Kebijakan Pertahanan Jepang dan Keamanan Semenanjung Korea pada Tahun 1990-an

B. Level Regional
Bertolak belakang dari Eropa, keragaman Asia adalah sumber dari banyak konflik. Cepatnya modernisasi dan industrialiasi dari kebanyakan negara Asia telah menciptakan banyak ketegangan politik dan sosial. Ekuilibrium/perimbangan ras di beberapa negara sangatlah tipis. Kebanyakan negara tidak mempunyai aturan yang dilembagakan mengenai suksesi kepemimpinan. Terdapat banyak konflik teritorial yang tak terselesaikan yang bisa pecah menjadi konflik terbuka walaupun bukan perang. Indochina masih disibukan dengan perang. Walaupun Eropa baru yang “diperluas” mengalami beberapa masalah yang serupa, di sana terdapat kondisi-kondisi yang lebih baik untuk mendapatkan solusi kooperatif untuk setidaknya membatasi masalah-masalah tersebut. Sebagai akibatnya walaupun Eropa sedang melakukan langkah-langkah yang lebih maju dalam kontrol senjata dan perlucutan senjata yang nyata, belanja militer di Asia Tenggara kenyataannya semakin meningkat.
            Terlepas dari alasan-alasan keragaman politik, budaya atau ekonomi, bangsa Asia tak pernah mempunyai kesamaan persepsi ancaman keamanan bipolar seperti halnya bangsa Eropa. Aliansi keamanan antara China dan Uni Soviet dibentuk dalam kaitannya dengan Jepang. Dalam aliansi-aliansi  keamanan antara kedua adikuasa dan kedua negara Korea, ancaman dari salah satu fihak merupakan faktor yang menentukan. ANZUS dibentuk untuk mengatasi Jepang walaupun persepsi ancaman kemudian bergeser ke arah Uni Soviet. Walaupun signifikansi ancaman Uni Soviet untuk traktat keamanan Jepang-Amerika Serikat tak pernah setara dengan persepsi Uni Soviet pada ancaman Jerman Barat.
Dengan adanya keadaan-keadaan ini, penciptaan pengaturan keamanan multilateral di Asia terbukti tidak mungkin. Yang terjadi, kita menemukan banyaknya pengaturan keamanan bilateral yang diusahakan untuk dikaitkan secara efisien satu sama lain dengan tanpa hasil oleh Amerika Serikat. Walaupun ASEAN didirikan dikarenakan ancaman keamanan dari Indochina, ASEAN hanya berfungsi sebagai suatu forum untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan  keamanan tertentu. Terlepas dari perang di Indochina, tidak ada persepsi ancaman yang sama di negara-negara anggota. Tidak berhasilnya upaya-upaya Amerika Serikat sebelumnya untuk menciptakan organisasi keamanan multilateral membuktikan hal ini.
Terdapat traktat-traktat antara Amerika Serikat di satu fihak dan Jepang, Korea Selatan dan Filipina di fihak lain, dan juga antara Uni Soviet dan sekutu-sekutu komunisnya. Keragaman dari bahkanpun negara-negara beorientasi Barat membuat suatu integrasi horizontal di bidang keamanan sangat tidak mungkin untuk melebihi konsep kabur dari “kesiagaan kooperatif.” Selain itu, traktat-traktat keamanan bilateral ini menghadapi beragama ketegangan, terlepas dari perkembangan hubungan kedua adikuasa.  Pengaturan-pengaturan multilateral memungkinkan sampai tingkatan tertentu difusi ketegangan, dan sebagian anggota bisa melepaskan diri dengan perilaku yang tak akan bisa diakomodasi di dalam hubungan bilateral, misalnya, perbedaan dalam kontribusi oleh masing-masing negara NATO semakin menciptakan gesekan-gesekan namun aliansi tersebut secara keseluruhan telah berhasil tetap solid. Masalah pangkalan di Filipina bisa diselesaikan, namun apapun hasilnya, keefektifan kehadiran militer Amerika Serikat akan mendapatkan kerugian. Untuk Filipian ancaman Uni Soviet tak pernah bersifat sangat nyata dan alasan-alasan ekonimi lebih berpengaruh untuk pemeliharaan traktat tersebut. Traktat keamanan Amerika Serikat-Korea Selatan semakin tidak menjadi populer di Korea dan setelah ancaman dai Korea Utara hilang atau Korea Selatan merasa bisa menanganinya sendiri, kehadiran fisik militer Amerika Serikat akan menjadi kecil. Ancaman Uni Soviet selalu ada di bawah ancaman dari Korea Utara dan perbaikan dramatis dalam hubungan dengan Moskow – apalagi disintegrasi berkelanjutan dan semakin parahnya ekonomi dan pemerintahan di Uni Soviet – akan tidak memungkinkannya untuk menggantikan ancaman Korea Utara.

C. Dampak Periode Pasca Perang Dingin
Cakupan perubahan di Asia Timur dalam periode pasca Perang Dingin adalah lebih kecil daripada di Eropa, dan sebagai akibatnya hasil-hasil jangka pendek dari perubahan-perubahan ini juga kurang begitu spektakuler. Uni Soviet sedang menarik 200.000 tentaranya dari Asia Timur, termasuk dua pertiga level tentaranya di Mongolia, memperamping Armada Pasifiknya, dengan memotong jumlah kapal di armada tersebut, mengurangi latihan-latihan militer, menarik kebanyakan pasukannya dari Vietnam, hal-hal tersebut hanyalah perubahan-perubahan yang besar saja. Selain itu, Uni Soviet juga mengizinkan Mongolia untuk melakukan suatu pembangunan politik yang lebih independen, menekan Korea Utara dan Vietnam untuk berperilaku lebih bertanggung jawab, dan mengurangi dukungan ekonominya untuk para sekutu tradisionalnya karena alasan-alasan ekonomi dan juga politik.
Hubungan Sino-Uni Soviet juga semakin diperbaiki, dan kedua fihak sedang menyelesaikan perselisihan perbatasan mereka dan sedang mengembangkan langkah-langkah pembangunan kepercayaan. Dalam suatu pernyataan yang agak tidak biasa pada Mei 1991 kedua fihak menyatakan bahwa mereka tidak lagi menjadi ancaman satu sama lain. Korea Selatan mungkin fihak yang paling diuntungkan di fihak Barat dengan terciptanya hubungan diplomatik dengan Uni Soviet pada September 1990 dan terlaksananya tiga KTT antara para pemimpin kedua negara dalam jangka 12 bulan. Pengaruh positif pada stabilitas semenanjung Korea mulai dirasakan dan pembicaraan-pembicaraan antara Korea Utara dan Jepang mengenai pembentukan hubungan diplomatik tidak bisa dijelaskan tanpa perubahan dalam kebijakan Uni Soviet. Jika para fihak yang berperang di Kambija pada akhinya bisa mengatasi perbedaan mereka, hal ini dimungkinkan hanya dengan pengaruh penengahan Uni Soviet dan pengurangan bantuan ekonominya pada sekutu-sekutunya di semenanjung Indochina. Pembicaraan antara Hanoi dan Beijing mengenai isu Kamboja pada musim panas 1991 harus dilihat dalam kaitannya dengan hal ini. Niatan Uni Soviet untuk mengembangkan Timur Jauh Uni Soviet dan membukanya untuk pengaruh menggiurkan booming ekonomi di Asia Timur akan juga mempunyai suatu pengaruh positif pada keamanan Asia Timur.
Walaupun perubahan-perubahan Uni Soviet tidak secara otomatis mengarah pada runtuhnya negara-negara komunis Asia, hal ini tidak berarti bahwa rezim-rezim komunis yang ada sekarang di Asia Timur akan terus terjaga keberadaannya. Kekalahan komunisme di Eropa merupakan suatu kejutan yang besar bagi mereka dan perkembangan-perkembangan di Eropa dan juga kemunduran ekonomi bisa mempercepat keruntuhan mereka. Para bekasa negara komunis Eropa menanggung beban besar dalam mendukung perekonomian mereka yang sedang menderita dan mere dan juga Uni Soviet menghentikan subsidi mereka. Baik pers Uni Soviet dan Kementerian Luar Negeri Uni Soviet telah, misalnya, mengkritik pemerintah Vietnam.
Dinyatakan bahwa walaupun militer Uni Soviet sedang mengurangi kekuatan secara kuantatif di Asia, perbaikan kualitatif sedang dilanjutkan. Suatu sinyal yang buruk diberikan pada niatan Uni Soviet dengan adanya transfer peralatan militer Uni Soviet dari area yang termasuk kesepakatan kontrol senjata terencana mengenai pasukan konvensional di Eropa ke Siberia dan Timur Jauh Uni Soviet, sehingga dengan jelas melanggar semangat kesepakatan dan juga idealisme politik mengenai indivisibility keamanan fihak Barat. Setelah mendapatkan pelajaran dari kesepakatan INF, negara-negara Barat memprotes Uni Soviet setelah pada awalnya kurang memperhatikannya. Pemerintah Jepang segera mengambil isu ini dan menggunakannya sebagai salah satu alasan mengapa dalam penilaiannya atas era pasca Perang Dingin, tidak terdapat hal yang benar-benar berubah di Asia Timur. Langkah Uni Soviet juga cenderung mengorbankan kepentingan keamanan negara-negara Asia Timur untuk mendapatkan détente di Eropa. Pada satu poin selama perdebatan INF Uni Soviet telah menawarkan untuk menarik SS-20-nya dari medan Eropa namun membiarkan beberapa peluncur (rudal) di Siberia, suatu usulan yang untuk sementara secara serius dipertimbangkan oleh para negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Dalam suatu kompromi antara NATO dan Uni Soviet pada Juni 1991, NATO terikat kesepakatan yang akan memungkinkan Uni Soviet untuk mempertahankan peralatan paling modern yang telah ditariknya dari area CFE sambil menghancurkan peralatan yang lebih tua dengan disertai verifikasinya, sehingga secara efektif mengorbankan kembali kepentingan keamanan Asia Timur. Walaupun Jepang telah menangkap masalah ini, RRC, yang paling terancam oleh peralatan yang ditempatkan di luar area CFE, bersikap diam mengenai hal ini dikarenakan kepentingannnya dalam memperbaiki hubungan dengan Moskow dan dalam membeli persenjataan Uni Soviet yang modern. Dalam perkembangan lain, terdapat pernyataan-pernyataan yang bertentangan dari para pejabat Uni Soviet mengenai keputusan untuk menarik diri sepenuhnya dari Vietnam, sekarang dengan alasan bahwa beberapa negara Asia Tenggara menginginkan suatu kehadiran militer Uni Soviet, dan juga pasukan militer Amerika Serikat, untuk berjaga-jaga atas kemungkinan buruk dari Jepang, China atau India. Disintegrasi Uni Soviet dan kekacauan ekonomi dan politiknya akan mungkin sekali lebih mengurangi kemampuan Moskow untuk mempertahankan pasukan/kekuatan militer seperti halnya yang sudah dilakukannya sejauh ini.
Namun, bukan hanya keuntungan-keuntungan jangka pendek yang lebih spektakuler dibanding Eropa, terdapat juga lebih banyak resiko yang terlibat dalam perubahan-perubahan tersebut. Dalam kasus negara-negara komunis Asia, resiko-resiko ini tampak cukup jelas dan adalah hal yang jelas mengapa mereka mereka mengkhawatirkan perubahan-perubahan ini dan ingin menahannya: Implikasi kebijakan-kebijakan Uni Soviet ini secara langsung ataupun tidak langsung mengancam kelangsungan rezim mereka.
Banyak resiko juga terlibatkan bagi negara-negara Asia lain yang sifatnya kurang begitu jelas atau lebih sulit diakui keberadaannya. Eropa dan Asia sama-sama dihadapkan dengan fakta geografis yang tak bisa dihilangkan bahwa apapun perubahan dalam kebijakan Uni Soviet, Uni Soviet akan dengan satu atau cara lain terus hadir sebagai tetangga mereka, dan komponennya yang paling penting, Rusia, masih merupakan kekuatan yang cukup besar untuk menciptakan suatu ancaman keamanan bahkan jikapun Uni Soviet menghilang dan bahkan jikapun tidak ada persepsi ancaman Uni Soviet yang sama dirasakan di Asia.
Yang lebih penting adalah bahwa pengurangan ketegangan adikuasa bisa mengancam komitmen militer Amerika Serikat untuk Asia yang diinginkan oleh banyak pemimpin Asia untuk alasan-alasan yang tidak berkaitan dengan pedi. Satu fungsi dari Amerika Serikat adalah untuk mengimbangi bangkitnya Jepang. Fungsi yang lain adalah kebangkitan kekuatan-kekuatan regional dengan cita-cita hegemoni. Bahaya yang yang ini adalah lebih nyata di Asia dibanding di Eropa dikarenakan negara-negara seperti India, Indonesia, Vietnam atau China. Sepanjang suatu pengaturan keamanan regional masih jauh dari terwujud seperti saat ini, Amerika Serikat akan menjadi satu-satunya kekuatan untuk mengimbangi ancaman yang sekarang lebih mendesak dibandingkan dengan gerakan militer Uni Soviet apapun. Perang Teluk tahun 1991 telah menunjukan pengaruh destabilisasi dari suatu kekuatan regional dengan cita-cita hegemoni, khususnya jika mereka bergerak secara satu persatu. Bisa dinyatakan bahwa seandainya Irak cukup puas hanya dengan wilayah ladang minyak yang dipertikaikan di utara Kuwait, Irak bisa saja menghindarkan diri dari agresi dan pendudukan atas tetangganya tersebut. Asia mempunyai banyak titik-titik rawan potensial, termasuk sejumlah masalah teritorial yang belum terpecahkan. Kepulauan Spratley, yang terletak di dekat sumber-sumber minyak yang menjanjikan dan menguasai jalur-jalur komunikasi laut yang vital, diperselisihkan oleh Vietnam, China, Taiwan, Filipina dan Malaysia. Akan menjadi sulit untuk mengandalkan hanya pada para adikuasa untuk menangkal suatu kekuatan regional yang penuh determinasi dan tanpa ampun dari pengambil-alihan kepulauan tersebut secara keseluruhan atau hanya sebagian.pada tahun 1991, para negara yang mengklaim bagian dari kepulauan tersebut bertemu pertama kalinya bersama dengan China untuk membahasa masalah tersebut. Amerika Serikat telah meninggalkan ambisi sebelumnya untuk mengkaitkan kesepakatan-kesepakatan keamanan bilateralnya dengan suatu cara yang efektif, dan sekarang mengajukan ide “kesiagaan kooperatif.” Pada saat yang sama Amerika Serikat menentang setiap pembahasan isu-isu keamanan yang berbasis regional, karena mengkhawatirkan bahwa hal tersebut akan memperlemah aliansi-aliansi bilateralnya di Asia dan menerapkan batas-batas pada kehadiran militernya di kawasan ini. AL Amerika Serikat semakin menambah latihan perangnya bersama dengan negara-negara Asia Tenggara dan telah menandatangani pada November tahun 1990 suatu kesepakatan dengan Singapura untuk mengizinkan “penugasan latihan” jet-jet AU dan lebih banyak kunjungan kapal. Dengan tidak adanya suatu pengaturan keamanan multilateral yang signifikan, negara-negara ASEAN semakin memperkuat jaringan ikatan pertahanan  bilateral yang sudah ada.

D. Penilaian Jepang atas Lingkungan Strategisnya yang Berubah
Penilaian resmi Jepang terhadap lingkungan strategi Asia Timur yang berubah adalah sangat berhati-hati dan berniat untuk tidak bersikap terlalu berharap. Pada level adikuasa, pemerintah Jepang menyatakan bahwa “pemotongan Uni Soviet atas bagian kekuatannya bisa menciptakan kekuatan militer yang lebih efesien dan modern” karena pemotongan tersebut mempengaruhi peralatan yang usang terlebih dahulu. Walaupun jumlah kapal selam dan permukaan menurun, Jepang menyaksikan suatu peningkatan bobot kapal. Pengurangan aktivitas AL Uni Soviet juga tidak dikatakan sebagai tidak sangat signifikan dengan menjelaskan perubahan ini sebagai reorganisasi militer, perlunya untuk menghemat bahan bakar dan keinginan untuk mengurangi ketegangan saat ini bukan suatu reorientasi fundamental dalam doktrin militer Uni Soviet. Konsesi terbesar dalam White Paper Pertahanan 1990 pada perkembangan-perkembangan baru dalam lingkungan strategi Asia Timur adalah penghilangan penggambaran Uni Soviet sebagai suatu “ancaman potensial.” Merupakan keinginan yang sangat kuat dari PM Kaifu untuk menghilangkan karakterisasi Uni Soviet ini. Di fihak lain pemerintah Jepang tak pernah sekhawatir Amerika Serikat mengenai ancaman Uni Soviet, yang membedakan tinjauan Jepang yang lebih bersifat regional dengan perspektif global Amerika Serikat. Selain itu, pemerintah Jepang selalu menunjuk kelemahan ekonomi Uni Soviet sebagai faktor penghalang utama bagi proyeksi kekuatan Uni Soviet, dan memburuknya ekonomi saat ini hanya meningkatkan penilaian Jepang ini mengenai kemampuan militer Uni Soviet. Pada level kekuatan regional, situasi di sektir Jepang dianggap “secara konstan tidak stabil dan bisa berubah-ubah” dan perhatian terpusat pada keberlanjutan ketegangan di semenanjung Korea, perang di Kamboja dan isu Teritori Utara.
Beragam faktor bisa menjelaskan sikap berhati-hati ini. Pertama-tama, kutipan-kutipan di atas adalah dari Badan Pertahanan yang sesuai sifatnya akan sangat enggan untuk mengubah perspektifnya dengan sangat cepat. Namun, sumber-sumber lain juga memperkirakan bahwa Uni Soviet sedang memodernisasi pasukannya di Timur Jauh dan bahwa Uni Soviet mempunyai, pada awal musim panas 1991 sekitar 480.000 personel militer, termasuk AU dan AL, tetap di Timur Jauh dan Transbaykal MD dan Mongolia, dengan total gabungan 12.600 tank dan 1.690 pesawat. Pada saat yang sama, terdapat kekhawatiran yang jelas bahwa opini publik Jepang, dipicu oleh hasil-hasil spektakuler dari pasca Perang Dingin di Eropa, akan bersikap berlebih-lebihan dan mengharapkan tingkatan hasil yang sama untuk Asia yang mempunyai situasi strategi yang berbeda. Kedua, perubahan-perubahan ini terjadi dalam suatu waktu ketika pemerintah sedang mengerjakan rencana pertahanan 5 tahun barunya dan terdapat kekhawatiran di fihak militer Jepang untuk alasan-alasan militer dan di fihak politikus untuk alasan-alasan perlindungan hubungan komprehensif Jepang-Amerika Serikat bahwa Jepang akan tidak bisa memenuhi pengharapan Amerika Serikat bagi Jepang untuk menanggung beban pertahanan yang lebih esar. Seperti yang kita aja lihat kemudian, Amerika Serikat sangat menentang kontrol persenjataan AL di Asia Pasifik dan pemerintah Jepang ada di bawah tekanan untuk mencegah tuntutan-tuntutan populer untuk adanya langkah-langkah kontrol persenjataan di Asia, yang berulang kali diajukan oleh Uni Soviet. Ketiga, dengan memperhitungkan kunjungan Gorbachev ke Jepang pada April tahun 1991, pemerintah menginginkan untuk menggunakan sikap tenangnya terhadap perubahan Uni Soviet dalam kebijakan keamanan dan luar negeri untuk mempertahankan tekanan pada Moskow untuk mendapatkan solusi yang diinginkan atas konflik teritorial. Terlepas dari kegagalan kunjungan Gorbachev untuk memajukan isu teritorial, Jepang terus menggunakan isu kontrol persenjataan atau bahkan CBM untuk kepentingan tuntutan teritorialnya. Uni Soviet telah, misalnya, mengusulkan pada tahun 1988 penandatanganan suatu Incidents at Sea Agreement sepeti halnya yang sudah dijalankan bersama negara-negara Barat lain namun pemerintah Jepang telah secara konsisten menolaknya. Secara ekonomi, Jepang tidak terlalu tertarik oleh usulan Uni Soviet. Bagian Asia dari Uni Soviet hanya memberikan insentif yang kecil bagi Jepang, dan bisnis Jepang sangat skeptis mengenai peluang keberhasilan reformasi ekonomi Gorbachev. Terakhir, dikarenakan aliansi eratnya dengan Amerika Serikat, pemerintah Jepang telah, di masa lalu, terlalu menaruh fokus pada ancaman Uni Soviet dan dengan pengurangan ancaman ini, Jepang menghadapi masalah dalam meyakinkan opini publik bahwa bahkan tanpa adanya ancaman Uni Soviet pun, masih ada sejumlah ancaman lain dari konflik-konflik regional. Berlebihannya penekanan pada ancaman Uni Soviet juga dibutuhkan untuk alasan-alasan diplomatis karena pemerintah Jepang tidak bisa menyebutkan secara terbuka bahwa salah satu ancaman potensial regional utama datang dari China dengan siapa Jepang mempunyai hubungan yang baik dalam satu bagian karena menginginkan untuk mengurungkan keinginan China untuk berpaling pada sarana militer untuk menetapkan klaim teritorialnya atau menjaga sub-sub wilayah lain seperti Indochina tetap lemah. Kekhawatiran/perhatian Jepang mengenai stabilitas aliansi pertahanan Jepang-Amerika Serikat juga mendorong pemerintah Jepang untuk terkadang tampak lebih terikat dengan skenario lama ancaman Uni Soviet dari pada Amerika Serikat sendiri.
Kesimpulannya, orang bisa mengatakan bahwa lingkungan strategi telah menjadi suatu stimulus bagi kebijakan pertahanan Jepang namun tak pernah mempunyai dampak yang sama pada kebijakan pertahanan Jepang seperti halnya di negara-negara Eropa. Yang ada adalah penggunaan prisma Timu-Barat Amerika Serikat dan juga pertimbangan-pertimbangan aliansi keamanan Jepang-Amerika Serikat yang memberikan pada persepsi resmi Jepang terhadap lingkungan keamanannya signifikansi besar dan fokus pada ancaman Uni Soviet. Untuk alasan-alasan ini pemerintah Jepang, sampai Juli 1991, telah bersikap sangat acuh pada setiap pembahasan regional mengenai isu-isu keamanan, dengan secara ketat mengikuti jalur Amerika Serikat. Namun, seperti yang akan kita lihat kemudian, Jepang sekarang telah menjadi lebih cenderung untuk mempertimbangkan perubahan-perubahan positif dalam lingkungan keamanannya.          

V. Kebijakan Pertahanan Jepang
Dikarenakan barunya era pasca Perang Dingin, hasil yang kurang spektakuler di Asia Timur, dan ketakutan Jepang terhadap kesehatan hubungan komprehensif dengan Amerika Serikat yang menentang kontrol persenjataan AL di Asia, hanya terdapat sedikit perubahan dalam kebijakan pertahanan Jepang. Prinsip dasarnya adalah masih untuk mempunyai suatu kemampuan untuk secara mandiri mengusir serangan-serangan skala kecil dan untuk membalas serangan-serangan skala besar dengan bantuan pasukan Amerika Serikat di dalam dan di sekitar Jepang. Kebijakan pertahanan dasar ini terus didasarkan pada persepsi fundamental mengenai situasi internasional seperti diungkapkan dalam “NDPO” 1976, yaitu, bahwa dengan mempertimbangkan keseimbangan militer hanya terdapat sedikit kemungkinan adanya suatu bentrokan militer skala penuuh antara Timur dan Barat dan bahwa walaupun kemungkinan suatu perang militer yang pecah di lingkungan Jepang tidak bisa dikesampingkan, perimbangan militer dan hubungan keamanan Jepang-Amerika Serikat akan melindungi Jepang. Namun dalam dekade terakhir, kemampuan militer Jepang telah meningkat secara signifikan dengan mencatat suatu rata-rata pertimbuhan anggaran pertahanan yang nyata sebesar lebih dari 5 persen pertahun dalam bentuk yen. Sebagai akibatnya level kemampuan pertahanan seperti yang ditentukan dalam NDPO 1976 sebagian besar telah dicapai pada tahun 1990. Selain itu, seperti disebutkan di atas, “Guidelines for US-Japan Defense Cooperation” 1978 telah mengarah pada suatu integrasi yang sangat erat dari kemampuan pertahanan Jepang ke dalam struktur kekuatan Amerika Serikat.
Dengan latar belakang pembangunan AL dan AU Uni Soviet yang signifikan, upaya counter MSDF dan ASDF sangatlah besar. MSDF telah berkonsentrasi pada ASW dengan pembelian sejumlah besar P-3C (45 tahun 1977, 100 tahun 1985) dan penempatan 68 kapal tempur permukaan utama (6 kapal perusak, 58 frigate, 15 kapal selam). Persenjataan inti ASDF adalah F15 yang dipunyainya sejumlah 135 pada tahun 1990. selain itu, Jepang mempunyai lebih dari 80 pesawat tempur-pencegat F4EJ dan 70 pesawat tempur pendukung F-1. Strategi GSDF didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet, jika terjadi suatu perang besar, akan menduduki sebagian Hokaido untuk menjamin akses bebas menuju Pasifik. Untuk alasan ini, Jepang sedang mengembangkan suatu kekuatan rudal yang impresif di Hokkaido.
Dikarenakan perubahan-perubahan dalam hubungan Timur-Barat, Jepang menunda rencana pertahanan 5 tahun barunya untuk tahun fiskal 1991-1995 sampai akhir 1990. terlepas dari situasi internasional yang membaik, diputuskan untuk tidak mengubah Defense Program Outline tahun 1977 yang menetapkan batas-batas tenaga manusia dan material, hanya evaluasi situasi intenasionalnya yang berubah. Rencana baru tersebut mempunyai karakteristik –karakteristik berikut:
-       penggantian dan modernisasi peralatan utama
-       peningkatan kemampuan logistik, inteljen, komando dan komunikasi
-       pendorongan senjata R & D untuk mendapatkan kemandirian teknologi yang lebih besar
-       perbaikan kondisi hidup dan kerja untuk tentara SDF
Kerangka keuangan untuk Midterm Defense Program yang baru ditetapkan pada 22.750 milyar yen dengan 37,4 persennya adalah untuk personel, 22,4 untuk peralatan frontal, dan 40,2 untuk meningkatkan kemampuan pendukung belakang. Kebalikan dari rencana-rencana sebelumnya selama tahun 1980an, tingkat pertumbuhan tahunan pada periode 1991-1995 hanya akan menjadi 3 persen. Selain itu jumlah total tank dan kapal perusak akan menurun pada akhir rencana tersebut dari masing-masing 1,205 menjadi 1,136 dan 62 menjadi 58.
Berdasar program yang baru Jepang akan membeli 4 pesawat AWACS dari Amerika Serikat, meneruskan untuk menggantikan rudal permukaan-ke-udara Nike dengan rudal permukaan-ke-udara Patriot 36, mendapatkan 10 kapal perusak, termasuk 2 kapal perusak AEGIS dan lebih jauh mempelajari pembelian radar OTH. Terlepas dari pengurangan jumlah kapal perusak, bobot kapal akan meningkat sebesar 41.000 ton.
Kebijakan pertahanan Jepang harus mengakomodasi elemen-elemen kunci berikut dari strategi Amerika Serikat di Jepang:
-       pengurangan level-level pasukan Amerika Serikat di Jepang, utamanya di Okinawa, dalam unit-unit darat dan pendukung
-       pendorongan oleh Amerika Serikat untuk meningkatkan kemampuan pertahanan teritorial dan kemampuan untuk mempertahankan jalur laut sampai sejauh 1.000 mil laut, namun tidak mendukung setiap “perkembangan yang bersifat destabilisasi pada kemampuan proyeksi kekuatan.”
-       Pelibatan Jepang lebih erat dalam upaya-upaya Amerika Serikat dengan sekutu-sekutu Barat untuk mempertahankan stabilitas dalam kawasan-kawasan kunci dunia.
-       Peningkatan dukungan keuangan Jepang untuk pasukan Amerika Serikat yang beroperasi dari Jepang (dan bukan hanya yang berpangkalan di Jepang).
-       Pendorongan pembelian maksimum dari Amerika Serikat untuk alasan-alasan ekonmomi dan interoperabilitas (saling memakai).
            Pemerintah Jepang telah kurang lebih bersikap bekerjasama dengan pengharapan tuntutan Amerika Serikat dan juga partner paling pentingnya ini. Pertama-tama, Jepang mempertimbangkan hubungan dengan Amerika Serikat secara komprehensif, termasuk aspek keamanan, politik, ekonomi dan teknologi. Saat hubungan tersebut semakin menegang dikarenakan peningkatan pertikaian ekonomi, pemerintah Jepang cenderung memenuhi tuntutan Amerika Serikat dalam bidang keamanan. Tuntutan Amerika Serikat pada Jepang untuk memberi kontribusi pada upaya Perang Teluk tahun 1990-1991 dengan lebih dari sekedar dana adalah satu contoh terbaru tekanan Amerika Serikat pada Jepang untuk memberi kontribusi lebih banyak pada pertahanan Barat. Pada akhirnya SDF mengirimkan satu armada kecil dengan lima kapal ke Teluk untuk membantu membersihkan ranjau setelah Jepang memberikan $ 13 milyar yang sebagian besar digunakan untuk menutupi belanja militer yang dilakukan Amerika Serikat dan Inggris. Kedua, Jepang semakin khawatir mengenai kemungkinan efek negatif dari penarikan berkala Amerika Serikat dari kawasan tersebut dan perlunya untuk menutupinya dengan lebih banyak lagi upaya pertahanan Jepang. Suatu pasukan pertahanan dan kebijakan pertahanan Jepang yang lebih mandiri akan dilihat sebagai ancaman bagi para tetangganya. Makanya Jepang mempunyai banyak kepentingan dalam mempertahankan kehadiran Amerika Serikat di kawasan tersebut bahkan jikapun mereka harus membayar lebih banyak untuk kehadirannya dan pada saat yang sama diingatkan oleh Washington atas “fungsi penyumbat”-nya (cork function).
Jepang sekarang membayar$ 2.5 milyar atau sekitar 42 persen dari pengeluaran $ 6 milyar Amerika Serikat untuk tentaranya yang beroperasi dari Jepang. Peningkatan porsi Jepang adalah bagian dari Midterm Defense Program yang baru untuk 1991-1995. Pada Desember 1990, pemerintah Jepang mengumumkan kesediaannya untuk menyetujui suatu kesepakatan dengan Amerika Serikat untuk meningkatkan bagiannya atas gaji yang dibayarkan pada orang-orang yang bekerja untuk pasukan Amerika Serikat di Jepang dan juga tagihan-tagihan utilitas sampai Jepang menutupi semua pembayaran tersebut pada tahun 1995. Jepang juga membeli lebih banyak persenjataan Amerika Serikat berdasarkan program Foreign Military Sales dibanding negara-negara lain manapun, dan lebih banyak dibanding gabungan Italia, Inggris, Perancis dan Jerman.
Pesawat tempur pendukung baru FSX akan dikembangkan bersama dengan Amerika Serikat, dan juga dengan persenjataan-persenjataan yang lain. Jepang akan membawa teknologinya untuk mengupgrade rudal Patriot. Pembelian piranti keras dan dorongan untuk meningkatkan komunikasi, termasuk penggunaan staleit, akan meningkatkan kemampuan Jepang untuk lebih baik dalam mengontrol wilayah udaranya dan jalur lautnya bersama dengan Amerika Serikat. Program yang baru tersebut menyebutkan secara khusus juga studi lanjutan mengenai pembelian kemampuan pengisian bahan bakar di udara yang akan menjadi langkah selanjutnya namun sejauh ini mendapatkan penentangan domestik yang kuat. Yang sangat penting juga adalah program pengembanganrudal ekstensi Jepang untuk rudal permukaan-ke-kapal dan juga rudal pemandu permukaan-ke-udara jarak pendek.
Kesimpulannya, kebijakan pertahanan Jepang berjalan untuk mengakomodasi tekanan Amerika Serikat pada Jepang untuk berbuat lebih banyak untuk keamanan nasional, kawasan dan global, sambil pada saat yang sama mecoba untuk tidak membuat jarak dengan para tetangganya dengan kekuatan militernya yang semakin besar. Dilema Jepang adalah bahwa semakin banyak Jepang berbuat untuk mengakomodasi keinginan Amerika Serikat untuk berbuat lebih banyak untuk pertahanan, semakin banyak opini publik Amerika Serikat (yang semakin bersikap bermusuhan pada Jepang dikarenakan gesekan ekonomi) akan menuntut penarikan lanjutan militer dari Asia Timur. Solusi Amerika Serikat untuk dilema ini tampaknya adalah mencapai pada suatu tingkatan integrasi kekuatan dengan SDF Jepang dan berbagi tugas-tugas militer yang tidak akan memungkinkan Jepang lepas dari kendali.

II. Aliansi Keamanan Jepang-Amerika Serikat
Tekanan Amerika Serikat pada Jepang dimotivasi oleh faktor-faktor yang beragam, dan seringkali overlapping. Pertama-tama, terdapat reaksi yang lebih bersikap mekanis pada fakta bahwa Jepang secara ekonomi berperforma sangat baik sedangankan Amerika Serikat mengalami kerugian dikarenakan persaingan ekonomi Jepang. Karena Amerika Serikat ingin tetap sebagai suatu kekuatan Pasifik, juga dalam hal militer, Amerika Serikat semakin mengandalkan Jepang dikarenakan penuurnan relatif dalam perekonomiannya. Jepang makanya harus menanggung tanggung jawab pertahanan yang lebih besar dan memberikan pembayaran lebih besar untuk payung keamanan Amerika Serikat. Kedua, dengan bangkitnya apa yang disebut “Japanese Basher” (penentang Jepang) terdapat pikiran bahwa Jepang secara ekonomi menjadi fihak yang mendapatkan terlalu banyak karena pengeluaran pertahanannya tidak sesuai dengan kekuatan ekonominya dan memaksa Jepang untuk berbuat lebih banyak dalam hal ini bisa mengurangi kekuatan kompetitifnya yang besar.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger