BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah Uni Soviet bubar, dan berganti menjadi Rusia, perlahan-lahan negara-negara di Asia Tengah tersebut melepaskan diri dari negara induknya dan memerdekakan diri menjadi negara-negara Republik, seperti Kazakhstan, Turkmenistan, Kyrgystan, Uzbekistan dan Tajikistan. Negara-negara tersebut dikenal sebagai Central Asian States (CAS). Asia Tengah kira-kira luas wilayahnya seperempat luas wilayah Rusia. Negara terluas adalah Kazakhstan (2.669.800 km2), Turkmenistan (488.100 km2), Uzbekistan (425.400 km2), Kyrgystan (101.300 km2) dan terkecil adalah Tajikistan (142.000 km2)[1].
Secara ekonomi, pasca pemerintahan komunis era globalisasi dan pasar bebas yang berlaku di sebagian negara-negara di dunia tidak dikenal di wilayah ini. Menurut studi Bank Dunia, Asia Tengah saat ini keadaannya tidak lebih baik dari pada masa komunisme. Standar kesehatan dan pendidikan yang buruk mengakibatkan kemunduran ataupenurunan dalam Gross Domestic Product (GDP), kecuali negara-negara kaya minyak seperti Kazakhstan, namun negara lain kurang beruntung[2]. Reformasi ekonomi telah dilaksanakan,namun hanya menyebabkan resiko besar tanpa hasil nyata karena antara satu negara dengan negara lainnya tidak mencapai kesepakatan.
Namun demikian, wilayah Asia Tengah menyimpan sebuah daya tarik tersendiri bagi negara-negara besar di dunia. Bahkan sejak abad ke-19, wilayah ini sudah menjadi wilayah perselisihan diantara negara-negara besar. Wilayah ini tepat berada di tengah-tengah antara benua Eropa dan Asia sehingga Asia Tengah selalu menjadi penting dan strategis sebagai jalur vital yang menghubungkan Eropa dan Asia. Pada awal abad ke-20 Sir Halford Mackinder, seorang ahli geografi Inggris, pernah mengatakan bahwa Asia Tengah akan selalu menjadi kawasan yang sangat penting di dunia, dan penguasaan Asia Tengah berarti mengontrol rimlands (lingkar benua) dan kemudian dunia[3].
Terdapat beberapa faktor yang menjadikan Asia Tengah sebagai wilayah strategis bagi negara-negara di dunia, yakni[4] faktor geopolitik, ekonomi, serta budaya dan agama. Ketika kelima negara merdeka dan secara geopolitik menjadi “new continent”, saat itu Rusia terbelenggu krisis ekonomi sehingga pengaruhnya atas wilayah itu berkurang. Terjadilah kekosongan kekuasaan (vacuum of power) selama beberapa periode, yang mengundang kekuatan asing yang berkepentingan di wilayah itu. Kedua, faktor ekonomi, dimana Asia Tengah mempunyai tiga keuntungan besar, yakni keuntungan sumber daya alam, pasar dan keuntungan sebagai jembatan. Dari segi sumber daya, Asia tengah sangat kaya akan minyak bumi dan gas alam, bahkan berdasarkan data statistik, cadangan minyak di seluruh kawasan (termasuk laut Kaspia) mencapai 23 milyar ton, yang berarti kedua terbesar setelah kawasan teluk. Sedang cadangan gas alamnya mencapai 3000 milyar ton, menempati urutan ketiga di dunia [5]. Cadangan uranium, dan emas sangat besar dan merupakan produsen kapas terbesar di dunia.
Makalah ini kami tulis dengan melihat perkembangan tren yang terjadi berupa semakin intensifnya AS terlibat di wilayah Asia Tengah, terlihat dalam beberapa poin sebagai berikut: (a)Kehancuran Uni Soviet tahun 1991 langsung disikapi sejumlah investor AS dengan berburu rente ke negara-negara mantan Uni Soviet[6]; (b)perusahaan-perusahaan dan konsultan AS mendesak ex-Uni Soviet menyetujui rute jaringan pipa migas yang menghindari negeri-negeri yang dianggap AS sebagai musuh, yaitu Rusia dan Iran.; (c) pada 3-5 September 2008 (setelah pertempuran di Georgia) Dick Cheney melakukan kunjungan formal ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina[7]; (d) Sebelum administrasi Bush, Bill Clinton pun sudah menaruh perhatian besar terhadap potensi migas Kaspia à dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Iran, Rusia, dan China[8]. (a) proyek pertama adalah rencana mengekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia. Akan tetapi, proyek ini akhirnya gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang hingga kini sangat tidak mendukung; (b)proyek kedua adalah rencana membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara pro-AS di daerah rangkaian pegunungan Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan)-Tbilisi (Georgia)-Ceyhan (Turki) atau BTC. Jaringan pipa ini menjadi jalan utama untuk mengirimkan sebagian besar ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan diproyeksikan akan menjadi pukulan besar terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke Barat. Namun, pelaksanaannya ternyata tidak mudah karena sejumlah negara bekas Soviet masih sangat memperhitungkan Rusia jika terlalu pro-Barat. Bahkan kalaupun belum lama ini calon presiden Demokrat, Barack Obama, menegaskan bahwa AS akan menghilangkan ketergantungan dari minyak Timur Tengah dalam waktu 10 tahun (jika dia terpilih), hal itu bisa jadi bermakna AS menggeser prioritas politik migasnya dari Timur Tengah ke wilayah lain, dalam hal ini Kaspia.
· Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik, total cadangan minyak yang kemungkinan lebih dari 60 miliar barrel dan cukup untuk melayani kebutuhan minyak Eropa selama 11 tahun membuat wilayah ini terlalu strategis untuk diacuhkan begitu saja[9].
· kebutuhan energi AS dan potensi minyak di Laut Kaspia, berkontribusi terhadap dinamika hubungan internasional di kawasan tersebut.
1.2. Pertanyaan Permasalahan
”Bagaimanakah Kebijakan Energy Security Amerika Serikat mempengaruhi Dinamika Kawasan Negara-Negara di Kawasan Asia Tengah terkait dengan Potensi Minyak di Laut Kaspia?”
1.3. Konseptualiasi Kerangka Berpikir
1.3.1. Keamanan Energi (Energy Security)
Keamanan energi (energy security) merupakan sebuah konsep dimana sebuah negara mampu mempertahankan diri dan melakukan pembangunan dengan mengutamakan keamanan dan ketersediaan cadangan energi yang memadai dengan harga yang terjangkau, baik minyak ataupun variasi jenis energi lainnya[10]. Hal ini semakin penting dengan kenyataan bahwa dinamika ekonomi dan politik turut mempengaruhi suplai energi yang sangat krusial bagi kegiatan pembangunan sebuah negara. Hal-hal yang mempengaruhi keberlanjutan cadangan enegri antara lain adalah ketersediaan cadangan energi, fluktuasi harga, ancaman terorisme, instabilitas domestic negara pengekspor energi, adanya perang, persaingan geopolitik, hingga peta energi oleh negara-negara besar pengkonsumsi energi dunia[11].
Ketersediaan suplai energi menjadi masalah yang cukup signifikan dalam hal ini. Pertama, jika suplai energi menurun, maka akan menimbulkan kenaikan harga energi yang berakibat pada turunnya daya beli energi[12]. Hal ini akan berimbas pada kolapsnya kegiatan ekonomi dan bersifat destruktif terhadap kegiatan produksi dan konsumsinya masyarakat. Kedua, dengan ditemukannya sumber suplai energi baru, maka hal ini dapat menunda kelangkaan energi yang mungkin terjadi dan mengamankan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu. Suplai memegang peranan yang sangat penting, karena permintaan akan energi sebagai komoditas primer cenderung selalu tetap dan bersifat inelastis[13].
1.3.2. Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability)
Stabilitas hegemoni dicetuskan oleh Hindleberger dan Keohane. Ide dasar dari teori ini adalah bahwa stabilitas sistem internasional membutuhkan dominasi dari sebuah negara untuk mengartikulasikan dan mengimplementasikan aturan akan interaksi antar anggota-anggota dalam sistem internasional tersebut.[14] Sebuah negara dapat menjadi hegemon apabila negara tersebut dapat memenuhi ketiga atribut, di antaranya kapabilitas untuk menciptakan aturan dalam sistem, adanya niat atau kemauan dari negara tersebut untuk melakukan hal tersebut, dan adanya komitmen terhadap sistem yang dilihat sebagai sebuah bentuk hubungan mutual antar negara-negara tersebut.[15] Kapabilitas negara hegemon sangat menitikberatkan pada kondisi pertumbuhan ekonomi dan dominasinya pada sektor teknologi dan ekonomi serta adanya back-up dari kekuatan politik yang ditunjukkan dalam bentuk proyeksi kekuatan militer. Instabilitas dalam sistem dapat berakibat pada runtuhnya heirarki internasional dan berimplikasi pada kerapuhan posisi negara dominan.
Secara garis besar, siklus hegemoni dapat digambarkan melalui tahapan-tahapan atau fase kepemimpinan hegemon.[16] Siklus pertama yaitu kemunculan perang global yang ditunjukkan dengan adanya kondisi dunia yang chaotic dan tanpa aturan. Pada masa ini, negara-negara yang berperang saling beradu kekuatan, khususnya dengan menunjukkan kapabilitas militernya. Hasil akhir atau pemenang dari perang ini umumnya akan menjadi salah satu kandidat negara dominan atau hegemon. Siklus kedua ditunjukkan dengan munculnya kepemimpinan dunia dimana pemenang dari perang global akan menciptakan organisasi internasional yang akan digunakan hegemon sebagai alat untuk menginstitusionalisasikan sistem atau tatanan internasional sesuai dengan pandangannya. Institusi ini juga sekaligus menjadi legitimasi hegemon dalam pengaturan sistem dunia. Siklus ketiga, delegitimasi. Pada siklus ini, kemunculan negara-negara semi-pheripheri yang dapat mengimbangi kekuatan hegemon menjadikan hegemon kehilangan kekuasaannya atau paling tidak, kekuatan dominasinya mendapatkan tantangan yang cukup serius. Siklus terakhir adalah siklus dekonsentrasi. Pada fase ini, negara hegemon mulai menggunakan force atau kekuatannya untuk memelihara kondisi status quo, biasanya melalui jalur militer. Kondisi ini akan mempercepat keruntuhan hegemoni karena konfrontasi dalam bentuk militer cenderung memakan biaya yang mahal dan menelan anggaran negara yang besar. Kondisi ini juga pada umumnya didukung oleh kemunculan aliansi negara-negara semi-pheriperi untuk menggulingkan sang hegemon dari tampuk kekuasaannya.
1.3.3. Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy)
Kebijakan luar negeri merupakan seperangkat kajian tentang bagaimana sebuah negara membuat kebijakan sehingga melibatkan studi politik internasional dan domestik yang menyangkut hubungan internasional dan kebijakan publik[17]. Kebijakan ini didasarkan pada analisa dari diplomasi, perang, hubungan antar organisasi, maupun perspektif lain seperti ekonomi, yang tergantung bagaimana masing-masing negara menerapkan kebijakan asing. Dalam proses pembuatannya, kebijakan luar negeri melibatkan beberapa tahap[18]: (1) Penilaian internasional dan domestik politik lingkungan; Kebijakan luar negeri dibuat dan dilaksanakan dalam konteks politik internasional dan domestik, yang harus dipahami oleh negara untuk menentukan pilihan kebijakan luar negeri terbaik, (2) Tujuan pengaturan; dimana sebuah negara harus menentukan tujuan yang sangat dipengaruhi oleh internasional dan domestik politik lingkungan pada suatu waktu yang akan memudahkan negara untuk melakukan prioritas, (3) Penetapan kebijakan pilihan; Sebuah negara harus menentukan pilihan kebijakan yang tersedia untuk memenuhi tujuan atau tujuan yang telah ditetapkan dalam lingkungan politik. Ini akan melibatkan penilaian dari negara kapasitas untuk melaksanakan kebijakan pilihan dan penilaian tentang konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, (4) Pengambilan Keputusan Formal; yang biasanya oleh lembaga eksekutif seperti kepala negara atau kepala pemerintahan, kabinet, atau menteri, dan (5) Implementasi.
Esensi dari kebijakan luar negeri merupakan rencana dan kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada tujuan yang satu yakni perwujudan kepentingan nasional demi mempertahankan kelangsungan hidup negara[19]. Sehingga setiap pengambilan kebijakan luar negeri, suatu negara selalu mendasarkan pada kepentingan nasional.
1.3.4. Konsep Kepentingan Nasional (National Interest)
Kepentingan nasional adalah tujuan negara baik dalam bidang ekonomi, militer, atau bahkan budaya dimana hal ini dilihat sebagai kebutuhan dan keinginan yang dirasakan oleh suatu negara dalam hubungan dengan negara-negara lain yang merupakan lingkungan eksternalnya. Kepentingan nasional seringkali dipakai sebagai alat untuk menganalisa tujuan kebijakan luar negeri suatu negara[20]. Menurut Holsti, kepentingan nasional diidentifikasikan dalam tiga klasifikasi, yaitu (1) kepentingan dan nilai inti; (2) tujuan jangka menengah; dan (3) tujuan jangka panjang[21]. Pertama, kepentingan dan Nilai Inti. Kepentingan ini bisa digambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya. Kepentingan dan nilai inti merupakan tujuan jangka pendek, karenatujuan lain jelas tidak dapat dicapai apabila unit politik yang mengejarnya tidak dapat mempertahankan eksistensinya[22]. Kedua, Tujuan jangka menengah. Dalam tujuan ini, (1) akan mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional; (2) meningkatkan prestise negara di dalam sistem itu sendiri, dimana saat ini prestise sebuah negara diukurdari perkembangan tingkat industri dan teknologinya; dan (3) mencakup bentuk perluasan diri atau imperialisme, negara lain tidak menduduki wilayah asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada bahan mentah, pasar dan rute perdagangan yang tidak dapat mereka perolehdari perdagangan biasa dan diplomasi[23]. Ketiga, Tujuan Jangka Panjang. dalam tujuan ini, impian dan pandangan tentang organisasi ideologi terakhir sistem internasional,aturan yang mengatur hubungan dalam sistem tersebut dan peran negara tertentu di dalamnya[24].
1.3.5. Geopolitik Kawasan (Geo-political Consideration)
Konsep geopolitik merupakan konsep yang melihat hubungan antara kondisi bumi (wilayah), institusi politik dan kebijakan dari sebuah negara[25]. Geopolitik adalah sebuah studi geografi yang dikaitkan dengan kondisi kebijakan luar negeri sebuah negara dan fenomena politik dengan sumsi bahwa kekuatan sebuah negara bergantung pada wilayahnya, sungai jalanan, bahan mentah dan makanan dan termasuk penduduknya, pemerintahnya, ekonominya dan budayanya. Secara abstrak, geopolitik tradisional menunjukkan hubungan dan pernyataan kausalitas antara kekuatan politik dan ruang geografis. Terinologi ini sering dianggap sebagai formulasi khusus yang berhubungan dengan kepentingan strategis relatif dari pentingnya potensi geografis dalam perspektif dunia internasional. Fokus utama konsep geopolitik berhubungan dengan korelasi antara kekuatan dalam bidang politik, identifikasi wilayah inti dari perspektif internasional, dan hubungan antara kapabilitas laut dan darat yang dimiliki[26].
BAB 2
PEMBAHASAN
2.2. Kepentingan Nasional AS
2.2.1. Kepentingan Nasional AS perspektif Global
Tujuan jangka panjang yang akan dicapai AS, sesuai dangan apa yang digariskan dalam “Strategi Kebijakan Nasional Amerika Serikat”, adalah ingin menciptakan dunia yang tidak saja aman, namun lebih baik yang bertujuan: kebebasan ekonomi dan politik, hubungan yang serasi dengan negara lain, penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya AS akan bekerjasama dengan pihak lain untuk menghindari konflik regional, menciptakan era baru bagi pertumbuhan ekonomi global lewat pasar dan perdagangan bebas, dan lain-lain[27]. Menurut Anthony Lake, pada periode pasca Perang Dingin pemerintah AS perlu menemukan komponen-komponen baru bagi kepentingan nasionalnya. Lake menggariskan tujuh aspek kepentingan nasional AS yakni[28]: (1) untuk mempertahankan AS, warga negaranya di dalam maupun luar negeri, para sekutu AS dari berbagai bentuk serangan langsung; (2) untuk mencegah timbulnya agresi yang dapat mengganggu perdamaian internasional; (3) untuk mempertahankan kepentingan ekonomi AS; (4) untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi; (5) untuk mencegah proliferasi senjata nuklir; (6) untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS. Untuk itu AS harus selalu mempertahankan komitmen-komitmen internasionalnya. (7) memerangi kemiskinan, kelaparan serta pelnggaran terhadap hak-hak asasi manusia
2.2.2. Refleksi Kepentingan Jangka Pendek, Mennengah, dan Panjang AS
Menurut Holsti, kepentingan nasional diidentifikasikan dalam tiga klasifikasi, yaitu (1) kepentingan dan nilai inti; (2) tujuan jangka menengah; dan (3) tujuan jangka panjang[29]. Pertama, kepentingan dan Nilai Inti. Kepentingan ini bisadigambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya. Kepentingan dan nilai inti merupakan tujuan jangka pendek, karenatujuan lain jelas tidak dapat dicapai apabila unit politik yang mengejarnya tidak dapat mempertahankan eksistensinya[30]. AS menganggap kawasan Asia Tengah sebagai kepentingan, maka tidak sedikit sumberdaya yang telah dikeluarkannya demi mempertahankan eksistensinya secara ekonomi, politik dan militer di kawasan Asia Tengah karena dalam pandangan AS wilayah ini sangat strategis dan akan menguntungkan di kemudian hari bagi kepentingan nasional AS.
Kedua, Tujuan jangka menengah. Dalam tujuan ini, (1) akan mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional; (2) meningkatkan prestise negara di dalam sistem itu sendiri, dimana saat ini prestise sebuah negara diukurdari perkembangan tingkat industri dan teknologinya; dan (3) mencakup bentuk perluasan diri atau imperialisme, negara lain tidak menduduki wilayah asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada bahan mentah, pasar dan rute perdagangan yang tidak dapat mereka perolehdari perdagangan biasa dan diplomasi[31]. Pengendalian dan akses ekslusif mungkin diperoleh melalui kolonisasi, protektorat, satelit atau lingkup pengaruh. Perluasan diri secara ideologis juga lazim dalam banyak bentuk, dimana wakil pemerintah berusaha mempromosikan nilai politik, ekonomi dan sosialnya sendiri di luar negeri. AS sebelum dan pasca perang serangan 11 September 2001, sedang dalam krisis ekonomi yang cukup parah sehingga memerlukanlangkah-langkah untuk membantu mengatasi masalah dalam negerinya.Seperti AS mendukung kepentingan sejumlah Multinational Corporation (MNC) di luar negeri demi mendorong perluasan perdagangan atau akses umum pada pasar luar negeri, dalam hal ini tentu saja pemerintah AS mendapat pengaruh dari kelompok kepentingan ekonomi untuk mengambil kebijakan ini. Terutama MNC dalam eksplorasi minyak dan gas atau non-migas. Ketiga, Tujuan Jangka Panjang. dalam tujuan ini, impian dan pandangan tentang organisasi ideologi terakhir sistem internasional,aturan yang mengatur hubungan dalam sistem tersebut dan perannegara tertentu di dalamnya (Ibid, 147).
2.2.3. Implementasi Kebijakan AS di Asia Tengah
Melihat kenyataan tersebut, maka inti keptingan nasional yang ingin dicapai di Asia Tengah sebenarnya meliputi beberapa hal, yaitu: (1) untuk mencegah munculnya kembali “ideologi ekpansionisme Rusia yang radikal”, yang akan menciptakan kembali konfrontasi nuklir dunia; (2) mencegah atau mengisolir konflik yang terjadi; (3) mencegah pengembangan senjata nuklir; (4) mencegah gerakan radikal anti-barat dalam bentuk Islam politik; (5) untuk mendorong timbulnya demokratisasi dan menjujung tinggi hak-hak asasi manusia; dan (6) membolehkan Amerika Serikat untuk berperan dalampembangunan ekonomi, khususnya akses pada bahan mentah[32].
Peristiwa 11 September 2001, kepentingan AS di Asia Tengah mengalami beberapa revisi khususnya mengenai masalah keamanan regional, dimana AS memfokuskan pada perang terhadap terorisme internasional dan mencegah agar negara-negara di kawasan tersebut tidak menjadi tempat perlindungan para teroris. Dengan demikian, politik luar negeri AS di Asia Tengah bertujuan untuk mencapai kepentingan nasionalnya, seperti menjaga stabilitas keamanan regional dari aksi-aksi terorisme (keamanan), mengamankan suplai minyak Asia Tengah dan kemudian memasarkannya ke pasaran internasional (ekonomi), dan mengenalkan nilai-nilai demokratisasi dan hak-hak asai manusia, sehingga diharapkan akan terjadi reformasi dalam bidang politik.
Munculnya Asia Tengah sebagai kawasan strategis dan kaya akan cadangan sumber alam, mendorong beberapa kekuatan besar untuk bersaing mencari pengaruh demi kepentingan strategisnya. Melihat situasi demikian, AS dan negara-negara lainnya telah “menduduki” beberapa posisi strategis di kawasan ini dengan membawa modal dan teknologi yang diimplementasikan dalam agenda politik luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasional. Jika dilihat dengan seksama, kepentingan nasional AS di kawasan Asia Tengah dimana prioritas mencegah bangkitnya ideologi ekspansionis Rusia yang radikal di kalangan negara-negara bekas Uni Soviet yang dapat menimbulkan konflik nuklir global, mengisolir konflik yang terjadi di kawasan tersebut yang dikhawatirkan akan meluap ke negara tetangga, mencegah pengembangan senjata nuklir, mencegah berkembangnya paham radikal anti-Barat dalam bentuk Islam politik, mendorong berkembangnya hak-hak asasi manusia, demokrasi, sistem perekonomian pasar bebas dan lingkungan dunia yang bersih; adalah tujuan yang berkisar pada agenda pasca perang dingin[33].
Agenda tersebut akhirnya bergeser kepada bagaimana AS untuk berperan dalam pembangunan ekonomi, khususnya akses pada bahan mentah, serta membendung pengaruh Rusia dan Iran dan menempatkan kawasan ini sebagai lingkungan pengaruh dalam kepentingan strategis AS[34]. Setelah peristiwa 11 September, pergeseran prioritas kepentingan nasional AS terfokus pada perang melawan terorisme, meskipun secara umum idealismenya tetap sama. Sedang secara luas, tujuan AS mencakup tiga kepentingan strategis, yaitu: keamanan regional, reformasi politik dan ekonomi, dan pembangunan ekonomi[35].
Dalam bidang keamanan regional, AS mendorong negara-negara di kawasan Asia Tengah untuk saling bekerjasama, karena Asia Tengah menghadapi ancaman transnasional yang serius, umumnya berasal dari Afghanistan. Ancaman itu berupa gerakan kelompok teroris, Islam ekstrimis, penyelundupan narkotika dan senjata. Masalah-masalah politik-agama merupakan alasan pertama negara-negara Asia Tengah bergabung dengan koalisi anti terorisme pimpinan AS mengingat mayoritas negara di kawasan itu sering terlibat kekerasan sebagai akibat gerakan Islam domestik, yang mempunyai hubungan dengan Taliban dan Al-Qaeda[36]. Dengan mendukung AS dalam berperang melawan terorisme internasional, negara-negara ini ingin menumpas kelompok-kelompok ekstremis tersebut tanpa mendapat kritikan dunia internasional dan organisasi HAM lainnya, sekaligus mengatasi masalah kurangnya dana dan sumber daya militer[37].
Dari tujuan reformasi politik dan ekonomi, pada dasarnya, Amerika ingin mendorong demokratisasi dan dari institusi politik dan membangun sebuah sistem perekonomian pasar bebas agar tidak menghalangi investor dan pedagang asing, termasuk AS. Namun, sayangnya reformasi berjalan lambat. Pemerintah Turkmenistan tetap menjadi salah satu rezim represif, di Uzbekistan presiden Islam Karimov dengan tegas menolak reformasi ekonomi yang ditawarkan AS, dan meskipun Kazakhstan menyuarakan isu-isu demokrasi namun pengkapan terhadap kelompok oposisi, media massa dan aktivis NGO terus dilakukan. Serta Kyrgistan yang pernah menjadi pemimpin regional dalam hal demokratisasi dan pasar bebas, namun dalam dua tahun terakhir mengalami kemunduran[38]. Sedang Tajikistan, karena pemerintahan pusat yang kurang kuat, justru melahirkan kebebasan pers, keragaman partai politik, dan demokrasi.
Janji akan imbalan ekonomi jika mendukung perang AS melawan terorisme menjadi motivasi negara-negara kawasan Asia Tengah, karena situasi ekonomi kawasan tersebut (kecuali Kazakhstan) sulit pulih dari krisis paska lepas dari Soviet tanpa bantuan asing. Bantuan ekonomi AS berkontribusi besar[39] meski tarif untuk menyediakan pangkalan militer juga merupakan sumber pendapatan tersendiri bagi negara-negara tersebut[40]. Negara-negara Asia Tengah juga membutuhkan bantuan untuk mengekspor barang-barang dan sumber daya alamnya agar bisa menembus pasar internasional karena wilayahnya terisolasi.
Meski kehadiran militer AS di kawasan itu adalah untuk mengamankan kepentingan sumber energi, namun jika AS membangun pipa minyak dan gas dari Asia Tengah ke luar, hal itu tidak saja menguntungkan AS tetapi juga negara-negara Asia Tengah karena mendapatkan keuntungan ekonomis. Pembangunan jalur pipa minyak dari Asia Tengah yang melintasi Afghanistan menuju teluk akan membawa penghasilan, lapangan kerja, pelatihan dan pendidikan baik bagi rakyat Afghanistan dan Asia Tengah[41].
2.3. Hubungan Asia Tengah dan Amerika Serikat
Bukti bahwa terdapat kepentingan strategis Amerika Serikat, lebih spesifik lagi berhubungan dengan kepentingan ekonomi strategis; bisa terlihat dari deviasinya saat menghadapi rezim otoriter di sub-kontinen ini dengan sangat bersahabat; padahal biasanya AS merupakan pengusung nilai-nilai demokrasi[42]. Jajaran pemerintah AS yang lekat dengan petinggi-petinggi perusahaan minyak pun menunjukkan betapa besar signifikansi energi bagi pembangunan AS. Menteri Luar Negeri AS saat ini, Condoleezza Rice, sebelumnya adalah salah seorang petinggi di perusahaan minyak terbesar AS, Chevron, pada 1991-1995 sebagai seorang pakar Uni Soviet. Saat itulah Chevron berhasil menguasai kue terbesar dari ladang minyak Tengiz, Kazakhstan, yang punya cadangan potensial 25 miliar barrel. Wakil Presiden Dick Cheney juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil (TCO) di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, ExxonMobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia[43].
Tidak heran apabila dalam strategi global Amerika Serikat, Asia Tengah memegang posisi strategis. Terutama sejak tahun 1997 ketika AS mulai memprioritaskan kawasan ini dengan kebijakan “New Central Asia Strategy”[44]. Dalam strategi ini, AS berusaha membantu negara-negara baru merdeka di Asia Tengah untuk dapat keluar dari pengaruh Rusia dan benar-benar merdeka. Untuk megimplementasikan strategi ini, secara ekonomi AS berusaha menjadikan kawasan ini sebagai basis suplai energinya yang baru, dengan menanamkan investasi, bantuan ekonomi, dan pembangunan. Secara militer AS mulai memberikan bantuan militer berupa peralatan, pelatihan personil militer, latihan militer berkelanjutan dan akhirnya berusahan mendirikan pangkalan militer disana[45]. Hal ini berlanjut dengan intens pasca tragedi 11 September 2001, ketika AS mulai mengembangkan doktrin pertahanan baru dengan mengedepankan pre-emptive strike dan defensive intervention yang sangat berbeda dengan saat perang dingin yang menggunakan doktrin containtment dan deterrence[46]. Sejak itu, AS mulai aktif secara diplomatik, politik dan militer di Asia Tengah dan Uzbekistan menjadi sekutu kunci AS dengan mengijinkan pangkalannya dipakai oleh tentara AS[47] dan dengan cepat pengaruh militer AS meluas ke negara-negara Asia Tengah lainnya. Belum lagi invasi AS ke Afghanistan – yang tidak lepas dari kepentingan pembangunan pipa minyak, dijadikan justifikasi AS untuk menempatkan pasukannya dekat Bishkek serta meningkatkan tensi dengan Rusia.
Hal itu dilakukan untuk mengejar sumber energi potensial di Laut Kaspia yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan industri AS. Jika dirunut satu persatu, Kazkhstan yang berpotensi menjadi satu dari lima teratas sebagai eksportir minyak, mengingat produksinya pada tahun 2002 mencapai 900.000 barel per hari dan dapat meningkat menjadi 5 juta barel per hari pada tahun 2015 hingga melebihi produksi Iran atau Kuwait. Turkmenistan merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber gas alam terbesar di dunia, mencapai 101 trilyun kaki kabik dan produksi minyaknya 160.000 per hari. Sementara itu Tajikistan dan Kyrgistan menyimpan sumber alam yang dapat dijasikan pembangkit listrik tenaga air yang potensial untuk dapat memenuhi kebutuhan energi listrik di Asia Tengah, Afghanistan dan Asia Selatan[48]. Dari energi hidrokarbon, wilayah Kaspia memiliki cadangan hidrokarbon besar yang belum tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Cukup untuk melayani kebutuhan minyak Eropa selama 11 tahun[49].
Akan tetapi, sebagai landlocked countries, kawasan sekitar laut Kaspia terisolasi, menjadikannya sulit untuk mendistribusikan sumber-sumber energi ini untuk dapat mencapai pasaran dunia. Padahal, sumber daya energi Asia Tengah ini dapat menghadirkan tiga keuntungan baru, yakni bagi pasar dunia, kawasan dan Amerika Serikat[50]. Pertama, munculnya pasokan energi baru akan membuat pasokan di dunia menjadi beragam dan dapat mengendalikan harga minyak yang naik ketika permintaan akan minyak meningkat. Banyaknya pasokan minyak dari laut Kaspia akan mengamankan suplai minyak dunia (khususnya sekutu AS) karena suplai terbesar saat ini berasal dari teluk Persia (sebesar 66 %), dimana daerah tersebut rawan konflik dan politisasi sehingga menganggu pasokan energi dunia[51]. Kedua, apabila dikendalikan dengan baik, maka keuntungan dari penjualan minyak dan gas akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia Tengah, dimana kemampuan laut Kaspia untuk memasok energi pada pasaran dunia akan memperkuat prospek bagi pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di kawasan tersebut. Ketiga, ada kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan minyak multinasional AS dan negara-negara Barat untuk melakukan investasi pada minyak di laut Kaspia dan juga pada bidang-bidang lain.
Meski demikian, tetap harus disadari bahwa kendala geografis – tidak ada jalan yang mudah untuk mengekspor energi posisinya yang terisolasi dan bergantung pada kerjasama dengan negara tetangga yang konfliktual dan ‘tidak dapat dipercaya’ secara politis oleh AS; kendala teknologi dan biaya transportasi, kurangnya sumber daya manusia, masalah politik dan instabilitas domestik, serta minimnya perangkat hukum untuk melindungi para investor, juga menghambat kertumbuhan ekonomi wilayah ini.
2.4. Asia Tengah dan Major Power lainnya
Dengan kenyataan seperti itu, tentu bukan hanya AS yang mengincar minyak Kaspia. Rusia sangat memahami betapa berharga energi migas dalam meningkatkan pendapatan negara itu dan gencar mengincar migas di negara-negara tetangganya. Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang pantai timur Kaspia menuju Rusia. Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor 20 miliar meter kubik per tahun pada tahapan awalnya, dipandang sebagai sebuah pukulan atas harapan AS yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah berkomitmen mengirimkan migasnya ke jaringan pipa trans-Kaspia yang bersambung dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS[52].
China juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia Tengah dari negara-negara tetangganya di barat. Sebuah jaringan pipa minyak Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di utara Kaspia dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang, barat laut China, tengah dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009[53]. Sebuah jaringan paralel pipa gas alam juga tengah dibangun menuju ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan.
Negara-negara lain juga tidak mau ketinggalan. India ingin mencegah supaya Pakistan tidak memakai Asia Tengah sebagai kegiatan teroris, dan India juga tidak ingin Cina mengepung wilayahnya[54]. Kemudian masih ada Iran yang melihat pentingnya kawasan di luar perbatasannya. Teheran tidak ingin pengaruh terlalu besar Amerika Serikat yang akhirnya akan mengepung Iran[55]. Setiap negara punya kepentingan mendasar di sana. Bahkan jika menganalisa konflik yang terjadi di Georgia bukan semata konflik politik peninggalan masa lalu saat Soviet pecah. Lebih dari itu adalah konflik memburu perdagangan migas dari Kaspia. Dalam hal ini, AS yang sangat bernafsu menguasai sumber daya migas itu hanya bisa berkomentar cukup keras mengenai serbuan tentara Rusia ke Georgia. Namun, walau bagaimanapun, Rusia masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS, dan negara-negara kaya migas di Kaspia, yaitu Turkmenistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Kirgistan, masih lebih memperhitungkan Rusia.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada intinya, Asia Tengah merupakan daerah yang diperebutkan hingga sekarang karena mempunyai arti strategis secara politik, ekonomi, geografi dan kebudayaan. Karena secara ekonomi, kawasan ini kaya energi minyak dan gas, dan dalam perspektif AS Asia Tengah potensial sebagai lahan investasi baru bagi perusahaan-perusahaan minyaknya. Oleh karena itulah, pasca kehancuran Uni Soviet dan terjadi vacuum of power, sehingga AS berusaha mengambil peluang untuk berperan menggantikan posisi Soviet dengan membantu negara-negara tersebut agar lebih mandiri dan stabil sehingga dapat mencegah masuknya kembali peran Rusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, AS melakukan berbagai pendekatan baik politik, ekonomi, bahkan militer.
Dalam rangka mencapai ekpentingan nasionalnya, yakni melanggengkan keamanan energi yang bisa didapatkan dari potensi minyak di laut kaspia, Amerika Serikat memberlakukan “New Central Asia Strategy”. Dalam strategi ini, AS berusaha membantu negara-negara baru merdeka di Asia Tengah untuk dapat keluar dari pengaruh Rusia dan benar-benar merdeka. Untuk mengimplementasikan strategi ini, secara ekonomi AS berusaha menjadikan kawasan ini sebagai basis suplai energinya yang baru, dengan menanamkan investasi, bantuan ekonomi, dan pembangunan. Secara militer AS mulai memberikan bantuan militer berupa peralatan, pelatihan personil militer, latihan militer berkelanjutan dan akhirnya berusahan mendirikan pangkalan militer disana dengan invasi ke Afghanistan sebagai justifikasi. Hal ini berlanjut dengan intens pasca tragedi 11 September 2001, ketika AS mulai mengembangkan doktrin pertahanan baru dengan mengedepankan pre-emptive strike dan defensive intervention yang sangat berbeda dengan saat perang dingin yang menggunakan doktrin containtment dan deterrence. Sejak itu, AS mulai aktif secara diplomatik, politik dan militer di Asia Tengah dan dengan cepat pengaruh militer AS meluas ke negara-negara Asia Tengah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Clarke, M. and B. White (eds) Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach (Cheltenham: Edward Elgar 1989)
Codevilla, Angelo and Paul Seabury, War: Ends and Means, 2nd edition (Potomac Books Inc. 2006)
Luong, Pauline Jones, The Transformation of Central Asia: States and Societies from Soviet Rule to Independence, (Cornell University Press, 2003)
Malik, Hafeez . Central Asia’s Geopolitical Significance and Problems of Independence: An Introductions, (New York: St. Martin Press, 1994)
Pacicolan, Paolo. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The Heritage Foundations, 2001.
Roy, Olivier The New Central Asia: Geopolitics and the Birth of Nations, (New York: NYU Press ,2007)
Rall, Ted Silk Road to Ruin: Is Central Asia the New Middle East? (Nantier Beall Minoustchine Publishing, 2006)
Sokolsky, Richard and Tanya Charlek-Paley, “NATO Caspian Security: A Mission to Far?”. Santa Monica: Rani, 1999)
Sudarsono,Juwono dkk., Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996 )
Jurnal:
Baumann, Florian Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis, no. 1 March 2008
Cornell, Svante E. and Regine A. Spector,:”Central Asia More than Islamic Extremist”, dalam The Washington Quarterly, Vol.25/No.I, Winter, 2002
Globe, Paul A. “Back on the Map: The Geopolitics of Central Asia”, dalam jurnal Central Asia, No. 2 (8), 1997
Haiyun, Wang. “The Security Situation In Central Asia”, International Strategic Studies, No.1, January, 2001
Maynes, Charles William. “America Discoves Central Asia”, Jurnal Foreign Affairs, Vol. 82/No.2, March/April 2003
Sulaiman, Sadia. ”The Role of Central Asia in War Against Global Terrorism: Futuristic Apprisal”, dalam Strategic Studies, Vol.XXII/No.2, Summer, 2002)
Osterud, Oyvind "The Uses and Abuses of Geopolitics", Journal of Peace Research , no. 2, 1988, p. 2, 1988
Yergin, Daniel “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2 March/April 2006
Internet:
Alex Lantier, US oil pipeline politics and the Russia-Georgia conflict, diakses dari http://www.wsws.org/articles/2008/aug2008/pipe-a21.shtml pada tanggal 12 Desember 2008 Pk. 20.34
Hans de Vreij, Persaingan Sengit Asia Tengah-Asia Selatan jadi ajang persaingan politik internasional, diakses dari http://www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/persaingan_sengit_asteng.html. pada tanggal 12 Desember 2008 pukul. 20.14
Rakaryan Sukarjaputra, Konflik Georgia: Perburuan Migas di Kaspia, dalam Kompas 14 september 2008, diakses dari http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/09/14/22234348/perburuan.migas.di.kaspia pada tanggal 12 Desember 2008 pk. 20.45
___, US Policy in Asia, 2004, diakses dari http://www.uyghuramerica.org/researchanalysis/Uspolicycenasia.html pada tanggal 27 November 2008
Lainnya:
Husaini, Adian. “Doktrin Ofensif AS, Gejala Paranoid”, dalam Kompas 11 Juli 2002
[1] Pacicolan, Paolo. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The Heritage Foundations, 2001. hlm. 123-127
[2]Maynes, Charles William. “America Discoves Central Asia”, Jurnal Foreign Affairs, Vol. 82/No.2, March/April 2003 hlm. 122
[3] Wang Haiyun. “The Security Situation In Central Asia”, International Strategic Studies, No.1, January, 2001 hlm. 17
[5] Paolo, Pacicolan. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The Heritage Foundations, 2001.
[6] Hans de Vreij, Persaingan Sengit Asia Tengah-Asia Selatan jadi ajang persaingan politik internasional, artikel ditulis pada 14 Januari 2004, diakses dari http://www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/persaingan_sengit_asteng.html. pada tanggal 12 Desember 2008 pukul. 20.14
[7] Rakaryan Sukarjaputra, Konflik Georgia: Perburuan Migas di Kaspia, artikel dimuat dalam harian Kompas 14 september 2008, diakses dari http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/09/14/22234348/perburuan.migas.di.kaspia pada tanggal 12 Desember 2008 pk. 20.45
[8] Alex Lantier, US oil pipeline politics and the Russia-Georgia conflict, artikel ditulis pada August 21, 2008 diakses dari http://www.wsws.org/articles/2008/aug2008/pipe-a21.shtml pada tanggal 12 Desember 2008 Pk. 20.34
[9] Pacicolan, Paolo. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The Heritage Foundations, 2001. hlm. 123-127
[10] Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2 March/April 2006
[11] Ibid.
[12] Florian Baumann, Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis, no. 1 March 2008
[13] Ibid.
[14] C.P. Kindleberger, “Dominance and Leadership in the International Economy: Exploitation, Public Goods, and Free Rides”, dalam International Studies Quarterly, 25 1982, hal. 242-254.
[15] Ibid., “Dominance and Leadership in the International Economy: Exploitation, Public Goods, and Free Rides”
[16] _____, “Hegemonic Stability Theory” diakses dari http://www.angelfire.com/ok3/meredith/realism.html
[17] M. Clarke, ‘The Foreign Policy System: A Framework for Analysis’, in M. Clarke and B. White (eds) Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach (Cheltenham: Edward Elgar 1989), pp.27–59.
[18] Ibid. hlm. 25
[19] Ibid. hlm. 25
[20] Angelo Codevilla and Paul Seabury, War: Ends and Means, 2nd edition (Potomac Books Inc. 2006) hlm. 120
[21] Ibid., hlm 141
[22] Ibid., hlm. 142
[23] Ibid, hlm. 145-147
[24] Ibid, hlm. 147
[25] Olivier Roy, The New Central Asia: Geopolitics and the Birth of Nations, (New York: NYU Press ,2007) hlm. 7
[26] Oyvind Osterud, "The Uses and Abuses of Geopolitics", Journal of Peace Research , no. 2, 1988, p. 2, 1988, hal 192
[28] Indrya Smita Notosusanto,.”Politik Global Amerika Serikat Pasca Perang Dingin”,dalam Juwono Sudarsono, dkk., Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996 ) hlm. 117
[29] (Ibid., 141).
[30] (Ibid., 142)
[31] (ibid, 145-147)
[32] Hafeez Malik. Central Asia’s Geopolitical Significance and Problems of Independence: An Introductions, (New York: St. Martin Press, 1994) hlm, 130
[33] Ibid. hlm. 131
[34] Wang Haiyun. Opcit. Hlm. 47
[35] ___, US Policy in Asia, 2004, diakses dari
http://www.uyghuramerica.org/researchanalysis/Uspolicycenasia.html pada tanggal 27 November 2008
[36] Svante E. Cornell, and Regine A. Spector,:”Central Asia More than Islamic Extremist”, dalam The Washington Quarterly, Vol.25/No.I, Winter, 2002 hlm. 193
[37] Sulaiman, Sadia. ”The Role of Central Asia in War Against Global Terrorism: Futuristic Apprisal”, dalam Strategic Studies, Vol.XXII/No.2, Summer, 2002) hlm. 86
[39] Sulaiman, Op.Cit. hlm. 85
[41] Paul A. Globe, “Back on the Map: The Geopolitics of Central Asia”, dalam jurnal Central Asia, No. 2 (8), 1997
[42] Ted Rall, Silk Road to Ruin: Is Central Asia the New Middle East? (Nantier Beall Minoustchine Publishing, 2006) hlm. 5
[43] Ibid. hlm. 112
[44] Ibid. hlm. 3
[45] Wang Haiyun. “The Security Situation In Central Asia”, International Strategic Studies, No.1, January, 2001 hlm. 17
[46] Husaini, Adian. “Doktrin Ofensif AS, Gejala Paranoid”, dalam Kompas 11 Juli 2002
[47] Svante E. Cornell, and Regine A. Spector,:”Central Asia More than Islamic Extremist”, dalam The Washington Quarterly, Vol.25/No.I, Winter, 2002 hlm. 193
[48] Pacicolan, Paolo.Opcit. hlm. 110
[49] Pacicolan, Paolo.Opcit. hlm. 115
[50] Sokolsky, Richard and Tanya Charlek-Paley, “NATO Caspian Security: A Mission to Far?”. Santa Monica: Rani, 1999) hlm. 69-70
[52] Pauline Jones Luong, The Transformation of Central Asia: States and Societies from Soviet Rule to Independence, (Cornell University Press, 2003) hlm. 136
[53] Ibid. hlm. 138
[54] Ibid. hlm. 142
[55] Ibid. Hlm. 143
0 komentar:
Posting Komentar