MASALAH TIMOR TIMUR DAN POLITIK LUAR NEGERI RI

Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.

Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.

Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.

Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), 

namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.

Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.
 
Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
I
nsiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, SebastiĆ£o Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.

Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
T
ayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.

Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.

Jajak Pendapat 1999
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.

Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.

Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.

Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami  karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.

Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.

Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.[1]

Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. 

Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.[2]
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.[3]

Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
T
anggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.

Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.

Analisis
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses disintegrasi seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan dinamika kondisi internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk menyesuaikan politik luar negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional. Situasi sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air juga menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri.  Gerakan separatis yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia harus dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur, terdapat upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya mengokohkan intervensi Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari induknya, Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta stabilitas nasional.

Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara untuk memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena, disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi teritorial. Penampakan garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional, seperti halnya yang terjadi pada Timor Timur.

Berbicara tentang Timor Leste saat ini tak bisa lepas dari Timor Timur yang pada masa lalu menjadi provinsi termuda Indonesia. Hal ini sebanding dengan wacana tentang Indonesia yang sebelumnya merupakan koloni Hindia Belanda. Apa yang disebut sebagai Indonesia sebenarnya hasil ciptaan abad ke-20 yang belum ada pada masa penjajahan selama 350 tahun sebagaimana sering diucapkan Bung Karno. Artinya, sebutan itu bukan merupakan warisan leluhur yang tak tergali dari ingatan, tetapi sebuah penemuan politis yang menandai bangkitnya kesadaran suatu bangsa. Dengan kata lain, Indonesia menjadi sebuah nama yang mengungkap rasa kebangsaan di antara sesama nasionalis pergerakan yang ingin lepas dari penaklukan koloni Hindia Belanda. Koloni itulah yang wilayah-wilayahnya sempat ditaklukkan Belanda tahun 1850- 1910 dan disebut Van Sabang tot Merauke.

Di bawah bayang-bayang sebutan itu, kemerdekaan RI diproklamasikan. Sayang, proklamasi yang menghasilkan NKRI itu justru dipermalukan oleh pengambilalihan dan pendudukan Timor Timur 30 tahun kemudian. Bahkan, nasionalisme Indonesia yang setengah abad sebelumnya dibela dengan sumpah tritunggal suci—bahasa, bangsa, dan tanah air—kian terdera akibat kekalahan telak dalam jajak pendapat di bawah PBB pada Agustus 1999.

Dengan real politik semacam ini, dasar lepasnya Timor Timur dari Indonesia hampir sama dengan pengintegrasian daerah tak bertuan ke NKRI. Pasalnya, keduanya diputuskan hanya karena ”belas kasihan” terhadap wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Barat. Dalam bahasa psikologi politik diistilahkan dengan ”hubungan benci tetapi rindu”. Di satu pihak, Timor Timur ”milik” Indonesia yang harus dipertahankan, di lain pihak, teritorial itu dipandang sebagai ”negeri asing” yang tidak mungkin dapat hidup tanpa ikatan dengan Indonesia.

Dalam hubungan paradoks itu, masuk akal jika ada ”gejolak psikologis” amat besar saat para milisi yang mendapat dukungan penuh dari Indonesia terusir secara tidak menyenangkan dari negeri sendiri. Begitu pula dengan ABRI yang—sambil menahan malu—tergusur pasukan internasional penjaga perdamaian yang dipimpin Negeri Kanguru. Agaknya, inilah akibat politik dan kemanusiaan yang lolos dari pengamatan banyak pihak, termasuk PBB, yang menghasilkan bukan hanya kekacauan emosi dan keteledoran intelegensi, tetapi tragedi yang mendera kedua bangsa hingga kini.

Tentu cukup dipahami, segala kejengkelan, bahkan amarah, yang terpendam terhadap Timor Leste, tidak mudah dihapus dari ingatan. Namun, dengan mudah melupakan begitu saja apa yang pernah terjadi di sana sama dengan membalikkan punggung atas aneka kekejaman. Lugasnya, Timor Leste tetap merupakan bagian sejarah Indonesia yang layak ditulis sebagai pelajaran untuk melawan lupa. Jika tidak, jangan heran bila masih akan ada banyak orang yang bersedia bukan hanya melenyapkan nyawa orang lain, tetapi merenggut nyawa sendiri dengan rela akan dikerjakan.
Source:
  • http://www.mabesad.mil.id/artikel/170706timor.htm
  • http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/11/16/brk,20081116-146219,id.html
  • Downer, Alexander (Menteri Luar Negeri Australia). 2000. East Timor – looking back on 1999, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
  • Richburg, Keith. 1999. Seven days in May that toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto’s fall
  • Aspinall, E., Van Klinken, G., Feith, H. (eds), The last days of President Suharto(Monash University: Monash Asia Institute,  hal.70.
  • http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument

1 komentar:

Mozes Adiguna mengatakan...

Dasar antek2 FRETILIN!!!
Baca nih blog saya : mozesadiguna2.blogspot.com.
Maka mata Anda akan terbuka.

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger