Dalam proses memperbincangkan studi wilayah, proses klasifikasi area studi menjadi penting. Proses klasifikasi ini didasarkan kepada beberapa pertimbangan: 1) Posisi geografis dan etnis dibandingkan dengan wilayah lain dalam satu kontinen. 2) Posisi idologis dibandingkan dengan wilayah idiologis lainnya. 3) Juga sering didasarkan pada pertimbangan posisi social-ekonomi yang dikaitkan dengan wilayah lainnya. 4) Bahkan suatu area tertentu tidak bisa dipisahkan dari pandangan atau kebijakan regim kolonial pada abad 16 sampai abad 19 dalam proses identifikasi terhadap suatu wilayah.
Dalam konteks ini Asia Selatan banyak dirujukan kepada suatu wilayah di benua Asia yang berada di sebelah selatan benua Asia, dan dalam batas tertentu wilayah ini merupakan bekas koloni dari Inggris. Dengan demikian yang dimaksud dengan wilayah Asia Selatan dalam konteks abad 20 meliputi negara-negara India, Pakistan, Bangladesh, dan Srilangka. Ada juga sementara ahli yang memasukkan Afghanistan sebagai wilayah Asia Selatan, karena terdapat etnik Afghani di beberapa negara seperti di Pakistan dan Bangladesh.[1]
Dari beberapa negara tersebut, terdapat komunitas muslim yang kental, baik dalam posisi mayoritas maupun Minoritas. Komunitas muslim dalam posisi mayoritas dapat ditemukan di negara-negara Pakistan dan Bangladesh. Kemayoritasan Muslim di dua negara ini tidak bisa dilepaskan dari proses separatisme komunitas muslim India, pada paruh dekade 19. Sedangkan posisi minoritas terdapat di negara India, dengan posisi mayoritas berada pada komunitas Hindu, dan negara Srilangka dengan posisi mayoritas berada pada komunitas Budha.
Variabel Konflik di Asia Selatan
Pada masa sebelum pembentukan regim nation-state, wilayah Asia Selatan merupakan wilayah yang relatif memiliki keunikan tersendiri. Dalam wilayah ini menjadi tempat inkubasi perkembangan dua agama bumi dunia yakni agama Hindu dan Budha. Yang dalam proses sejarah, agama Hindu tumbuh dan berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional India. Sedangkan agama Budha dalam proses pembentukannya sebenarnya berada di India, akan tetapi dalam proses perkembangannya tidak menjadi bagian identitas yang khas, karena agama ini menyebar ke wilayah yang lain seperti ke Indo-China, dan Asia Tenggara. Dalam konteks Asia Selatan agama Budha menjadi agama mayoritas di Srilangka.
1. Variabel Agama
Sedangkan dalam konteks Islam, agama ini pernah menemukan momentum dengan berdirinya dinasti Islam yang berbasis etnik Mongolia, maupun Arab yang dalam sejarah dikenal dengan dinasti Islam Mamluk[2] yang berlangsung lebih dari 3 abad. Peninggalan sejarah dinasti Islam Mamluk adalah Taj Mahal, maupun Masjid besar Babri di Ayodhya yang sekarang ini telah dibakar komunitas Hindu fundamentalis. Dari konteks ini terlihat bahwa terdapat kompetisi antar agama di selatan, yang secara sosiologi, politik dan ekonomi memungkinkan menjadi variabel konflik. Meski dalam abad ke 18 tokoh Hindu India, seperti Nehru dan Gandhi menyatakan bahwa keberagaman agama di India janganlah menjadi faktor konflik.[3]
Gejala agama menjadi variable konflik di India sebenarnya baru menemukan momentum yang berarti semenjak abad ke 19 dan 20 ini. Yang dalam konteks ini variable agama telah bercampur dengan variabel-variabel yang lain sehingga kemungkinan terjadinya politisasi agama menjadi besar. Kasus pecahnya India menjadi 3 negara di Asia Selatan tidak bisa dilepaskan dari konteks seperti ini. Konflik antara etnik Muslim di India dan Hindu, dalam kasus Masjid Babrik juga tidak dilepaskan dari proses interprestasi sejarah dari kelompok agama tertentu (Hindu India), yang menyatakan bahwa Masjid Babri merupakan masjid yang didirikan diatas kuil Rama, sebagai tempat kelahiran dewa Rama. Konflik ini baru meletus dengan sangat kuat pada dekade 1990-an, yang belum terjadi pada dekade dan abad sebelumnya. Dalam batas tertentu, kurun waktu dekade 90-an merupakan kurun waktu muncul dan berkembangnya gerakan fundamentalis di negara dunia ketiga. Dalam konteks Asia Selatan dekade 1990-an munculnya gerakan fundamentalis Hindu dalam bentuk politik, yang mengartikulasikan kepentingannya dengan Bharatija Jannata Party dan menjadi regim yang berkuasa di India dalam 4 tahun terakhir ini.
Konflik antar etnik di Pakistan yang relatif juga sama-sama Muslim juga mengental di dekade 1990-an. Hal ini ditandai dengan bentuk-bentuk kekerasan politik yang berbasis mazhab, baik antara kelompok Sunni-maupun Syi’ah, atau dengan kelompok Islam Ahmadiyyah.[4] Konflik ini juga tidak bisa dilepaskan dari proses artikulasi politik ekonomi, yang kemudian menemukan titik-titik konflik secara lebih berarti. Dalam konteks sejarah memang, konflik Sunni-Syi’ah memang sudah terjadi semenjak abad ke 7 M, akan tetapi untuk wilayah India, dan Pakistan pada khususnya konflik Sunni-Syi’ah merupakan konflik yang baru. Pakistan didirikan oleh eksponen Muslim sepeti M. Iqbal, Al-Maududi, maupun Ali Jinnah. Iqbal dan Maududi sendiri merupakan pemimpjn Sunni di Pakistan, sedangkan Ali Jinnah bermazhab Syi’ah.
Konflik berbasis agama yang lintas agama memang sudah terjadi semenjak tahun 1930-an, yang kemudian mengilhami pemisahan diri kalangan Islam India yang kemudian membentuk negara Pakistan. Sikap ini tidak bisa dipisahkan gejala politisasi agama di partai Konggres yang relatif menyudutkan kalangan Islam, sehingga M. Iqbal waktu itu menyatakan “Islam terancam”. Yang akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1947 secara resmi komunitas Muslim memisahkan diri dari India.[5]
Konflik yang beraroma agama juga muncul dalam konflik di Kashmir antara India dan Pakistan. Pakistan mengklaim bahwa Kashmir yang mayoritas Muslim merupakan wilayah integral Pakistan, sebab nama Pakistan sendiri merupakan gabungan beberapa etnik seperti P mewakili etnik Punjab, A mewakili etnik Afghani, K mewakili etnik Kashmiri, S mewakili etnik Sindhi, dan Tan mewakili etnik Baluchistan. Sedangkan bagi India, juga mengklaim di Kashmir terdapat komunitas Hindu yang terintegrasikan dengan India.[6]
2. Variabel Perbatasan
Konflik di Asia Selatan dalam 5 dekade terakhir banyak diwarnai konflik perbatasan antara India, Pakistan, Bangladesh dan Srilangka. Konflik antara India Pakistan cenderung terpusat di wilayah perbatasan, terutama di sekitar Kashmir. Daerah ini bagi kedua negara tersebut merupakan intersection (irisan), hal mana kemudian keduanya saling memperebutkan satu sama lain. Konflik tentang Kashmir semakin runcing manakala orang Kashmir sendiri mengartikulasikan kepentingannya dalam bentuk nasionalisme Kashmiri. Kelompok ini berusaha untuk membentuk negara tersendiri, pisah dari dominasi India. Memang secara territorial, Kashmir berada di bawah otorita India, tindakan dan kebijakan pemerintah India yang cenderung represif ini memancing Pakistan memberikan perhatian. Sehingga konflik di Kashmir ini semakin runcing karena melibatkan 3 kelompok, yakni kelompok Nasionalis Kashmir yang berusaha mendirikan negara Kashmiri (JLKF, Jammu-Kashmir Liberation Front), kelompok irredentis yang pro Pakistan (HMJK, Hizbul Mujahidin Jammu-Kashmir), yang berkehendak bergabung dengan Pakistan, serta kelompok irredentis yang pro India , yang berkehendak bergabung dengan India.[7]
Implikasi konflik dalam memperebutkan Kashmir ini memicu kedua negara ini melakukan arm races (perlombaan persenjataan) yang serius.[8] Keduanya bahkan memacu kemampuan tehnologi militer berupa kekuatan nuklir, sebagai kekuatan balance of terror. India dan Pakistan merupakan dua negara di Asia Selatan yang memiliki kemampuan nuklir, hanya karena perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) nuklir sajalah aktualisasi teknologi nuklir keduanya menjadi terhenti.[9]
Arm races inilah yang membuat keduanya harus mencadangkan anggaran militer yang cukup signifikan dalam anggaran belanja negaranya. Keduanya tercatat mencadangkan anggaran militer antara 3 sampai 5 % dari total GNP-nya. Pada dataran ini, Pakistan cenderung menjadi negara yang militeristik sebagai upaya tandingan terhadap sphere of influence yang ingin menjadi hegemon di Asia Selatan. Implikasi logis bagi keduanya adalah angka GNP untuk bidang kesejahteraan semisal untuk anggaran pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan sector riil menjadi terhambat. Fakta ini dalam pandangan Yusuf Qardhawy telah membuat keduanya terjebak dalam kemiskinan structural. Qardhawy menyatakan bahwa keduanya sebenarnya tidak pantas miskin secara ekonomi, terutama dari sector pangan dikarenakan keduanya memiliki daerah yang subur, dengan kebutuhan akan irigasi yang baik.[10] Kemiskinan pangan yang diderita keduanya seringkali lebih disebabkan oleh ketidakpedulian untuk menyelesaikan konflik Kashmir secara proporsional.
Lantas sebenarnya siapa yang paling bertanggungjawab terhadap konflik perbatasan seperti ini. Dalam pandangan Drysdale[11], konflik yang terjadi karena terdapatnya daerah intersection ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan regim kolonial yang cenderung membuat garis perbatasan antar negara secara artificial. Maksudnya regim kolonial cenderung membuat garis perbatasan baru menurut kepentingan regim, tanpa memperhatikan factor-faktor alamiah seperti etnis dan kondisi social budaya sebelumnya. Menurut Drysdale negara dunia ketiga cenderung selama ½ abad pasca kemerdekaan masih mengalami problem krusial seperti ini.
3. Variabel Etnisitas
Konflik yang terjadi di Asia Selatan memang sangat rumit dan pelik, hampir setiap hari terdengar berita tentang kekerasan, apakah yang berdimensi perbatasan, agama, dan terakhir etnik. Mungkin hanya kawasan Timur Tengah, khusus Palestina-Israel-lah yang bisa mengalahkan rekor kekerasannya. Konflik yang berbau etnik ini muncul di India, antara komunitas Muslim yang beretnik Punjab dengan etnik Hindu, ataupun di Pakistan antara etnik Punjab dengan Sindhi ataupun dengan komunitas etnik yang berbasis mazhab semisal Sunni-Syiah-Ahmadiyah, atau kelompok Muhajir, dan pertentangan antara kelompok fundamentalis dengan kelompok sekularis. Konflik etnik di Srilangka juga terjadi antara etnik Tamil di Srilangka, yang kemudian melibatkan kekuatan India.
Konflik etnis di India, antara kelompok Hindu dan Muslim sekarang ini amat menguat. Peristiwa pembakaran masjid Babri oleh sekelompok etnik Hindu menyulkut amarah dan emosi masyarakat muslim. Dalam bulan Maret dan April gelombang kekerasan etnik amat keras, pembakaran kereta yang ditumpangi oleh komunitas Hindu oleh komunitas Muslim akibat tindakan represif kelompok Hindu ini menyebar ke seluruh India. Gelombang kekerasan terhadap etnik Muslim ini menimbulkan simpati dari komunitas Muslim di Pakistan. Peristiwa pemboman terhadap gedung parlemen India Desember 2001, dianggap didalangi oleh komunitas fundamentalis Pakistan sebagai aksi solidaritas terhadap tindakan represif India terhadap masyarakat Islam. Kekerasan etnik ini membuat pemerintah India berang yang menuduh intelejen Pakistan berada di balik pemboman tersebut. Silang pendapat ini membuat keduanya mengarah pasukan di perbatasan keduanya. Kalau saja tidak terjadi aneksasi tentara Amerika Serikat di Afghanistan, yang relatif meredam konfliknya, bisa jadi India dan Pakistan di awal 2002 akan terjebak dalam konflik terbuka. Konflik berbau etnis ini diperuncing oleh sentimen keagamaan yang sarat dengan muatan-muatan politik.
Bagaimana konflik antar etnik yang terjadi di Pakistan ? Sebagaimana yang sudah diuraikan di depan bahwa nama Pakistan merupakan gabungan dari etnik muslim yang ingin melepaskan diri dari India dan kemudian membentuk negara yang sekarang dikenal sebagai Pakistan. Dalam struktur etnik di Pakistan terdiri dari:
TABEL Komposisi Etnik Pakistan
Etnik | Prosentase |
Punjabi | 66% |
Sindhi | 13% |
Afghan | 9% |
Baluchistan | 1% |
Lainnya (Kashmiri) | 1% |
Sumber: Pc Globe International 1995
Struktur etnik di Pakistan cenderung memiliki sifat otonom yang luas, hal mana bisa dipastikan etnik pasti membentuk propinsi tertentu. Jadi dasar pembentukan propinsi atau wilayah selama ini berbasiskan etnik, dan dalam sejarah di India dan Pakistan regim kolonial Inggris memang telah menanamkan ide otonomi ini sebagai salah satu plat form kebijakan untuk mengelola masyarakat. Hal ini bisa ditemui di Malaysia, di mana negara-negara bagian di Malaysia memiliki watak otonomi yang khas, sehingga begitu Malaysia mencanangkan kemerdekaan sistem yang dipakai adalah federasi. Sebagaimana pula Amerika Serikat yang juga pernah menjadi koloni Inggris juga memiliki watak otonomi wilayah yang kuat, dan pasca kemerdekaan Amerika Serikat juga membangun Federasi. Dalam batas tertentu kebijakan tersebut membuat sistem pemerintahan di Pakistan tidak sentralistik, beda dengan bekas koloni Belanda pasca kemerdekaan cenderung masik mempergunakan sistem sentralistik seperti kasus Indonesia.
Warna yang khas dalam sistem otonomi di Pakistan ini juga mencerminkan artikulasi orientasi politik masyarakat terhadap partai politik. Masyarakat Punjabi cenderung akan berafiliasi kepada kelompok Islam puritan, petani, yang cenderung akan memilih partai PML (Pakistan Moslem League). Dan masyarakat Sindhi yang bercorak aristocrat, tempat di mana Ali Bhutto berasal cenderung berwatak urban dan Islam modernis cenderung berafiliasi ke Pakistan People Party (PPP). Demikian pula kelompok Muhajir yang cenderung pragmatis di antara keduanya, karena praktis mereka adalah orang baru di Pakistan. Dalam hal ini bisa dilihat table berikut:
TABEL: Pemetaan 10 Partai Politik Terbesar di Pakistan
dan Orientasi Kepentingannya
No | PARTAI POLITIK | PENDUKUNG UTAMA | ORIENTASI |
1 | Pakistan People Party | Sind | Nasionalis |
2 | Pakistan Moslem League (Nawaz) | Militer/Punjab | Islam-Nasionalis |
3 | Awami National Party | Afghan/Pathan | Nasionalis |
4 | Pakistan Moslem League (Jatoi) | Militer/Punjab | Islam-Nasionalis |
5 | Muhajir Qaumi Party | Pendatang | Pragmatis |
6 | Jamhoori Pathan Party | Pathan | Nasionalis |
7 | Jamaat Islami | Ulama/Maududi | Nasionalis |
8 | National People Party | Sind | Nasionalis |
9 | Pakhtonwa Mili Awami Party | Pathan | Nasionalis |
10 | Jamaat Ulama Islam | Ulama/Fazlur R | Modernis |
Sumber: Adaptasi Dhurorudin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, Jakarta, Cidesindo, 1996
Antar etnik di Pakistan seringkali rentan dengan konflik sipil, sehingga hampir semua regim sipil mengalami konflik etnik. Regim dari Ali Bhutto akhir dijatuhkan melalui kudeta oleh Zia juga disebabkan perkara konflik etnik, jatuhnya regim Benazir Bhutto pada pemerintahan pertama juga karena problem kekerasan etnik, demikian pula regim Nawaz Sharif yang akhirnya dijatuhkan oleh Pervez Musharaff juga karena problem kekerasan etnik. Dalam pandangan Erick Nodlinger, pola seperti inilah pretorian militer akan berkembang,[12] dan cenderung regim militer bisa diterima karena mampu memberikan keamanan. Hal ini bisa dibuktikan bahwa hampir selama 55 tahun semenjak kemerdekaan sudah terdapat 4 regim militer, dari Ayub Khan, Yahya Khan, Zia ul Haq dan Pervez Musharaff akhir-akhir ini.
[1] Lihat pembagian wilayah Asia Selatan meliputi negara-negara tersebut pada Craig Baxter (et.al), Government and Politics in Sout Asia, West View, 1989
[2] Lihat Craig Baxter (et. all), Government and Politics in South Asia, Westview Press, 1986, atau ulasan lebih jauh lihat Jusuf Syo’eb, Sejarah Islam III: Pasca Dinasti Abbasiyyah, Jakarta, Bulan Bintang, 1978
[3] Lihat Amal Hamzah, Pakistan Sebuah Negara Islam Muda, Jakarta, Djambatan, 1957
[4] Lihat tesis Surwandono, Pertumbuhan Demokrasi di Dunia Islam: Studi Demokratisasi di Iran, dan Pakistan, (Tidak diterbitkan), Pasca Sarjana UGM, 1999
[5] Lihat tulisan Iqbal dalam Mukti Ali (ed.), Pemikiran-Pemikiran Islam di Asia Selatan, Bandung, Mizan, 1993
[6] Lihat dalam John Obert Voll, Politik Islam: Perubahan dan Kesinambungan (terjemahan), Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1996. Uraian tentang makna Pakistan lebih jauh lihat dalam tesis Surwandono, op.cit., nama tersebut diusulkan oleh Ali Jinnah dalam pertemuan dengan mahasiswa Universitas Alligarh.
[7] Lihat dalam Robert G. Wirsing, India, Pakistan, and Kashmir Disputes on Regional Conflict and Its Solution, England, Mac Millan, 1994, hal. 98
[8] Lihat dalam Kotera M. Bhimaya, “Nuclear Deterrence in South Asia: Civil-Military Relation and Decision Making”, Asian Survey, Vol. XXXIV, No. 7, July, 1994, hal. 647-648
[9]Ibid.,
[10] Yusuf Qardhawy, Kemiskinan di Dunia Islam (terjemahan), Bandung, Mizan, 1993
[11] Lihat Drysdale, Political Geogrhapy in North Africa and Middle East, New York, Princenton, 1989
[12] Erick Nodlinger, Militer dan Politik (terjemahan), Jakarta, Rajawali, 1993
0 komentar:
Posting Komentar