam demokratisasi dan HAM senantiasa perlu dipelihara (Kompolnas, semacam FKPM skala nasional maupun local yang melibatkan seluruh stake holder, dll; dapat bertemu untuk menetapkan target-target perkembangan perubahan, mengawasi bersama pelaksanaannya, mengevaluasi progressnya, dan melakukan koreksi konstruktif dan memperbaiki berbagai system yang terkait. Karena Polri adalah bagian dari masyarakat, yang ketika terjadi masalah sistemik di dalamnya, maka itu adalah bagian dari masalah supra system yang lebih besar yang harus dibenahi secara simultan. Sekian.





Disajikan dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM “10 Tahun Reformasi : Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia” Hotel Borobudur, Jakarta, 8 – 11 Juli 2008. Oleh : Zakarias Poerba.
Dikutip dari : POLRI Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra -  Refleksi Pemikiran Jenderal Polisi Drs. Sutanto, YPKIK, Jakarta, 2005

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger