Ketegangan Di Asia Timur


Pendahuluan
Dalam tahun 2007 ini terasa memuncaknya ketegangan di Asia Timur. Hal itu dipicu banyak hal yang timbul karena kepentingan masing-masing negara di kawasan ini. Mengingat pentingnya negara-negara itu di dalam percaturan internasional, maka ketegangan yang dapat memuncak ke kondisi yang membahayakan perdamaian, tentu amat mempengaruhi umat manusia. China, Jepang, Russia, Korea Selatan dan Utara, negara anggota ASEAN, semua tanpa kecuali sedang mengembangkan kepentingannya masing-masing yang mengakibatkan ketegangan itu. Sekarang Australia juga menjadi bagian Asia Timur, sekurang-kurangnya dalam politik dan ekonomi internasional, sekalipun PM John Howard menolak usaha pendahulunya yang ingin menjadikan bangsa Australia bagian dari Asia Timur. Selain itu juga perilaku Amerika Serikat (AS) yang bukan negara Asia Timur banyak berpengaruh terhadap keadaan kawasan.

Dalam globalisasi sekarang perkembangan luar kawasan juga turut berpengaruh terhadap Asia Timur. Yang besar pengaruhnya adalah keadaan Timur Tengah di mana AS dan sekutunya mengalami kesulitan besar di Irak dan Masalah Palestina tidak kunjung dapat diatasi secara memuaskan semua pihak. Ditambah lagi oleh kemungkinan terjadinya konflik bersenjata antara AS bersama Israel melawan Iran yang dituduh telah mengembangkan senjata nuklir. Meskipun AS selalu menolak dugaan bahwa akan menyerang Iran secara militer, dengan didukung Israel, namun di pihak lain terdapat banyak laporan tentang adanya persiapan AS untuk menyerang.
Makalah ini membicarakan sumber-sumber ketegangan itu serta berusaha mencari jalan bagaimana mencegah peningkatan ketegangan yang dapat menyebabkan konflik yang membahayakan perdamaian dunia.

Sumber Ketegangan.
Sumber ketegangan di kawasan Asia Timur terutama disebabkan oleh hubungan yang kurang harmonis antara Jepang di satu pihak dan China serta kedua Korea di pihak lain. Hubungan kurang harmonis ini merupakan sisa-sisa Perang Dunia 2 berupa emosi dan kecurigaan pihak China serta kedua Korea terhadap Jepang di pihak lain.

China yang sebelum dan selama Perang Dunia 2 diserang dan diduduki sebagian wilayahnya oleh Jepang, menilai bahwa Jepang tidak ikhlas mengakui segala perbuatan kekejaman terhadap rakyat China, seperti yang terjadi dalam Peristiwa Nanjing. Kunjungan pejabat pemerintah Jepang, termasuk perdana menterinya, ke Kuil Yasukuni untuk menghormati arwah mereka yang gugur dalam perang, oleh China dianggap sebagai tindakan yang mengabaikan sejarah kelam Jepang selama Perang Dunia 2. Sebab di kuil itu juga disimpan abu para pemimpin Jepang yang telah dihukum mati sebagai pejahat perang. Setiap kunjungan perdana menteri Jepang ke Kuil Yasukuni pasti disambut oleh protes keras China. 

Juga China memrotes bahwa buku pelajaran sejarah Jepang tidak ada yang memuat perilaku Jepang selama Perang Dunia 2, seperti kekejaman yang diperbuat di Nanjing. Emosi yang kuat ini ditambah besarnya kecurigaan China bahwa Jepang akan membangun kekuatan militernya kembali dan lagi-lagi mengancam China. Perubahan yang dilakukan pemerintah Jepang di bawah perdana menteri Shinzo Abe dengan mengesahkan berdirinya kementerian pertahanan sebagai pengganti direktorat jenderal yang mengurus Angkatan Bela Diri, mengundang protes China. Padahal sebetulnya hal ini hanya merupakan perubahan nama belaka tanpa perubahan substansi. Apalagi kalau nanti Jepang meninggalkan sebutan Angkatan Bela Diri dan kembali ke sebutan Angkatan Perang.

Korea Selatan dan Korea Utara yang sekarang masih terpisah, hakekatnya adalah satu bangsa yang selama 35 tahun dijajah Jepang dan baru merdeka kembali ketika Jepang kalah perang pada tahun 1945. Bangsa Korea mengalami perlakuan yang keras dan bahkan kejam selama dijajah Jepang. Sebab itu mereka pun bersikap sama dengan China. Setiap protes China akan diikuti protes Korea.

Selain itu Korea Utara mempunyai persoalan dengan AS dan mereka yang berpihak kepadanya. Sejak adanya penghentian permusuhan dalam Perang Korea pada tahun 1952 belum pernah ada pengakhiran perang. Tetap pasukan militer Korea Utara berhadapan dengan pasukan AS dan Korea Selatan di garis demarkasi dengan pusatnya di Panmunjom. Sikap AS terhadap Korea Utara tetap sangat bermusuhan, terutama sejak presiden George W.Bush menyatakan Korea Utara sebagai bagian dari Poros Kejahatan (Axis of Evil) bersama-sama Irak dan Iran. Kemudian Bush membatalkan segala keputusan pendahulunya, Presiden Bill Clinton, yang mendukung usaha Korea Selatan melakukan pendekatan dengan Sunshine-polic, yaitu satu kebijaksanaan yang mendekati Korea Utara untuk membangun hubungan damai. Karena kemudian AS menyerang Irak, maka Korea Utara diliputi kekhawatiran akan diserang juga. Ia berpikir kalau satu dari Poros Kejahatan diserang, tidak mustahil yang lain juga diserang. Maka ia mengembangkan senjata nuklir yang dinyatakan terang-terangan untuk menimbulkan daya tangkal terhadap kemungkinan serangan. Akan tetapi itu menimbulkan reaksi berantai yang sangat menegangkan keadaan di Asia Timur.

Sumber ketegangan yang juga serieus adalah masalah Taiwan. Ada kalangan politik di Taiwan yang tidak mau ada integrasi dengan China dan hendak menjadikan Taiwan negara merdeka dan berdaulat. Kalangan ini mendapat dukungan kuat dari segolongan di AS yang tidak mau Taiwan bersatu dengan China. Maka China telah membuat undang-undang yang mengidzinkan penggunaan kekerasan apabila Taiwan menyatakan kemerdekaannya. Tindakan kekerasan China tidak mustahil akan dilawan AS dan Jepang untuk membela Taiwan. Maka segala sikap dan perilaku presiden Taiwan Chen Shuiban belakangan ini yang bernada proklamasi kemerdekaan merupakan sumber ketegangan yang cukup serieus.

Sebaliknya Jepang curiga terhadap peningkatan kekuatan militer Korea Utara. Keberhasilan Pyongyang menembakkan peluru kendali yang dapat mencapai Jepang menimbulkan kekhawatiran besar dan memperkuat golongan yang hendak menjadikan Jepang satu “negara normal” kembali. Termasuk mempunyai kekuatan pertahanan yang ampuh untuk mengatasi ancaman Korea Utara itu. Hal ini makin menguat ketika Korea Utara mengumumkan telah berhasil membuat senjata nuklir. Maka Jepang yang mempunyai kemampuan mengembangkan senjata nuklir, makin terangsang untuk menjadi negara nuklir. Kalau hal ini terjadi akan makin kuat kecurigaan China terhadap Jepang.

Jepang juga curiga kepada China yang makin memperbesar kekuatan militernya. China yang makin kaya karena kemajuan ekonominya, juga makin mampu memperkuat pertahanannya. Anggaran pertahanan China pada tahun 2007 meningkat dengan 17,8% menjadi sekitar US$ 44,97 milyard. Dengan begitu China menggantikan Jepang sebagai negara dengan anggaran pertahanan nomer tiga terbesar di dunia, di belakang AS dan Russia. Malahan AS dan Jepang menyatakan bahwa angka tersebut bukan yang sebenarnya karena anggaran pertahanan China jauh lebih besar dari angka itu. AS dan Jepang mengatakan bahwa China kurang transparen dan banyak yang disembunyikan. 

Perdana menteri China, Wen Jiao Bao, baru saja menyatakan bahwa China berhak menyusun kekuatan pertahanan sesuai dengan keperluannya. Sebab itu, katanya, China akan terus meningkatkan kekuatan pertahanannya sesuai dengan besarnya jumlah penduduknya dan luas wilayahnya serta kepentingan nasionalnya. Antara lain China masih merasa berkewajiban untuk mengintegrasikan Taiwan ke dalam wilayah nasional China. Sekalipun telah ditegaskan bahwa akan selalu ditempuh jalan damai untuk integrasi itu, namun kalau Taiwan menyatakan diri merdeka tidak mustahil China akan mengatasi itu dengan kekerasan. Meskipun begitu, kata PM Wen Jiao Bao, anggaran pertahanan China masih jauh lebih kecil dari anggaran pertahanan AS yang sekarang mencapai sekitar US $ 532,8 milyar.

Inilah sumber ketegangan kawasan Asia Timur. Mengingat kuatnya faktor emosi antara China dan Korea terhadap Jepang, sebaliknya kuatnya perasaan Jepang tidak mau disalahkan, serta berbagai perkembangan politik dunia maupun regional, maka sukar diharapkan ketegangan ini akan mereda. Malahan lebih mungkin justru akan menguat karena pengaruh faktor-faktor lain, khususnya peran dan perilaku AS.

Perilaku Amerika Serikat dalam menegakkan hegemoni.
Meskipun AS bukan negara kawasan Asia Timur, tetapi sebagai satu-satunya negara adikuasa dunia dalam militer-ekonomi-politik, perilakunya sangat berpengaruh terhadap negara-negara lain. Apalagi sejak AS secara terang-terangan menegakkan hegemoninya di atas dunia. Dalam hal ini AS melihat bahwa China makin menjadi rintangan yang amat kuat.

Untuk memperkuat usaha itu AS memelihara Persetujuan Pertahanan dengan Jepang dan Australia. Meskipun tidak lagi mempunyai hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan karena mengakui RRChina sebagai satu-satunya negara China, namun dalam kenyataan hubungan AS dengan Taiwan dalam pertahanan tidak beda dengan Persetujuan Pertahanan. Selain itu AS membentuk satu Alliansi Strategis dengan India, negara yang sedang mengejar China menjadi kekuatan dunia yang penting.

AS memandang China, negara yang sedang bergerak maju dengan amat dinamis, dari berbagai sudut. Buat kaum bisnis AS, China merupakan peluang bagus untuk meluaskan usahanya dengan memanfaatkannya sebagai pasar yang besar bagi produksinya. Buat mayoritas konsumen Amerika membanjirnya barang produksi China yang tidak kalah kualitasnya dan rendah harganya merupakan keuntungan untuk hidup enak secara relatif murah. Akan tetapi bagi para pemimpin AS yang merencanakan tegaknya hegemoni, China merupakan tantangan dan bahkan mungkin ancaman yang tidak sederhana. Meskipun demikian juga memberi manfaat karena dengan menjadi ancaman, China dapat dijadikan alasan bagi perencana di Pentagon untuk menyusun anggaran pertahanan yang tetap besar dan dapat disetujui Kongres.

Kemajuan ekonomi China telah diprediksi akan menyusul dan melampaui AS paling lambat dalam pertengahan abad ke 21 ini. Hal ini menimbulkan banyak pusing kepala bagi pimpinan AS. Sebab ekonomi yang makin maju berarti juga kemampuan yang makin meningkat untuk meluaskan pengaruh politik di seluruh dunia. Hal ini dihubungkan dengan kebutuhan China akan energi minyak yang makin meningkat sehingga harus mengamankannya dari seluruh bagian dunia. Ini semua merupakan tantangan berat bagi AS yang juga berkepentingan untuk mengamankan suplai minyaknya dari seluruh dunia. Keberhasilan China mendekati negara-negara Amerika Latin sangat merisaukan AS. Sepanjang sejarah AS selalu melihat Amerika Latin sebagai bagiannya (American backyard) yang tak boleh diusik pihak lain. Antara lain Monroe Doctrine yang ditetapkan pada 23 November 1823 menegaskan hak dan kewajiban AS dalam pengamanan Belahan Bumi Barat dan menolak masuknya kekuasaan Eropa dan tentu sekarang juga kekuasaan lain. Maka pasti meluasnya pengaruh China ke kawasan itu sangat memprihatinkan AS. Demikian pula meluasnya pengaruh China ke Afrika, termasuk ke negara-negara yang kurang dekat dengan AS seperti Sudan dan Libya.

Juga kemajuan ekonomi China memungkinkannya memperkuat dan memodernisasi kekuatan militernya. AS tidak hanya risau terhadap kemampuan China untuk merebut Taiwan secara militer, melainkan khawatir terhadap peran militer China pada umumnya. Keberhasilan China mengembangkan roket anti-satelit yang pada bulan Januari 2007 sanggup menembak jatuh satelit, dinilai AS sangat serieus. Sebab AS dalam berbagai aspek sangat tergantung pada satelit-satelitnya yang telah diorbitkan, baik untuk kepentingan intelijen, operasi militer maupun ekonomi.
Pada bulan Maret 2007 secara terang-terangan duta besar AS di Jepang mendesak Jepang agar meningkatkan kemampuan militernya. Ia mengatakan bahwa anggaran pertahanan Jepang yang di bawah 1% PBN-nya sangat kurang dibandingkan dengan AS yang membelanjakan 4% PBN-nya untuk pertahanan. Jelas sekali bahwa anjuran ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menghadapi China yang makin kuat. Terbentuknya Persetujuan Pertahanan antara Jepang dan Australia baru-baru ini pasti juga merupakan usaha AS untuk memperkuat posisinya terhadap China. Dibentuknya Alliansi Strategis dengan India menunjukkan bahwa AS bermaksud mengepung China (containment policy) seperti yang dilakukan dalam Perang Dingin yang lalu.

AS sangat risau terhadap hubungan China yang cukup erat dengan Iran untuk memperoleh suplai minyak yang teratur. Sebab AS menuduh Iran sedang mengembangkan senjata nuklir dan berhasil membawa PBB meletakkan sanksi atas Iran yang tidak mau tunduk kepada kehendak AS. Akan tetapi buat AS sanksi ini terlalu ringan karena sanksi yang tegas ditentang China dan Russia Demikian pula gerak China mendekati negara-negara Asia Tengah yang juga penghasil minyak sangat merugikan AS yang tidak saja memerlukan suplai minyak dari negara-negara itu, tetapi juga ingin mempunyai posisi kuat di wilayah yang amat penting artinya dari sudut geostrategi.

Sebab AS masih tetap pada tujuannya untuk mengamankan Timur Tengah bagi kepentingannya maupun kepentingan Israel sebagai sekutunya yang amat dekat. Kegagalannya di Irak nampaknya sukar diatasi dalam waktu singkat. Kalau hal ini ditambah lagi dengan kegagalan membuat Iran mengikuti kehendak AS, maka hal itu akan sangat mempengaruhi posisi dan pengaruh politik AS di seluruh dunia. Tujuan mencapai hegemoni akan makin jauh.
Maka dapat diperkirakan bahwa AS akan terus menggunakan berbagai kemampuannya untuk mewujudkan tujuan mencapai hegemoni. Hal itu juga menyangkut usaha menghambat kemajuan China. Apakah yang diperbuat AS terhadap Korea Utara akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kawasan. Juga sikapnya untuk membela Taiwan terhadap usaha unifikasi China. Hal ini menambah ketegangan di Asia Timur yang sudah tinggi keadaannya.

Peran Russia tak dapat diabaikan
Tidak boleh dilupakan bahwa Russia, selain merupakan negara Eropa, termasuk negara Asia Timur dengan wilayah yang cukup luas di kawasan ini. Meskipun Russia bukan satu negara adikuasa seperti Uni Soviet dulu, namun kekuatan dan potensinya cukup besar dan tak boleh diabaikan. Apalagi belakangan ini melalui berbagai pernyataan presiden Putin, Russia nampak usahanya untuk kembali menjadi kekuatan utama dunia.

Meskipun setelah bubarnya Uni Soviet terjadi pengurangan kekuatan yang mencolok, namun langkah demi langkah Russia makin memperkuat diri. Dalam bidang militer ia tetap masih kedua terkuat di dunia setelah AS. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Russia termasuk negara maju, terutama teknologi militernya. Dan dalam potensi kekayaan alam, khususnya minyak dan gas bumi, Russia adalah nomer wahid.
Kalau Russia dapat membangun industri dan ekonomi yang lebih efisien, maka dengan landasan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta besarnya potensi yang dimiliki, tidak mustahil Russia dapat menjadi negara industri besar di dunia.

Sebab itu peran Russia di Asia Timur dapat sangat berpengaruh. Baik China maupun Jepang sangat berkepentingan dengan minyak dan gas bumi Russia. China juga memerlukan teknologi militer Russia sebelum mampu menjadikan dirinya kekuatan teknologi yang setingkat. Sebaliknya China mempunyai kemampuan dana yang diperlukan Russia untuk mengembangkan dirinya.

Sedangkan Jepang tidak seluas itu kepentingannya terhadap Russia. Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi Jepang jelas setingkat atau bahkan mengungguli Russia. Dan secara psikologi Jepang tidak dekat dengan Russia. Sejak Perang Jepang-Russia tahun 1904 tidak pernah ada kedekatan Jepang dengan Russia maupun Uni Soviet. Setelah Perang Dunia 2 selesai Jepang mempunyai masalah territorial dengan Russia menyangkut kepulauan Kuril yang tidak kunjung selesai. Ditambah lagi bahwa setelah tahun 1945 Jepang menjadi dekat dengan AS dan menjadi sekutunya yang utama di Asia selama Perang Dingin. Maka sukar diperkirakan bahwa Russia akan lebih dekat kepada Jepang dari pada ke China.

Maka kalau China pandai menjalankan diplomasinya, tidak mustahil Russia dapat menjadi lebih dekat kepadanya. Hal itu sangat penting bagi China dalam menghadapi AS dan sekutunya yang berusaha meng-contain China. Mungkin dari pihak Russia lebih memilih posisi yang memungkinkannya mengembangkan posisi independen dan diperhitungkan di dunia. Sebab itu ia tidak mau dilibatkan dalam persaingan antara China dan Jepang, melainkan hendak memperoleh manfaat maksimal dari perannya menghadapi kedua pihak yang bersaing itu. Namun hal itu tidak lepas dari hubungan Russia dengan AS dalam percaturan dunia.

ASEAN mendapat dampak negatif
Sebagai bagian Asia Timur ASEAN mendapat dampak negatif dari ketegangan yang memuncak ini. Dampak pertama adalah kemungkinan timbulnya perbedaan kepentingan antara negara-negara ASEAN. Hal ini sangat dipengaruhi usaha AS untuk membentuk posisi kuat di Asia Tenggara yang letaknya amat strategis. Ditambah lagi bahwa AS maupun Jepang tidak mau melihat Asia Tenggara berpihak kepada China atas usaha kaum keturunan China yang besar jumlahnya di semua negara ASEAN.
Di satu pihak adalah negara-negara yang secara tradisional dekat dengan AS, yaitu mantan anggota SEATO seperti Thailand dan Filipina. Sekalipun bukan mantan anggota SEATO, tetapi Singapore selalu dekat dengan AS. Maka sekalipun di negara-negara itu banyak penduduk keturunan China yang juga membenci Jepang, tetapi karena negara atau pemerintahnya dekat kepada AS mereka menjadi dekat kepada AS dan Jepang.

Di pihak lain ada negara-negara yang dekat kepada China, seperti Myanmar, Kambodia dan Laos. Dan ada pihak ketiga yang tidak memusuhi AS tetapi juga tidak dekat karena hal tertentu, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam dan Vietnam. Indonesia sejak dulu selalu tegas memegang politik luar negeri bebas-aktif dan dengan penduduk Muslim yang banyak sukar berpihak kepada AS atau China. Malaysia yang juga berpenduduk Muslim banyak hampir serupa sikapnya, demikian pula Brunai Darussalam. Sedangkan Vietnam, sekalipun dulu berperang dengan AS tetapi juga kurang dekat kepada China. Maka Vietnam pun tidak akan berpihak kepada China atau AS-Jepang.
Perbedaan kepentingan itu dapat berdampak pada kekompakan ASEAN dalam menghadapi perkembangan dunia, baik politik, ekonomi maupun keamanan. Kalau hal itu terjadi maka sukar ASEAN masih dapat berfungsi produktif, karena mungkin sekali para anggotanya akan sangat mengurangi perhatian dan usahanya untuk ASEAN. Bahkan kalau ketegangan Asia Timur memuncak, tidak mustahil terjadi pula ketegangan antara anggota ASEAN sendiri.

Mungkinkah ketegangan diakhiri ?
Sebenarnya semua pihak berkepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu semua negara ingin agar keadaan internasional tetap dalam status damai. Sebab itu seharusnya mereka juga tidak berkepentingan berlanjutnya ketegangan yang dapat menjurus ke konflik antar negara.
Perdana Menteri Wen Jiaobao sudah menyatakan secara tegas bahwa China tidak akan mengganggu negara lain. Juga akan berusaha melerai ketegangan dengan Jepang dengan berkunjung ke negara itu dalam tahun ini. Sebaliknya juga dari pihak Jepang perdana menteri Shenzo Abe berusaha mencairkan hubungannya dengan China. Kedua pihak nampak menyadari bahwa berlanjutnya ketegangan merugikan mereka.

Namun untuk menjadikan hubungan antara Jepang dan China normal, perlu ada usaha kedua pihak untuk makin menghilangkan faktor emosi yang selalu membuka kembali luka. Jepang harus mencari jalan untuk dapat menghargai prajuritnya yang telah berkorban di medan Perang Dunia 2 tanpa dituduh menghidupkan kembali militerisme oleh bangsa-bangsa yang telah menjadi korban pendudukan Jepang di masa lalu.

Jalan yang dapat ditempuh adalah memindahkan abu dari pemimpin Jepang yang dihukum mati setelah Perang Dunia 2 dari Kuil Yasukuni ke tempat lain. Dengan begitu rakyat dan pejabat pemerintah Jepang dapat melakukan penghormatan kepada arwah prajuritnya di Kuil Yasukuni tanpa ada alasan dituduh menjunjung kembali militerisme. Selain itu Jepang perlu mengubah sikap dalam melihat masa lampau. Mengakui kesalahan dalam perbuatan bukan sesuatu yang menjadikan Jepang rendah harkatnya, justru sebaliknya. Sebab itu Jepang harus melakukan perubahan dalam pendidikan sejarah sehingga bangsanya disadarkan akan tindakan dan perbuatan salah yang telah diperbuatnya dalam Perang Dunia 2. Dengan begitu hal serupa tidak akan dilakukan lagi di masa depan.

Di pihak China dan bangsa-bangsa lain harus ada kesediaan bahwa menghormati arwah prajurit yang telah gugur di medan perang untuk membela bangsa adalah hal yang wajar dan terjadi pada semua bangsa, termasuk bangsa China. Juga perlu China dan bangsa lain menyadari bahwa perubahan sebutan Angkatan Bela Diri di Jepang menjadi Angkatan Perang yang dikelola oleh satu kementerian pertahanan tidak menjadikan Jepang beralih ke sikap militerisme. Semua negara yang penting mempunyai angkatan perang yang dikelola kementerian pertahanan dan itu sama sekali tidak menunjukkan negara itu militeristis. Malahan di Jepang berlaku sistem politik demokrasi yang dikendalikan oleh rakyat seluruhnya melalui partai-partai politik. Hal ini tentu menjauhi militerisme. Bahwa Jepang setelah lebih dari 60 tahun hendak kembali menjadi “negara normal” dan meninggalkan sisa-sisa Perang Dunia 2 adalah hal yang normal. Bangsa China dan bangsa-bangsa lain di Asia harus dapat menerima itu secara wajar.

Yang juga perlu dihilangkan sebagai sumber ketegangan adalah sikap Korea Utara terhadap AS dan Jepang. Korea Utara mengatakan bahwa akan menghentikan pembuatan senjata nuklir kalau AS membuka hubungan diplomatik disertai janji tidak akan menyerang Korea Utara. Persoalannya ada di AS, khususnya mereka yang terus saja curiga terhadap semua pihak yang tidak memihak kepadanya. Selama AS tidak mau atau tidak mampu mengubah sikap itu sehingga tetap melihat semuanya yang tidak berpihak kepadanya sebagai ancaman atas keamanannya dan kepentingan nasionalnya, sukar diharapkan AS mau membuka hubungan diplomatik dengan Korea Utara dan memberikan janji tidak akan menyerangnya. Bersamaan dengan itu juga Jepang yang sukar melepaskan diri dari ikatan pertahanan dengan AS akan terus bersikap curiga kepada Korea Utara. Jadi jelas persoalan harus dipecahkan di dan oleh AS, kemudian dilanjutkan dengan perubahan sikap Korea Utara yang benar-benar damai dan bersahabat terhadap semua pihak. Kemudian diusahakan unifikasi kembali Korea menjadi satu bangsa sehingga sisa-sisa Perang Dingin dan Perang Dunia 2 benar-benar habis.

Soal lain yang penting adalah masalah Taiwan. China sudah menyatakan bahwa penyelesaian integrasi Taiwan dilakukan secara damai. Hal itu tidak mungkin dipertahankan kalau Taiwan memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara dan bangsa yang berdaulat. Dalam hal demikian tidak mustahil bahwa China menggunakan kekuatan senjata untuk mengakhiri persoalannya. Kalau itu terjadi tidak mustahil AS membela Taiwan dan bersama AS juga mungkin Jepang.
Karena itu kuncinya ada pada Taiwan untuk tidak memproklamasikan kemerdekaan dan para pendukungnya di AS yang tidak mau Taiwan menjadi bagian dari China berhenti mendukung kalangan yang mau Taiwan merdeka. Sebaliknya rakyat Taiwan yang selama bertahun-tahun hidup aman sejahtera dalam kondisi politik yang relatif stabil harus mendapat jaminan China bahwa integrasi Taiwan tidak mengubah dan mengurangi kehidupan yang sudah tercapai. Kalau syarat-syarat itu diepenuhi maka Taiwan dapat berakhir sebagai sumber ketegangan yang berbahaya.

Namun itu semua menuntut semua pihak agar bersedia hidup harmonis satu sama lain dan bersama-sama meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Hal itu sukar dicapai selama ada golongan yang menghendaki bangsanya menegakkan hegemoni atas bangsa lain dengan alasan apapun. Nampaknya umat manusia masih harus meningkatkan kesadaran sosialnya (social conscience of Man) sehingga kemajuan yang dinamis dan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi diimbangi dengan sikap hidup atas dasar Moralitas luhur. Ini tantangan bagi seluruh umat manusia, khususnya bangsa-bangsa yang telah maju dan cenderung berpikir bahwa dialah Manusia Kelas Satu, sedangkan yang belum maju dinilai sebagai Manusia Kelas Rendah yang boleh saja diperbudak.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger