EKSPANSI EKONOMI DAN POLITIK CINA DI BENUA AFRIKA

DIisusun oleh Hary wibowo


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jika dilihat dari sejarah, hubungan China-Afrika sudah dimulai sejak tahun 1418 dengan berlabuhnya kapal China yang dipimpinan Zheng He berlabuh di pantai timur Afrika dan berlabuh lagi 1421-1422 dan 1431-1433. Kedatangan China bertujuan untuk menyebarkan ide imperialisme. Pada awal abad ke-20, sekelompok kecil intelektual China telah memiliki kepentingan bersama untuk melawan dominasi luar berlanjut sekitar tahun 1950-1960 dimana China masuk ke Afrika dengan memberikan bantuan dalam bentuk militer dan ideologi pada saat yang sama. Gerilya Afrika dibekali pendidikan perdagangan di Akademi Militer Nanjing. Pada tahun 1980 China mengirimkan 150.000 teknisinya yang dilibatkan dalam ratusan skema kerjasama yang berbeda China-Afrika hingga saat ini. Salah satu bentuk keterlibatannya adalah dengan pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Tanzania dengan Zambia Dar es Salaam.[1]
Kerjasama China-Afrika berlanjut pada tahun 1996 dimana China merupakan Investor utama bagi Sudan dengan investasi minyak melalui BUMN China yaitu China National Petroleoum Corporations (CNPC). Yang menginvestasikan tidak hanya dalam hal eksplorasi minyak, tapi juga dalam hal produksi dan infrastuktur trasporrtasi di Sudan. Sejak tahun 1996, China National Petroleoum Corporations (CNPC) telah memiliki 40% saham drari perusahan besar yaitu Greater Nile Petroleoum. Synopec membangun jalur pipa sepanjang 1500 km menuju ke pelabuhan Sudan. Kemudian di tahun 2001 perusahaan China membangun Stasiun Pembangkit Energi dengan bantuan sebanyak 110 juta US$ dari pinjaman Bank Exim China.
Yang kemudian menjadi menarik di sini adalah adanya penguatan kerjasama antara China dan Afrika terutama setelah tahun 2004. Pada tahun ini mulai diadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) antara China dengan Negara-negara Afrika. KTT tersebut terus berlanjut dalam intensitas kejasama yang semakin intensif dan mencapai puncak pendeklarasian penguatan strategic partnership China ke Afrika pada KTT Beijing tahun 2006.
B. RUMUSAN MASALAH
Melalui paper ini, pembahasan hubungan antara China dengan Afrika kami fokuskan pada tahun 2004 sampai dengan sekarang. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004, hubungan China-Afrika secara resmi dan formal dimulai pada saat KTT China-Afrika di Beijing. Dalam pembahasan hubungan antara China-Afrika, kelompok kami melihat ada 2 permasalahan yang mendasar, yaitu:
1. Apa motivasi China untuk memperkuat strategic partnership dengan Afrika?
2. Bagaimana perspektif Rational Choice menjelaskan penguatan strategic partnership China-Afrika?

C. KERANGKA TEORITIS
Fenomena penguatan strategic partnership China ke Afrika dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep rational choice yang berada dalam kerangka kerjasama internasional. Kerjasama internasional sendiri terjadi apabila kebijakan yg diambil oleh satu negara dianggap oleh negara lain sebagai halangan untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka, tetapi ada upaya untuk melakukan penyesuaian kebijakan oleh kedua belah pihak, sehingga kebijakan masing-masing negara tersebut menjadi lebih kompatibel satu sama lain. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa negara bersedia untuk melakukan kerjasama? Pertanyaan inilah yang kemudian dapat dijawab dengan konsep rational choice.
Konsep rational choice memliki asumsi rasionalitas, yakni pilihan yang diambil atas dasar kalkulasi untung rugi, yaitu bagaimana seorang aktor dapat memutuskan preferensi yang saling menguntungkan atau yang saling meniadakan. Axelrod menyebut pilihan ini sebagai payoff structure. Payoff Structure (Mutual and conflicting preferences) menurut Robert Axelrod dan Robert Keohane dapat dibedakan menjadi empat karakter yaitu:
The benefit of mutual cooperation ( CC )
Relative to mutual defection ( DD )
The benefits of unilateral defection (DC)
Relative to unrequited cooperation (CD)
Keempat karakter tersebut mendapatkan prioritas masing-masing sesuai dengan jenis permainan apa yang sedang dilakukan oleh aktor tertentu. Dalam konteks pembahasan makalah ini, jenis permainan/game yang paling relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi adalah Stag Hunt Game. Stag Hunt Game memiliki preferensi sebagai berikut: CC>DC>DD>CD. Inti dari model permainan ini adalah bahwa kerjasama (cooperation) lebih diinginkan daripada pengingkaran sepihak (unilateral defection).
Selain payoff structure, terdapat 2 hal lain yang mempengaruhi kecenderungan aktor untuk bekerjasama, yakni The Shadow of the Future (bayangan akan masa depan) dan The Number of Actors (seberapa banyak aktor yang terlibat). Bayangan akan masa depan menjadi penting di sini karena payoff structure sebetulnya lebih memfokuskan pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek. Sedangkan seberapa banyak aktor yang terlibat nantinya akan menjadi faktor pendukung dalam menjelaskan fenomena ini.

D. GAGASAN UTAMA
Motivasi China untuk memperkuat strategic partnership dengan Afrika meliputi beberapa motivasi seperti ekonomi, politik, keamanan. Namun demikian, motivasi ekonomi lebih dominan didalam melatarbelakangi kerjasama ini. Secara spesifik lagi, motivasi ekonomi tersebut terutama dilandasi oleh kepentingan untuk memenuhi kebutuhan energi China dari benua Afrika.
Penguatan strategic partnership China ke Afrika memberikan keuntungan bagi China berupa pemenuhan kebutuhan energy untuk jangka panjang, Afrika sebagai pasar produk industry China. Secara politik memperkuat bargaining position China di dunia internasional. Sedangkan kerugiannya adalah China mengalokasikan sebagian dari anggarannya untuk Afrika dan China juga mendapatkan tekanan-tekanan dari Barat karena China tidak memperhatikan HAM dalam memberikan bantuan. Dari kalkulasi untung-rugi strategic partenship China-Afrika tersebut jelas lebih menguntungkan daripada merugikan. Fenomena yang demikian dapat dijelaskan dengan Stage Hunt Game yaitu bahwa pilihan untuk bekerjasama menjadi prioritas utama bagi kedua pemain.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Penguatan Strategic Partnership China ke Afrika
Pada tanggal 4 November 2006 China menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Afrika-China (Forum on China-Africa Cooperation/ FOCAC). Pertemuan puncak antara pemerintah China dengan Afrika ini bertujuan mempererat hubungan politik dan perdagangan antara China dan Afrika[2]. Dalam kesempatan tersebut, China juga menandatangani perjanjian bilateral dengan Afrika Selatan, Sudan, Kenia, Nigeria dan Ghana di bidang pertambangan, prasarana, keuangan, teknologi dan komunikasi. China meyakini bahwa antara China dan negara-negara Afrika memiliki persamaan tujuan yaitu persahabatan, perdamaian, kerja sama dan pembangunan. Sehingga nilai-nilai inilah yang kemudian dijadikan landasan bagi forum pertemuan puncak China-Afrika tersebut. Pertemuan ini dapat dikatakan sangat signifikan karena China berhasil mendatangkan 48 kepala negara dan pejabat tinggi dari Afrika. Selain itu kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan pun menjadi sangat krusial dalam membangun dan memajukan kerjasama China-Afrika.
Sejak penyelenggaraan KTT tersebut, kegiatan China di Afrika meningkat pesat. Perlu diingat bahwa China memiliki hubungan diplomatik dengan 48 negara Afrika. Volume perdagangan bilateral diantara keduanya meningkat dari US$ 12 juta tahun 1956 menjadi hampir US$ 40 miliar tahun 2005, dan akan melampaui US$ 50 miliar tahun 2006[3]. Perkembangan hubungan antara negara China dengan negara-negara di benua Afrika tersebut menjadi sebuah hubungan yang saling berketergantungan (interdepedensi). Hubungan tersebut selain didasarkan pada kepentingan negara China dalam bidang perdagangan juga telah meningkat menjadi sebuah hubungan yang berkaitan dengan sumber-sumber minyak di beberapa negara di benua Afrika demi memenuhi kebutuhan energi masyarakat China. Sedangkan dari sisi Afrika, sangat jelas terlihat bahwa bantuan yang ditawarkan China sangat dibutuhkan untuk pembangunan Afrika dewasa ini. Kepentingan yang bermain dalam hubungan kerjasama ini akan lebih diperjelas dalam pembahasan selanjutnya.

2. Kepentingan dalam Strategic Partnership China-Afrika
 
2.1. Kepentingan China terhadap Afrika
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, China membangun pembangkit listrik baru berkapasitas 199,3 ribu megawatt serta secara bersamaan meningkatkan konsumsi batu bara sebesar 21 persen pada periode yang sama. Sedikit gambaran tersebut cukup menjelaskan eksistensi
China sebagai negara yang paling agresif dalam meningkatkan produktivitas energi dewasa ini. Secara bersamaan, RRC juga dihadapkan pada kekurangan pasokan energi lokal, sehingga mendorong berbagai industri dan konsumen komersial mencari sumber pasokan listrik lain untuk memenuhi jadwal produksi.
China, merupakan konsumen minyak terbesar ke dua dunia setelah Amerika Serikat, terlihat suatu pertumbuhan cepat dalam konsumsi minyak karena ekonominya terus meningkat. Menurut angka-angka yang dikeluarkan oleh Kantor Statistik Nasional, negara itu tahun lalu mengkonsumsi lebih dari 320 juta ton minyak mentah atau naik 7,1 persen di banding setahun sebelumnya. Sebanyak 145,18 juta ton minyak mentah atau 45 persen dari total konsumsi minyak mentahnya berasal dari impor.
Antara tahun 2004-2005, konsumsi minyak RRC meningkat dari 4,7 juta barel per hari menjadi 7 juta barel per hari. Yang menarik, pertumbuhan tahunan permintaan minyak China mendekati 800 ribu barel per hari, yang berarti mencakup pertumbuhan berkala sepertiga kebutuhan dunia atau sama dengan 70 persen pertumbuhan kebutuhan minyak di kawasan Asia-Pasifik[4].
Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut, para pengambil keputusan di China sepakat kalau negaranya harus secara agresif terlibat dalam pasar minyak dunia. China pun mulai mengikuti mekanisme pasar internasional yang berlaku dan tidak memiliki pilihan mengikuti praktek kompetisi global untuk produk-produk energi. Permintaan untuk minyak yang terus meningkat tersebut yang kemudian mendorong ekspansi berbagai kegiatannya di Afrika. Lebih dari 30 persen impor minyak mentah China dalam beberapa tahun terakhir ini didatangkan dari Afrika. Angola mulai tahun 2006 melampaui Arab Saudi sebagai sumber impor minyak utama China, menyumbang sekitar setengah dari impor China dari benua tersebut[5]. Sedangkan Sudan juga menjadi mitra minyak utama dengan memasok 7 % kebutuhan China.
Selain kepentingan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, China juga memiliki banyak kepentingan lain di Afrika yang meliputi kepentingan ekonomi dan politik. Kepentingan ekonomi (di luar minyak/energi) meliputi pemanfaatan kawasan Afrika sebagai pasar bagi produk-produk China dan Afrika sebagai ladang investasi bagi modal yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan China. Sedangkan kepentingan politik lebih mengarah pada penguatan bargaining position China di dunia internasional mengingat dalam skenario China, negara-negara Afrika akan lebih berpihak pada China dalam forum-forum internasional.
2.2. Kepentingan Afrika terhadap China
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Afrika-China (Forum on China-Africa Cooperation/FOCAC), Afrika mendapatkan banyak peluang menguntngkan untuk pembangunan di kawasannya. Dalam pertemuan tersebut, China telah berkomitmen untuk memberikan bantuan kepada Afrika guna meningkatkan hubungan dengan benua tersebut. Dana baru ini akan dibiayai oleh Bank Pembangunan China, milik pemerintah, dan diperkirakan nilainya akan mencapai US$ 5 miliar. Nilai tersebut berupa pinjaman istimewa sebesar US$ 3 miliar dan kredit ekspor sebesar US$ 2 miliar yang akan diberikan dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam konteks pemberian pinjaman ini, China tidak akan memperhatikan situasi hak asasi manusia di suatu negara, sebagaimana yang sering dilakukan oleh pemerintahan di Eropa[6]. Inilah salah satu “nilai lebih” China di mata negara-negara Afrika.
Selain pinjaman tersebut, banyak keuntungan lain yang akan didapatkan oleh Afrika. China akan mengadakan pelatihan bagi 15.000 profesional Afrika, membangun sekolah-sekolah, rumah sakit dan klinik anti-malaria serta mengirim sukarelawan muda China ke Afrika[7]. Dalam bidang ekspor-impor, China akan meningkatkan jumlah kategori barang-barang yang dibebaskan dari pajak impor ke China dari negara-negara termiskin di Afrika dan membuka tiga hingga lima zona kerja sama ekonomi di Afrika.

3. Rasionalisasi Penguatan Kerjasama dari Perspektif China
3.1.Pilihan Rasional untuk memilih Afrika
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa kebutuhan China akan energi semakin besar. Sedangkan kerjasama dalam bidang energi yang dianggap paling signifikan, yaitu dengan kawasan seperti Asia Tengah dan Rusia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan energi China. Kebutuhan yang mendesak ini menuntut China untuk mencari strategi baru. Sebetulnya China memiliki banyak alternatif kerjasama dengan berbagai kawasan di luar Afrika yang juga memiliki sumber-sumber energi. Walaupun China telah menjalin kerjasama dengan berbagai kawasan seperti Timur Tengah, Amerika Latin dan Asia Tenggara, namun kerjasama tersebut tidak menjadi prioritas penguatan kerjasama. Yang menarik di sini adalah mengapa kemudian pilihan China jatuh ke Afrika sebagai prioritas?
China memiliki pilihan rasional untuk menjatuhkan pilihan prioritas kerjasama pada Afrika. Afrika sendiri merupakan kawasan yang belum banyak diminati negara-negara barat dalam hal eksploitasi sumber daya alam. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah dilakukan eksploitasi di Afrika, namun demikian eksploitasi tersebut belum sebanding dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Afrika. Dapat dikatakan juga bahwa negara-negara lain belum menjadikan Afrika sebagai prioritas kerjasama. Padahal kekayaan alam dan potensi lain yang terdapat di Afrika sangat besar jika diolah secara serius. Bahkan produksi energy Afrika memiliki trend yang semakin meningkat karena banyaknya penemuan ladang-ladang energi baru. Peluang besar inilah yang kemudian membuat China berani mengambil keputusan untuk memperkuat kerjasama dengan Afrika.
Selain alasan internal Afrika tersebut, pilihan rasional China juga akan jelas terlihat jika melihat kemungkinan-kemungkinan pertimbangan China terhadap beberapa kawasan penghasil energi seperti:
 
3.1.1. Kawasan Asia Tenggara
Dalam hal energi, China menghadapi tantangan yang cukup besar untuk meningkatkan kerjasama dengan negara-negara di Asia Tenggara. Beberapa perusahaan minyak China sebetulnya telah melakukan eksploitasi. Namun demikian, kawasan ini (terutama Indonesia) memiliki trend stagnasi (bahkan penurunan) produksi energi, terutama minyak bumi. Selain itu China juga harus menghadapi banyak pesaing berat di Asia Tenggara. Dominansi perusahaan-perusahaan minyak asal Amerika Serikat dan Eropa (Exxon Mobile, Cevron, Total Oil, dll) membuat China tidak leluasa untuk mengembangkan eksploitasinya.
3.1.2. Kawasan Amerika Latin
Dominasi perusahaan minyak asal Amerika Serikat dan Eropa juga menjadi salah satu faktor penghambat China untuk bertindak leluasa di kawasan Amerika Latin. Selain itu, terdapat fenomena menarik di Amerika Latin yang membuat China (dan juga negara-negara Barat) berfikir dua kali untuk menanamkan modalnya. Hal ini disebabkan munculnya beberapa kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh beberapa negara di Amerika Latin. Misalnya saja rezim Hugo Cavez di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia yang dengan berani melakukan nasionalisasi. Walaupun tidak semua perusahaan minyak dinasionalisasi, dan tidak semua Negara Amerika Latin melakukan nasionalisasi, namun fenomena ini menjadikan penurunan kepercayaan dan peningkatan kewaspadaan terhadap negara-negara di kawasan ini.
3.1.3. Kawasan Timur Tengah
Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang sangat signifikan dalam memenuhi kebutuhan energy China, namun dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan trend penurunan ketergantungan China terhadap kawasan ini. Seperti halnya di kawasan lain, China juga harus bersaing ketat dengan Amerika Serikat dan Eropa. Dalam hal ini Amerika Serikat telah memiliki hubungan dekat dengan Arab Saudi yang merupakan salah satu sentral produsen minyak di Timur Tengah. Dengan demikian, Arab Saudi pasti lebih memprioritaskan Amerika Serikat dalam mengembangkan eksploitasi energinya. Amerika Serikat juga sangat agresif dalam mengembangkan eksploitasi ke negara-negara lain di luar Arab Saudi. Bahkan dalam usaha tersebut mereka berani menggunakan instrumen militer. Secara otomatis, Amerika Serikat memiliki akses yang lebih besar di negara-negara yang secara politik telah mereka kuasai, seperti Irak dan Afganistan.


3.2.Kalkulasi Untung Rugi
Selain berdasarkan pilihan terhadap Afrika yang rasional di atas, makalah ini juga akan menganalisis perkiraan kalkulasi untung rugi yang dialami oleh China. Hal ini didasarkan pada konsep rational choice yang memiliki asumsi rasionalitas, yakni pilihan yang diambil atas dasar kalkulasi untung rugi (bagaimana seorang aktor dapat memutuskan preferensi yang saling menguntungkan atau yang saling meniadakan). Jadi, yang menjadi penting di sini adalah perkiraan apa saja dan seberapa banyak keuntungan yang di dapatkan China melalui kerjasama ini dan perkiraan apa saja dan seberapa banyak hal-hal yang harus dikorbankan China untuk menjalin kerjasama ini. Perlu diingat bahwa kalkulasi untung rugi ini didasarkan pada pertimbangan jangka pendek, sedangkan pertimbangan jangka panjang akan dibahas dalam the shadow of future.
Keuntungan yang mungkin di dapat China dengan menjalin kerjasama ini diantaranya adalah:
3.2.1. Mendapatkan akses yang lebih besar untuk mengembangkan eksploitasi energi di Afrika
3.2.2. Mendapatkan akses yang lebih besar untuk memasarkan produk-produk China yang meningkat secara luar biasa
3.2.3. Mendapatkan dukungan suara dari negara-negara Afrika di forum-forum internasional
3.2.4. Memiliki kesempatan lebih besar untuk mengembangkan industri-industrinya di kawasan Afrika
3.2.5. Dengan bantuan yang diberikan China, Afrika diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur dan sarana pendukung lain yang pada akhirnya akan mendukung dan memperlancar pengembangan industri China di Afrika
Sedangkan kerugian yang harus ditanggung China dengan menjalin kerjasama ini diantaranya adalah:
3.2.1. Memberikan bantuan kepada negara-negara Afrika berupa bantuan finansial, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya
3.2.2. Mendapatkan tekanan dari negara-negara Barat terutama dikarenakan China tidak memperhatikan aspek HAM dan demokrasi sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan bantuan
Pemaparan di atas merupakan perhitungan untung rugi non matematis. Sedangkan perhitungan secara sistematis dapat dihitung dari perbandingan antara GDP China dengan besarnya aliran dana yang akan diberikan ke Afrika. China pada KTT tahun 2006 menjanjikan 5 milyar dollar AS untuk Afrika. Nilai sebesar itu akan diberikan dalam jangka waktu 3 tahun. Jika dibandingkan dengan GDP China tahun 2006 yang mencapai 2 Triliun dollar AS, nilai tersebut sangat kecil nilainya (bantuan ke Afrika hanya 0,25% dari GDP China tahun 2006). Apalagi jika dilihat jangka waktu pemberian bantuan yaitu selama 3 tahun, maka setiap tahun China hanya akan mengalokasikan sekitar 0,083% GDP nya untuk Afrika. Nilai yang harus dkorbankan China tersebut sebenarnya (secara tidak langsung) sebagian akan dikembalikan untuk kepentingan strategis China. Perlu diingat bahwa bantuan yang diberikan China sebagian besar diarahkan untuk membangun sarana prasarana di Afrika yang pada akhirnya akan memperlancar proses industrialisasi dan pengembangan eksploitasi energy China di Afrika. Melalui perbandingan antara keuntungan dan kerugian yang didapat China tersebut, dapat disimpulkan bahwa pilihan China untuk memperkuat strategic partnership dengan Afrika lebih cenderung menguntungkan daripada merugikan.

3.3. Faktor-faktor yang menentukan kerjasama
3.3.1. Payoff Structure
Axelrod menyebut pilihan rasional yang diambil oleh seorang aktor sebagai payoff structure. Payoff Structure (Mutual and conflicting preferences) tersebut menurut Robert Axelrod dan Robert Keohane dapat dibedakan menjadi empat karakter yaitu:
1. The benefit of mutual cooperation ( CC )
2. Relative to mutual defection ( DD )
3. The benefits of unilateral defection (DC)
4. Relative to unrequited cooperation (CD)
Keempat karakter tersebut mendapatkan prioritas masing-masing sesuai dengan jenis permainan apa yang sedang dilakukan oleh aktor tertentu. Dalam konteks pembahasan makalah ini, jenis permainan/game yang paling relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi adalah Stag Hunt Game. Stag Hunt Game memiliki preferensi sebagai berikut: CC>DC>DD>CD. Inti dari model permainan ini adalah bahwa kerjasama (cooperation) lebih diinginkan daripada pengingkaran sepihak (unilateral defection).
Dalam konteks hubungan kerjasama antara China dan Afrika, preferensi yang menjadi prioritas China juga dapat dijelaskan dalam skema Stag Hunt Game. Terdapat empat kemungkinan preferensi China untuk bekerjasama dengan Afrika, yaitu: Pertama, jika China memutuskan untuk cooperative, dan Afrika juga memutuskan untuk cooperative, maka keduanya akan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Dalam hal ini China mendapatkan pasokan minyak, sedangkan Afrika mendapatkan bantuan. Preferensi yang demikian merupakan preferensi terbaik yang diusahakan oleh China dan Afrika (CC). Kedua, jika China memutuskan untuk defect, sedangkan Afrika tetap memutuskan untuk cooperative, maka China tidak akan memberikan bantuan, sedangkan Afrika tetap memasok energi untuk China. Pilihan ini dalam konteks jangka pendek memang menguntungkan China, namun China akan kehilangan trust di Afrika (DC). Ketiga, jika China memutuskan untuk defect, sedangkan Afrika juga memutuskan untuk defect, maka China tidak akan memberikan bantuan, sedangkan Afrika juga tidak akan memasok Energi untuk China. Pilihan ini jelas lebih buruk dibandingkan dengan pilihan pertama dan kedua (DD). Keempat, jika China memutuskan untuk cooperative, sedangkan Afrika tetap memutuskan untuk defect, maka China memberikan bantuan, sedangkan Afrika tidak memasok energi untuk China. Pilihan ini merupakan kemungkinan terburuk yang dihadapi oleh China (CD).
Dari skema tersebut, memang preferensi China untuk bekerjasama dengan Afrika dapat dikonversi dalam rumusan CC>DC>DD>CD. Formulasi ini juga dapat menjelaskan mengapa China selalu berambisi untuk memperkuat strategic partnership dengan Afrika. Karena memang pilihan untuk “bekerjasama” dan “membuat Afrika mau bekerjasama” itulah yang dapat memaksimalkan keuntungan bagi China.
3.3.2. The Shadow of Future
Selain payoff structure, The Shadow of the Future (bayangan akan masa depan) juga mempengaruhi kecenderungan aktor untuk bekerjasama. Bayangan akan masa depan menjadi penting di sini karena payoff structure sebetulnya lebih memfokuskan pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek. Menurut Axelrod, semakin dipertimbangkannya payoff yang akan didapat di masa depan dari pada payoff yang ada saat ini, maka berkurang pula kecenderungan untuk bertindak ingkar atau defect. Dimensi bayangan tentang masa depan ini lebih mampu membedakan isu-isu ekonomi daripada isu-isu militer/keamanan. Dalam hal ini ketika aktor-aktor bermain dalam isu ekonomi, maka mereka akan cenderung berharap bahwa hubungan mereka akan terus berlanjut dalam kurun waktu yang tak terhingga.
Konsep Axelrod ini dapat menjelaskan penguatan kerjasama antara China dan Afrika yang berfokus pada isu ekonomi. Baik China maupun Afrika memang membayangkan adanya kerjasama yang terus berlanjut. Hal ini dikarenakan kedua aktor, terutama China, memiliki ekspektasi bahwa kerjasama ini akan sangat menguntungkan untuk masa depan mereka. China akan dapat menjaga keamanan energinya untuk rentang waktu yang lebih lama, sedangkan Afrika berharap bahwa bantuan dari China akan terus mengalir untuk menggalakkan pembangunan. Dengan demikian, bayangan akan masa depan yang menguntungkan ini memang menjadi faktor pendorong penguatan strategic partnership China ke Afrika.
3.3.3. The Numbers of Actors
Kemampuan para aktor dalam melakukan kerjasama tidak hanya dipengaruhi oleh payoff structure dan bayangan tenang masa depan tetapi juga oleh seberapa banyak jumlah pelaku yang terlibat dalam permainan kerjasama tersebut dan bagaimana interaksi diantara mereka terstruktur. Ada 3 hal yang mempengaruhi kerjasama saling menguntungkan, yakni:
v Aktor dapat mengidentifikasi defectors
v Mereka dapat fokus apa yang akan dilakukan terhadap defector
v Mereka mmpunyai incentives jangka panjang yang cukup untuk menekan defectors.
Ketika jumlah pemain semakin banyak, kondisi-kondisi di atas akan semakin sulit untuk dicapai. Karena dalam situasi demikian, sangat sulit, bahkan mustahil untuk mengidentifikasi, atau bahkan menghukum siapa yang ingkar.
Dalam konteks kerjasama China-Afrika, pertimbangan tentang seberapa banyak jumlah aktor yang telibat menjadi faktor yang kurang signifikan (bila dibandingkan dengan faktor lain) dalam pertimbangan penguatan kerjasama. Namun demikian, pertimbangan ini pasti juga memiliki andil dalam keputusan untuk menjalin kerjasama. Kerjasama antara China dengan Afrika dapat dimaknai sebagai kerjasama antara dua aktor. Hal ini didasarkan pada asumsi China untuk “memenangkan” Afrika sebagai satu kesatuan.
Walaupun persepsi China mengatakan demikian, namun sebetulnya China memiliki tantangan yang lebih besar dari Afrika. Axelrod mengatakan bahwa terdapat kemungkinan munculnya free rider dalam kerjasama yang melibatkan banyak negara. Kemungkinan munculnya free rider tersebut lebih memungkinkan datang dari negara-negara Afrika mengingat jumlahnya yang sangat banyak. Jumalh yang sangat banyak ini tentunya akan lebih menyulitkan China untuk mengidentifikasi defector. Sedangkan dari sudut pandang Afrika, jumlah pemain ini sama sekali bukan merupakan suatu masalah. Pertimbangannya adalah China sebagai negara/aktor tunggal yang lebih mudah diidentifikasi, dan memang kepentingan untuk melakukan kerjasama lebih besar terletak pada China.
Untuk menghadapi masalah tersebut, China dapat mengakomodasi konsep Oye tentang solusi untuk meminimalisasi dilemma kemunculan negara-negara yang ingkar yaitu dengan:
v Mengusahakan rejim memiliki konvensi yang bisa memberikan aturan mengikat bagi para aktor di dalamnya
v Mengusahakan rejim bisa membangun mekanisme penegakan aturan kolektif jika terdapat aktor yang defect.

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini diantaranya adalah bahwa China memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi sumber-sumber energi di Afrika dan menjadikan Afrika sebagai pasar produksi China. Inilah yang menjadi dasar China untuk mendorong penguatan strategic partnership China ke Afrika. Afrika kemudian merespon dengan positif karena ia juga memiliki kepentingan terhadap China. Respon ini lebih disebabkan karena tawaran China untuk memberikan bantuan kepada Afrika untuk membiayai pembangunan di kawasan ini.
Jika dilihat dari konsep rational choice, keputusan China untuk memperkuat hubungan kerjasama ini merupakan sebuah pilihan yang rasional. Hal ini dapat dibuktikan melalui kalkulasi untung rugi dan faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya sebuah kerjasama. Dari kalkulasi untung rugi jelas China lebih diuntungkan karena negara ini mendapatkan akses yang lebih besar untuk melakukan eksploitasi energy, mendapatkan dukungan politik dari Afrika, dan mendapatkan pasar yang luas untuk hasil produksinya. Sedangkan Afrika hanya mendapat bantuan yang nilainya sangat kecil jika dibandingkan dengan GDP China. Pilihan ini juga dianggap rasional karena China memperhatikan faktor lain seperti bayangan akan masa depan. Tidak diragukan lagi bahwa kerjasama ini akan sangat menguntungkan China terutama untuk memenuhi kebutuhan jangka panjangnya. Di sisi lain, China harus lebih berhati-hati karena jumlah aktor yang ia hadapi sangat banyak. Untuk itu, jika ingin lebih mengamankan kepentingannya China harus menciptakan mekanisme/aturan yang mengikat kedua belah pihak yang diharapkan dapat mengurangi kemungkinan untuk defect.
[1] John Gross, The NewYork Times, August 26, 1988
[2] Kapan Lagi, 2006, Pertemuan Puncak China - Afrika Dibuka,
http://www.kapanlagi.com/h/0000142033.html
[3] Sinar Harapan, 2006, China Makin Tergantung Impor Minyak,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/04/lua06.html
[4] Rene L. Pattiradjawane, 2007, Minyak Dunia dan Energi China,
http://www.pattiradjawane.com/index.php?option=com_content&task=view&id=262&Itemid=27

[5] Antara, 2007, Impor Minyak Mentah China Naik 10,8 %
http://portal.antara.co.id/arc/2007/5/16/impor-minyak-mentah-china-naik-10-8-/
[6] Dw-World, 2007, Hubungan China-Afrika Lebih Untungkan China,
http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3042763,00.html
[7]Sinar Harapan, 2006, China Makin Tergantung Impor Minyak


4 komentar:

die without music mengatakan...

Mantap tulisan loe

Anonim mengatakan...

terima ksih, mantaf!!

hary wibowo mengatakan...

all@ terimakasih atas kunjunganya

Anonim mengatakan...

Bang hary ini makalah seseorang yang sekarang udah jadi dosen di UGM. http://dedypermadi.blogspot.com/2008/07/perspektif-rational-choice-studi-kasus.html

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger