Jika terlontar pertanyaan mengenai negara mana di dunia yang memiliki keunikan secara geopolitik dan sosial budaya, rasanya Turki salah satu jawabannya. Negara yang berlokasi di dua benua sekaligus, Asia dan Eropa, memiliki budaya yang blasteran – perpaduan Eropa dan Asia (Timur Tengah), serta berpenduduk berperawakan unik yang juga blasteran – wajah Asia (Timur Tengah) dan kulit Eropa. Keunikan kondisi geografis dan demografis yang dimiliki Turki boleh jadi merupakan anugerah Tuhan, namun jika Turki berhasil memainkan politik regionalnya, maka itu bukan semata anugerah Tuhan, melainkan juga usaha keras bangsanya.
Sebagai negara yang memiliki stabilitas demokrasi yang telah mapan dan ditunjang dengan stabilitas ekonomi yang memadai, menjadikan Turki sebagai negara liberalis baru dalam pendekatan teori hubungan internasional. Promosi demokrasi Erdo?an yang berhasil memadukan Islam, demokrasi, modernisasi sekaligus sekularisme kepada Mesir, Suriah dan beberapa negara Afrika Utara, memposisikan politik luar negeri Turki semakin strategis, bukan hanya di mata negara kawasan Timur Tengah, tapi juga negara-negara barat.
Sejarah telah mencatat bahwa Turki merupakan salah satu scenario maker bagi gerakan perubahan di sejumlah negara Timur Tengah. Runtuhnya rezim Khadafi boleh diklaim sebagai salah satu prestasi Turki yang notabenenya menjadi pimpinan operasi gabungan NATO di Libya. Pascalengsernya Hosni Mubarrak dari tampuk kekuasaan, telah memberikan peluang yang sangat besar bagi Turki untuk menempati posisi penting di Timur Tengah sebagai agresor politik baru menggantikan Mesir.
Di tengah hiruk pikuknya usaha negara-negara Barat yang berambisi menguasai kawasan Timur Tengah demi minyak bumi yang dikandungnya, Turki datang sebagai idola baru di kawasan tersebut. Melalui operasi gabungan NATO 2011 lalu, Turki berhasil menanam investasi politiknya di kawasan itu. Turki menjajal peruntungan untuk melaksanakan politik luar negerinya, yakni berambisi menjadi bagian dari Uni Eropa, sekaligus menjadi agresor di Timur Tengah. Upaya Turki untuk mencapai ekspektasinya itu, bukan sebatas wacana hampa semata.
Spirit mengembalikan masa kejayaan Osmani (Ottoman) memotivasi Turki memainkan manuver politik luar negerinya. Hasrat kuat Turki untuk menjadi bagian dari Uni Eropa didorong oleh keinginan yang kuat untuk mensejajarkan diri dengan negara-negara Uni Eropa yang mayoritas berkategori maju dapat dijadikan alasan mengapa spirit romantisme sejarah dijadikan agenda perjuangan politiknya. Turki memang memiliki prestasi yang luar biasa dalam melakukan pembenahan internal. Salah satu buktinya adalah berhasil menjadi negara yang tidak mengalami dampak dari krisis Eropa.
Meskipun spirit yang sangat kuat serta upaya keras telah dilakukan oleh Turki untuk mensejajarkan diri dengan negara-negara Uni Eropa, pengesahan Turki sebagai bagian dari Uni Eropa belum juga terlaksana. Sejumlah negara anggota Uni Eropa masih meragukan Turki mampu berbenah untuk mensejajarkan diri. Faktor perbedaan budaya dan agama samar-samar terdengar menjadi penyebabnya. Kendati Turki telah masuk sebagai anggota European Court of Human Rights (ECHR) dan mengantongi dukungan penuh dari rakyatnya untuk bergabung dengan Uni Eropa – hasil survei Harian Zaman (2011) – namun, ketuk palu tak kunjung dilakukan. Meski begitu, tidak membuat Turki menjadi negara ‘pengemis’. Turki masih berani menentukan sikap mengancam akan membekukan kerjasama apapun dengan Uni Eropa apabila Siprus – negara sengketa Turki dan Yunani – dinobatkan menjadi negara pemimpin Uni Eropa pada Juni 2012 ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, nama Turki memang kerap digadang sebagai negara modern di kawasannya. Manuver politik Turki terbilang cukup pesat seiring dengan perubahan dan pembenahan internalnya. Kemampuan Turki untuk melakukan upaya-upaya membangun hubungan diplomatispun tak ayal memperoleh respons baik, bukan hanya dari negara-negara sekawasan saja, melainkan juga dari negara-negara Barat seperti Amerika. Bukti konkret terjalinnya keharmonisan hubungan Amerika-Turki, Barack Obama menjadikan Turki sebagai negara Islam pertama yang dikunjungi setelah pelantikannya menjadi Presiden dan satu-satunya negara euro-asia yang dicantumkan secara khusus dalam kampanye Obama tahun 2007 dalam promosi kebijakan politik luar negeri [www.barackobama.com]. Amerika-Turki juga menjalin kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan, di antaranya melakukan operasi bersama dalam misi pemberantasan terorisme dan PKK di wilayah Turki bagian Timur. Sekali lagi, meskipun hubungan Amerika-Turki sudah sangat baik, tidak berarti bahwa Turki mudah didikte oleh siapapun. Penolakan keras Turki untuk mengharmonisasi hubungannya dengan Israel tetap dilakukan menyusul penyerangan kapal Mavi Marmara dalam misi kemanusiaannya ke Palestina pertengahan 2010 yang menyebabkan 9 orang tewas. Sikap tegas Turki bahkan hingga melakukan pengusiran terhadap Duta Besar Israel di Turki dan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Israel, termasuk menolak segala bentuk bantuan Israel bagi korban bencana gempa di Van.
Agresifitas politik luar negeri Turki tidak hanya berhenti pada agenda bergabung dalam Uni Eropa. Turki melakukan kerja politik lainnya guna melakukan balance of power. Turki melakukan upaya memperbaiki hubungan dengan Iran yang sempat memanas lantaran melayangkan protes terhadap perkembangan nuklir Iran yang diduga berdampak besar terhadap situasi geopolitik Timur Tengah. Belakangan, hubungan Turki-Iran berangsur membaik pasca-pernyataan resmi menteri luar negeri Ahmet Davuto?lu yang berjanji untuk tidak lagi mengintervensi program nuklir Iran. Di sisi lain, Turki memiliki prakarsa untuk menjadi aktor baru dalam perdamaian Palestina. Erdo?an mengindikasikannya melalui pernyataannya: “pengakuan Palestina sebagai sebuah Negara merdeka adalah satu-satunya solusi. Ini bukan pilihan tapi kewajiban. Mari kita semua sesegera mungkin bersama-sama mengibarkan bendera Palestina….Kita kibarkan bendera Palestina di Timur Tengah, agar ia menjadi simbol perdamaian dan keadilan.” Sikap Turki membuat Ismail Haniya – Perdana Menteri Otoritas Nasional Palestina – untuk terus menjaga hubungan baik dengan Turki. Dijadikannya Turki sebagai negara pertama yang dikunjungi pada awal Januari tahun 2012 ini.
Agresifitas politik luar negeri tidak hanya dijalankan oleh negara (state actor), lebih dari itu organisasi sosial dan pendidikan menjalankan kerja politik luar negeri yang tak kalah handalnya dengan negara (non state actor). Agregasi yayasan pendidikan Turki membawa masuk pelajar dari kawasan Afrika Utara, Afrika Tengah, Afrika Selatan, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara ke Turki dapat dibaca sebagai wujud investasi politik luar negeri Turki di masa depan. Gerakan Fethullah Gülen (Gerakan memadukan model modernitas keIslaman dan toleransi keberagaman dengan diilhami oleh ideologi Hizmet-pelayanan umat yang dibungkus dengan fedakarl?k-pengorbanan) berhasil mendirikan sekolah Turki di hampir 130 negara terbaca linier dengan politik luar negeri Turki. Bukan hanya itu, pemberian bantuan sosial kepada negara bagian Afrika dan Asia yang terkena bencana alam dan konflik sosial seperti di Somalia, Nigeria, Uganda, Rwanda, Pakistan, Bangladesh, Indonesia telah menjadi hal yang kerap terdengar dalam agenda-agenda kerja yayasan sosial di Turki.
Kepiawaian Turki memainkan politik luar negeri tidak terlepas dari ‘para aktor politik’-nya. Turki berhasil mengkombinasikan state actor dan non-state actor dalam melancarkan strategi politik luar negerinya. Akselerasi politik luar negeri Turki tersebut bisa jadi merupakan bentuk mewujudkan spirit imperium politik Turki Usmani Baru.
M Syauqillah
Penulis adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul dan Mahasiswa Program Doktoral Jurusan Ilmu Politik Institute Ilmu Sosial Universitas Marmara, Istanbul, Turki
sumber disini
Geopolitik dan Politik Luar Negeri Turki
Posted by hary wibowo on 14.25
0 komentar:
Posting Komentar