KEBIJAKAN NUKLIR AMERIKA SERIKAT TERHADAP INDIA:

 I.1. Latar Belakang

India mengembangkan nuklirnya untuk dua tujuan, mendapatkan kemampuan pengembangan senjata demi kepentingan nasional India (alasan pertahanan) dan juga mengembangkan nuklir untuk mencukupi kebutuhan negerinya. Kebutuhan energi India meningkat  tajam seiring pertumbuhan perekonomiannya yang sangat menakjubkan, 6-7% per tahun dimana sekarang India bersama Jerman sama-sama merupakan negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia[1]. Terhitung data tahun 2006 energi nuklir merupakan sumber energi terbesar keempat di India setelah energi panas (thermal energy), energy air (hydro energy), dan sumber energi yang dapat diperbahrui (renewable energy resources)[2].  Pada tahun 2008 India sudah memiliki 17 pembangkit nuklir dengan operasional yang mampu membangkitkan tenaga sebesar 4.120 MW, sementara itu India masih menunggu penyelesaian pembangunan 6 pembangkit nuklir lainnya yang diperkirakan akan mampu menambah suplai pasokan energy listrik sebesar 3.160 MW kedepannya[3]. India sendiri memiliki tujuan jangka panjang untuk mengembangkan lebih banyak reaktor nuklir dan meningkatkan efisiensi dan produktivitas teknologi pembangkit nuklirnya demi memenuhi target pada tahun 2020, menghasilkan 20.000 MW demi mencapai 10% kontribusi energi nasionalnya.
Namun India mengalami banyak sekali halangan dalam pengembangan teknologi nuklirnya, halangan itu bukan saja datang dari keterbatasan pasokan uranium lokal yang semakin menipis namun juga datang dari keterbatasan teknologi nuklir India yang kurang efisien dan dan masih memiliki standard keamanan yang memprihatinkan. Kesulitan ini sebetulnya dapat diseleseikan andai saja India mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara penyuplai nuklir (Nuclear Supplier Group, NSG) yang bukan saja mampu memberikan dukungan teknis namun diharapkan mampu membantu mengatasi masalah keterbatasan pasokan uranium lewat mekanisme perdagangan internasional. Sayangnya, status India sebagai negara yang tidak menandatangani NPT menghalangi bantuan tersebut untuk datang, karena hanya negara penandatangan NPT-lah yang diperbolehkan mendapatkan bantuan untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil. Polemik permasalahan inilah yang kemudian menyudutkan India yang tetap bersikeras berupaya mengembangkan teknologi nuklirnya dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Apalagi setelah India melakukan uji coba nuklir pada tahun 1998 takanan internasional semakin menguat dan termaterialisasi dalam bentuk sangsi yang diberikan pada India atas tindakannya yang dinilai membahayakan kestabilan dan keamanan kawasan Asia selatan.
Adiministrasi Bush dalam hal ini mencoba mengambil langkah yang berbeda, dimulai pada tahun 2001 ia mencabut sanksi internasional yang dikenakan AS terhadap India. Pembicaraan dan upaya persuasi-pun terus dilakukan oleh pemerintah AS – India sehingga pada tahun 2005, melalui pembicaraan awal antara PM India Momohan Singh dan Presiden Bush terciptalah embrio kesepakatan yang selanjutnya akan melahirkan US-India nuclear deal 2008.
Perubahan radikal kebijakan AS inilah yang menurut saya menarik untuk dikaji, apa penyebab utama berubahnya haluan kebijakan AS yang sekarang mau memberikan privilege lebih pada India. Perlu juga melihat proyeksi implikasi yang akan diterima oleh rejim NPT, akibat kebijakan AS ini. Saya rasa perspektif Cooperative Security dapat dipergunakan untuk menganalisis peristiwa-peristiwa yang terjadi.

I.2 . Rumusan Masalah
            Pertanyaan tulisan ini adalah: “..Mengapa AS memberikan US-India Nuclear Deal yang secara fundamental mengubah posisi kebijakannya terhadap India yang tidak mau menandatangani NPT ?..”



I.3. Dasar Teori
I.3.1. Kerjasama Kooperatif
     Kerjasama kooperatif adalah kerjasama keamanan internasional yang mengaplikasinan pendekatan ‘keamanan di dalam’ (security within) dan bukan keamanan untuk melawan keluar (security against). Pendekatan ini memasukan isu keamanan dalam aspek: sosial, ekonomi, politik, militer, dan lingkungan. Gareth Evans berargumen bahwa kerjasama keamanan kooperatif menangkap esensi keamanan yang multidimensional: permasalahan politis dan diplomatis, ancaman terhadap stabilitas perekonomian, dan pelanggaran HAM[4]. Kerjasama keamanan dalam hal ini berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kejersama bukan melalui aspek deterrence namun menggukan confidence-building measure (CBM). Seperti yang ditekankan Gareth Evan: “..The term tends to connote consultation rather than confrontation, reassurance rather than deterrence, transparency rather than secrecy, prevention rather than correction, and interdependence rather than unilateralism...[5]. Pendekatan keamanan kooperatif juga menggarisbawahi pentingnya diplomasi preventif dan second track diplomacy.

I.3.2. Keamanan Energi (Energy Security)
Keamanan energi (energy security) merupakan sebuah konsep dimana sebuah negara mampu mempertahankan diri dan melakukan pembangunan dengan mengutamakan keamanan dan ketersediaan cadangan energi yang memadai dengan harga yang terjangkau, baik minyak ataupun variasi jenis energi lainnya[6]. Hal ini semakin penting dengan kenyataan bahwa dinamika ekonomi dan politik turut mempengaruhi suplai energi yang sangat krusial bagi kegiatan pembangunan sebuah negara. Hal-hal yang mempengaruhi keberlanjutan cadangan enegri antara lain adalah ketersediaan cadangan energi, fluktuasi harga, ancaman terorisme, instabilitas domestic negara pengekspor energi, adanya perang, persaingan geopolitik, hingga peta energi oleh negara-negara besar pengkonsumsi energi dunia[7].
            Ketersediaan suplai energi menjadi masalah yang cukup signifikan dalam hal ini. Pertama, jika suplai energi menurun, maka akan menimbulkan kenaikan harga energi yang berakibat pada turunnya daya beli energi[8]. Hal ini akan berimbas pada kolapsnya kegiatan ekonomi dan bersifat destruktif terhadap kegiatan produksi dan konsumsinya masyarakat. Kedua, dengan ditemukannya sumber suplai energi baru, maka hal ini dapat menunda kelangkaan energi yang mungkin terjadi dan mengamankan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu. Suplai memegang peranan yang sangat penting, karena permintaan akan energi sebagai komoditas primer cenderung selalu tetap dan bersifat inelastis[9].

I.3.3. Konsep Kepentingan Nasional
            Kebijakan luar negeri merupakan seperangkat kajian tentang bagaimana sebuah negara membuat kebijakan sehingga melibatkan studi politik internasional dan domestik yang menyangkut hubungan internasional dan kebijakan publik[10]. Kebijakan ini  didasarkan pada analisa dari diplomasi, perang, hubungan antar organisasi, maupun perspektif lain seperti ekonomi, yang tergantung bagaimana masing-masing negara menerapkan kebijakan asing. Dalam proses pembuatannya,  kebijakan luar negeri melibatkan beberapa tahap[11]: (1) Penilaian internasional dan domestik politik lingkungan; Kebijakan luar negeri dibuat dan dilaksanakan dalam konteks politik internasional dan domestik, yang harus dipahami oleh negara untuk menentukan pilihan kebijakan luar negeri terbaik, (2) Goal setting - A state has multiple foreign policy goals.Tujuan pengaturan; dimana sebuah negara harus menentukan tujuan yang sangat dipengaruhi oleh internasional dan domestik politik lingkungan pada suatu waktu In addition, foreign policy goals may conflict, which will require the state to prioritiyang akan memudahkan negara untuk melakukan prioritas, (3) Determination of policy options - A state must then determine what policy options are available to meet the goal or goals set in light of the political environment.Penetapan kebijakan pilihan; Sebuah negara harus menentukan pilihan kebijakan yang tersedia untuk memenuhi tujuan atau tujuan yang telah ditetapkan dalam lingkungan politik. This will involve an assessment of the state's capacity to implement policy options and an assessment of the consequences of each policy option. Ini akan melibatkan penilaian dari negara kapasitas untuk melaksanakan kebijakan pilihan dan penilaian tentang konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, (4) Pengambilan Keputusan Formal; Formal decision making action - A formal foreign policy decision will be taken at some level within a government.yang biasanya oleh lembaga eksekutif seperti kepala negara atau kepala pemerintahan, kabinet, atau menteri, dan (5) Implementasi.Implementation of chosen policy option - Once a foreign policy option has been chosen, and a formal decision has been made, then the policy must be implemented.
            Esensi dari kebijakan luar negeri merupakan rencana dan kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada tujuan yang satu yakni perwujudan kepentingan nasional demi mempertahankan kelangsungan hidup negara[12]. Sehingga setiap pengambilan kebijakan luar negeri, suatu negara selalu mendasarkan pada kepentingan nasional.

I.4. Deskripsi Terhadap Polemik India dan NPT
            Anggota NPT diakui memiliki hak untuk mengakses energi nuklir demi tujuan damai dan juga memenuhi kebutuhannya untuk bekerjasama dalam kerangka penggunaan energy nuklir untuk kepentingan sipil. Dalam konteks ini, negara yang menandatangani NPT diminta untuk tidak mengembangkan teknologi nuklirnya untuk bersifat militer dan ofensif. Negara anggota NPT juga diminta untuk membuka dirinya dan transparan terhadap fungsi pengawasan yang dilakukan oleh IAEA demi mencegah bencana nuklir yang diakibatkan keteledoran prosedural maupun demi mencegah jatuhnya teknologi nuklir ke tangan yang salah.
            Persetujuan NPT tidak hanya berimplikasi negara pada penandatangan perjanjian. Lebih jauh lagi perjanjian ini berimplikasi pada negara-negara yang mampu melakukan perdagangan  uranium, spare parts reaktor nuklir, membangun fasilitas dan instalasi nuklir untuk kebutuhan sipil, dan memberikan technical assistance terkait dengan pelatihan sumber daya manusia untuk pengoperasian teknologi nuklir. Negara-negara yang tergabung dalam kelompok ini disebut negara penyuplai nuklir (nuclear supplier group, NSG). Perjanjian NPT memberikan guidelines dan larangan bagi negara-negara untuk melakukan transaksi dan asistensi terhadap negara-negara yang tidak menandatangani perjanjian NPT[13]. Oleh karena sebab inilah India terutama, tidak pernah dibantu oleh negara-negara NSG dalam pengembangan nuklirnya. Awalnya diharapkan negara-negara yang tidak memiliki bantuan untuk mengembangkan nuklir akan menyerah dan melupakan ambisinya sehingga insentif ‘bantuan negara-negara NSG’ akan cukup menarik negara-negara untuk menandatangani perjanjian NPT.
Namun pada kenyataannya India, termasuk juga 3 negara yang tidak menandatangani NPT terus berupaya mengembangkan industri nuklir domestiknya walau tanpa dukungan negara-negara NSG. Sejauh ini India cukup berhasil baik dalam mengembangkan teknologi senjata nuklir taktis maupun fasilitas sumber pembangkit energi nuklir-nya. Dan status quo polemik nuklir India dan NPT akan berubah dengan kesepakatan nuklir India-AS dan sekali lagi pertanyaanya adalah

BAB II
PEMBAHASAN


II.1. Rangkuman Terhadap Kesepakatan Nuklir India – AS (US-India Nuclear Deal)
          Persetujuan nuklir India – AS (dinamakan juga Indo-US nuclear deal) adalah kesepakatan bilateral mengenai penggunaan nuklir untuk tujuan damai natara pemerintah AS dan pemerintahan India. Dalam kesepakatan India diminta memisahkan fasilitas nuklir sipil dan militernya dan bersedia untuk senantiasa diperiksa dan diawasi oleh badan pengawas energi atom internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA)[14]. Sebagai gantinya AS harus mau bekerjasama dengan India dalam sector penggunaan nuklir untuk tujuan sipil, baik dalam hal transfer teknologi, perdagangan bahan bakar uranium maupun technical support. Kebijakan ini juga akan memungkinkan India bekerja sama dengan negara lain yang merupakan negara-negara penyuplai nuklir (NSG) seperti Kanada, Australia, Perancis Maupun Russia[15].

II.2. Keuntungan Yang Didapatkan India
India bukanlah negara penandatangan perjanjian NPT (Nuclear Non-Proliferation Treayty) dan India juga menolak berpartisipasi dalam beberapa perjanjian yang dibuat untuk membatasi pengembangan kemampuan senjata nuklir seperti CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty, yang membatasi fleksibilitas pengujicobaan nuklir). Dua hal tersebut mengakibatkan India diembargo oleh negara-negara anggota NSG (Nuclear Suppliers Group) sehingga terpaksa mengandalkan pada industri nuklir domestik sampai tahun 2006 (dimana terjadi penurunan kempampuan  produksi listrik sebesar 12,83% dikarenakan ketersediaan uranium yang menipis)[16].
India dalam hal penggunaan nuklir untuk sebagai sumber energi  menempati menempati peringkat ke-sembilan di dunia, sebuah upaya yang dengan keras diperjuangkan India demi mencukupi kebutuhan energy negaranya yang sangat besar. India dalam  hal ini menilai nuklir merupakan alternatif pilihan energy yang tepat demi mencukupi kebutuhan dalam negerinya saat ini dan di masa yang akan datang dikarenakan keterbatasan persediaan cadangan bahan bakar fosil yang ada di negerinya. Investasi keluar negeri telah diupayakan seperti terlihat pada 2001 – 2003 dimana India menanamkan investasi di Russia dan Sudan untuk mendapatkan suplai Minyak dan Gas bumi[17], namun India sadar bahwa energy fosil akan semakin tidak ekonomis mengingat jumlah permintaan dunia yang semakin besar berbanding terbalik dengan ketersediaan. Hal inilah yang menjadi factor pendorong India untuk mengoptimalkan kemampuan nuklirnya.
Selama ini India harus mengoptimalkan industri nuklir domestiknya demi penyediaan tidak hanya nuklir, namun juga teknologi, suku cadang, dan teknisi bagi pengoperasian beberapa reactor nuklirnya. Embargo yang dilakukan oleh negara-negara NSG bukan saja menghalangi target India untuk mencapai ‘target pengingkatan kempampuan suplai energi’ sebesar 20.000 MW pada tahun 2020, namun hal itu juga menyebabkan India mengalami kesulitan menjalankan industri energy nuklir domestiknya dan menyebabkan operation cost lebih tinggi sementara level keselamatan nuklir-nya rendah. Indian – US Nuclear deal merupakan titik penting bagi India dimana perjanjian ini akan memperbolehkan India untuk melakukan perdagangan bahan bakar dan teknologi dengan negara lain (terutama NSG) untuk membangkitkan potensi nuklirnya secara signifikan. Kalau persetujuan ini berjalan dengan mulus India diperkirakan akan mampu membangkitkan 25.000 MW tambahan tenaga sehingga secara agregat menambah daya suplai energy nuklir India menjadi 45.000 MW dan mencukupi proyeksi kebutuhan India sampai tahun 2020 yang berniat mampu menyuplai 10% dari total kebutuhan energy dunia[18]. Keuntungan lain yang akan didapatkan oleh India adalah peningkatan kualitas keamanan reaktor nuklirnya dikarenakan skema pengawasan dari IAEA akan memberikan masukan dan kritikan yang mampu secara konstruktif membimbing kebijakan nuklir procedural di India.

II.3. Implikasi Kesepakatan Nuklir Terhadap Rezim Non-Proliferasi (NPT)
            Saya menilai kebijakan AS yang memberikan kemudahan bagi India untuk mengakses teknologi nuklir dan berinteraksi dengan negara-negara NSG demo kepentingannya merugikan rezim non-prolifersi nuklir secara keseluruhan. Dua alasan utama, implikasi kebijakan tersebut pada negara-negara non-NPT yang lain dan implikasi kebijakan tersebut bagi negara penandatangan NPT yang juga kemungkinan memiliki aspirasi nuklir.
            Dasar terbentuknya NPT adalah sebuah upaya yang disetujui oleh setiap pihak demi tujuan mencegah penyebaran teknologi nuklir yang dapat membahayakan keamanan dunia dan kestabilan politik internasional. Dalam prinsipnya hanya 5 negara anggota permanen DK-PBB saja yang seharusnya diperbolehkan mengembangkan kemampuan nuklir ofensif. Hal ini disebabkan posisi mereka yang diberi beban ‘ekstra’ untuk menjaga perdamaian di seluruh dunia, untuk memiliki kapabilitas proyeksi kekuatan militer demi mencapai hal tersebut. Negara-negara selain anggota permanen DK harus dibatasi pengembangan nuklirnya. Hal tersebut dapat dicapai dengan mewajibkan negara selain anggota permanen DK untuk berkomitmen tidak akan mengembangkan teknologi nuklir demi kepentingan militer. Fasilitas kerjasama dengan negara-negara penyuplai nuklir (NSG) diharapkan mampu menjadi carrot demi menarik negara-negara menandatangai NPT.
            Amerika Serikat lewat kebijakannya baru saja memberi India posisi istimewa kepada India yang walaupun tidak menandatangani NPT tetap saja mendapat keuntungan engagement dengan negara-negara NSG. Konsekuensinya hal ini menjadi precedent buruk bagi dunia internasional terutama terkait dengan rezim non-proliferasi yang ada. Pesan yang tersampaikan oleh tindakan Amerika akan berimplikasi pada rasa ketidakadilan yang akan dirasakan ketiga negara non-signatory  dari NPT, Pakistan, Israel dan Korea Utara. Apalagi mengingat Pakistan dan Israel adalah sekutu dekat Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin kedua negara ini menjadi semakin asertif meminta AS member privilege yang sama seperti yang dinikmati India. Bukan tidak mungkin seiring waktu AS justru akan melunak dan memberi nuclear deal kepada dua negara tersebut. Intinya, kesepakatan nuklir AS – India menciptakan slippery slope yang buruk bagi Israel, Pakistan dan Korea Utara yang tentunya akan menjadi lebih semakin sulit diajak menandatangani NPT dan malah akan membuat mereka semakin keras mempertahankan posisinya. Apalagi implikasi kebijakan ini pada Korea Utara yang makin melihat NPT sebagai upaya imperialis yang tidak adil bagi negerinya.
            Selain itu dampak negatif deal India – AS dikhawatirkan justru memperlemah kohesivitas rejim non-proliferasi yang ada di status quo. Negara-negara yang  menandatangani NPT tentunya mengorbankan kepentingan nasionalnya untuk memperoleh senjata nuklir taktis. India, sebuah negara yang terlanjur memiliki teknologi nuklir, menolak untuk meratifikasi NPT, dan bersikeras mengembangkan kemampuan nuklir ofensifnya pada ujungnya diberikan hak yang sama dengan negara-negara yang harus rela mengorbankan aspirasi nuklirnya. Lagi-lagi sentiment negatif dan rasa kurang adilnya regulasi yang ada sangat mungkin memicu reaksi keras dari negara penandatangan NPT untuk mempertanyakan relevansi keberadaanya dalam rezim pro-liferasi tersebut. Bukan tidak mungkin negara-negara yang memiliki ambisi nuklir keluar dari NPT karena kasus AS-India nuclear deal.

II.4.  Analisis Terhadap Kebijakan AS: Strategi Untuk Merangkul India ?
          Kebijakan AS dapat dijelaskan dengan melihat berbagai sudut pandang penjelasan. Pertama, kita dapat melihat kebijakan ini sebagai upaya AS memperkuat aliansinya dengan India untuk counter-balancing Cina dan memperkuat partisipasi India dalam perang melawan terorisme dan juga merespon kebutuhan industri nuklir domestiknya yang menginginkan ekspansi pasar untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dengan melakukan transaksi nuklir dengan negara yang memiliki permintaan besar, dalam hal ini India.
            India secara tradisional adalah aktor antagonis bagi RRC. India mulai mengembangkan teknologinya dimulai sejak tahun 1974 untuk merespon kapabilitas nuklir Cina. India juga memiliki sejarah konfliktual dengan Cina dalam isu Kashmir. India juga pada saat ini merupakan salah satu negara yang pertumbuhan perekonomiannya sangat pesat mendekati RRC. Ditambah lagi lingkungan geostrategic India yang memang berbatasan langsung membuatnya menjadi salah satu kawan terbaik AS dalam upaya counter-balancing Cina. India juga merupakan partner penting AS untuk menghadapi transnational terrorism yang berskala global. India yang juga merupakan negara yang kerap kali menjadi target upaya terror oleh kelompok muslim radikal di Bangladesh, Pakistan, Jammu maupun Kashmir. India setidaknya memiliki perspektif da intense yang sama dengan AS dalam melihat isu radikalisme dan terorisme. AS melihat upaya membangun sebuah aliansi dengan India merupakan upaya yang tepat terutama melihat stabilitas politik demokrasi india yang semakin stabil dan dinamis, berbeda dengan Pakistan yang sangat volatile dan sulit ditebak. Saya rasa kepentingan nasional AS, yaitu pembangunan aliansi untuk mengantisipasi Cina dan kerjasama menanggulangi terorisme global merupakan pertimbangan utama disegelnya kesepakatan nuklir India-AS.
            Kemudian saya melihat AS juga termotivasi untuk melakukan transaksi nuklir dengan India yang notabenenya memiliki pasar yang sangat potensial dengan permintaan akan nuklir yang sangat besar. Industri nuklir AS yang akan terlibat dalam proses penyediaan uranium, pelatihan pekerja dan juga pembangunan beberapa reaktor pembangkit tambahan diperkirakan akan mencapai angka $10 Milyar, sebuah potensi keuntungan yang sangat menjanjikan bahkan untuk AS.



BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
         


BAHAN BACAAN


Gareth Evans, Cooperative Security and Intrastate Conflict, Foreign Policy, No. 96 (Autumn, 1994)
Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2 March/April 2006
Florian Baumann, Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis, no. 1 March 2008
. Clarke, ‘The Foreign Policy System: A Framework for Analysis’, in M. Clarke and B. White (eds) Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach (Cheltenham: Edward Elgar 1989), pp.27–59.
India Needs Energy and the USA, diambil dari http://www.rediff.com/news/2005/sep/02sg.htm
Uranium Shortage Holding Back India’s Energy Production,http://www.livemint.com/2008/06/30222448/Uranium-shortage-holding-back.html


[1] Securing India’s Energy Needs, diambil dari http://www.mckinseyquarterly.com/Securing_Indias_energy_needs_1672 pada 16/03/2010 p.k.18.35 WIB
[2] India Energy Sources, diambil dari http://cea.nic.in/power_sec_reports/Executive_Summary/2008_12/27-33.pdf diakses pada 14/03/10 p.k. 10.29 WIB
[3] India and Nuclear Energy, diambil dari http://www.reuters.com/article/marketsNews/idUSDEL16711520080818 diakses pada 14/03/10 p.k. 09.23 WIB
[4] Gareth Evans, Cooperative Security and Intrastate Conflict, Foreign Policy, No. 96 (Autumn, 1994), hal: 7
[5] Ibid.
[6] Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2 March/April 2006
[7] Ibid.
[8] Florian Baumann, Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis, no. 1 March 2008
[9] Ibid.
[10] M. Clarke, ‘The Foreign Policy System: A Framework for Analysis’, in M. Clarke and B. White (eds) Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach (Cheltenham: Edward Elgar 1989), pp.27–59.
[11] Ibid. hlm. 25
[12] Ibid. hlm. 25
[13] Hanya ada 4 negara di dunia yang merupakan non-signatory parties of NPT. Mereka adalah: India, Pakistan, Israel dan Korea Utara, diambil dari
[14] AFP: India is Energized by Nuclear Deal, diambil dari http://afp.google.com/article/ALeqM5geN2RWjoN4oJhPibc7rhkyxMXfzg diakses pada 22/03/2010 p.k. 17.22 WIB
[15]India Sign Nuclear Deal With Russia, diambil dari: Rediff: http://news.rediff.com/report/2009/dec/07/ndeal-india-russia-sign-deal-for-supplying-reactors.htm  diakses pada 19/03/2010 p.k. 14.33 WIB
[16] Uranium Shortage Holding Back India’s Energy Production, diakses dari http://www.livemint.com/2008/06/30222448/Uranium-shortage-holding-back.html,  pada 15/03/10 p.k. 10.46 WIB
[17] Securing India’s Energy Needs, Op.Cit.,
[18] India Needs Energy and the USA, diambil dari http://www.rediff.com/news/2005/sep/02sg.htm pada 16/03/2010 p.k. 16.44 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger