PENGERTIAN
Setiap entitas Negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, begitu pula Indonesia. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari politik luar negeri yang merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya.
Seperti yang telah kita ketahui, landasan konstitusional Indonesia adalah UUD 1945. Pasal-pasal UUD 1945 mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Sementara itu, Pancasila sebagai landasan idiil Indonesia berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Dan politik bebas aktif pun ditetapkan sebagai landasan operasional politik luar negeri Indonesia.
PRINSIP POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA
Sebagai sebuah landasan operasional, politik luar negeri Indonesia (PLNRI) yang bebas aktif pun senantiasa berubah sesuai kepentingan nasional. Misalnya selama masa orde lama, PLNRI yang sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno tersebut masih menekankan kebijakan hidup bertetangga dengan negara-negara kawasan, tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada piagam PBB[1].
Pada masa Orba, landasan operasional PLNRI semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya: Ketetapan MPRS no.XII/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966, Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, Petunjuk Presiden 11 April 1973, Petunjuk bulanan Presiden sebagai ketua Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan, serta Keputusan-Keputusan Menteri Luar Negeri. Jika dulu Soekarno mendengung-dengungkan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, maka Soeharto memfokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerja sama dengan dunia internasional. Perbedaan ini seiring dengan pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharo.
Pasca-Orde Baru terjadi perubahan pemerintahan secara cepat mulai dari B.J. Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya dua kabinet yang memerintah pasca-Orde Baru ini saling substansif dalam landasan luar negerinya. Pertama adalah Kabinet Gotong Royong (2001-2004) yang mengoperasionalkan PLNRI melalui: Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 yang menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi krisis ekonomi dan krisis nasional pada tahun 1997, UU no.37 tahun 1999 tentang pengaturan aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri, UU No.24 tentang Perjanjian Internasional yang menekankan pada pentingnya penciptaan suatu kepastian hukum dalam perjanjian internasional, dan perubahan UUD 1945 pada beberapa pasal.
Kabinet selanjutnya adalah Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Kabinet ini meletakkan landasan operasional PLNRI pada tiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM), yang isinya: pertama, pemantapan PLNRI dan optimalisasi diplomasi Indonesia; kedua, peningkatan kerjasama internasional; ketiga, penegasan komitmen perdamaian dunia.
PRINSIP PLNRI
Kemerdekaan yang telah diperoleh tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat. Namun upaya Indonesia untuk mencari pengakuan internasional tampaknya tidak didukung oleh perkembangan politik internasional yang tengah terjadi saat itu. Perang Dunia II telah menjadikan situasi persaingan tajam antara blok barat dan timur. Namun pemimpin Indonesia saat itu menunjukkan sikap dan orientasi politik luar negerinya yang independen. Indonesia berpendapat bahwa timbulnya blok-blok raksasa di dunia ini dengan persekutuan-persekutuan militernya tidak akan menciptakan perdamaian, malah sebaiknya akan merupakan benih-benih ancaman terhadap perdamaian.[2]
Pendapat tersebut memuat dasar prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Menurut Hatta, politik “Bebas” berarti Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan memilih jalan sendiri untuk mengatasi persoalan interasional. Istilah “Aktif” berarti upaya untuk bekerja lebih giat guna menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan kedua blok.[3] Dalam arti yang lebih luas, bebas berarti menunjukkan tingginya nasionalisme dan menolak keterlibatan atau ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia.[4] Karena itu sikap Indonesia kerap disebut netral, tidak memihak kedua blok. Aspek ini kemudian dikenal dengan non-alignment policy. Prinsip non blok ini kemudian menjiwai beberapa Negara Asia dan Afrika. Kesadaran itulah yang mendorong terselenggaranya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung.
KESIMPULAN
Dalam setiap periode kepemimpian nulai dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat warisan mengenai faktor-faktor domestik yang paling menonjol saat itu. Misalkan pada kepemimpian Soeharto (1966-1998), PLNRI lebih fokus pada kondisi ekonomi dan kepemimpinan politik atau persepsi elit. Hal tersebut karena Soeharto mewarisi kebobrokan ekonomi di masa Soekarno. Sementara di era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang), sifat dari tatanan politik dalam negeri adalah tentang perguliran proses demokrasi.
PENDAPAT
Roeslan Abdulgani menyatakan bahwa PLN dari tiap-tiap Negara adalah lanjutan dan merupakan refleksi dari politik dalam negeri.[5] Saya sependapat dengan hal tersebut. Menurut pendapat saya PLN suatu negara sebenarnya merupakan perpaduan antara kepentingan nasional, tujuan nasional bangsa, kedudukan atau konfigurasi geopolitik dan sejarah nasionalnya, dipengaruhi oleh faktor domestik (internal) dan faktor faktor internasional (eksternal). Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan suatu upaya untuk mempertemukan kepentingan nasioal dengan perkembangan dan perubahan lingkungan internasional. Sekian.
SUMBER:
- Alami, Athiqah. Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia. Hlm. 27-54
- Abdulgani, Ruslan.1988.Sejarah Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Departemen Luar Negeri & UGM.
[1] Hal ini dapat kita lihat pada Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945, pidato kepresidenan 17 Agustus 1960 (Jarek), dan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961 [2] Abdulgani,Mendayung dalam…, hlm.10.
[3] Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang, Cet. Pertama, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, hlm. 17.
[4] Dewi Fortuna Anwar, “Hatta dan
[5] Abdulgani, Mendayung dalam…, hlm. 11.
0 komentar:
Posting Komentar