Dalam segi internasional, Indonesia mengadakan hubungan dengan hampir semua negara di dunia dan dengan berbagai lembaga internasional yang penting. Di antara itu semua dapat dikatakan bahwa pada waktu ini Indonesia juga mengadakan hubungan dengan negara – negara besar seperti Amerika dan Cina.
Hubungan antara Indonesia dan Amerika adalah satu hal yang amat penting, baik bagi Indonesia maupun Amerika. Berbagai faktor menunjukkan, seperti faktor geostrategi dan faktor ekonomi, bahwa kedua negara berkepentingan memelihara hubungan yang baik dan lancar. Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat pada umumnya hangat dan ramah setelah pembentukan Orde Baru pada masa pemerintahan presiden Soeharto. Pada tahun 1991 perdagangan Amerika Serikat dengan Indonesia lebih besar daripada perdagangan dengan seluruh Eropa Timur. Meskipun mengaku nonalignment, Indonesia juga mengakui pentingnya kehadiran militer dan politik Amerika Serikat di Asia Tenggara dalam menjaga keseimbangan daerah kekuasaan. Amerika Serikat dilihat Indonesia sebagai landasan keamanan regional di Asia Tenggara dan mitra dagang utama.
Di sisi lain, hubungan bilateral Indonesia dengan Cina juga terus ditingkatkan mengingat posisi geografis dan politik negara dengan penduduk terbesar itu yang sangat strategis dan penting, di mana Cina juga merupakan salah satu negara besar di Asia. Indonesia dan Cina mendirikan hubungan diplomatik pada 13 April 1950. Hubungan bilateral mereka dikembangkan secara bertahap sejak dimulainya kembali hubungan diplomatik kedua negara. Sejak hubungan dirintis 1990 lalu, kedua negara memiliki hubungan emosional yang tinggi sehingga peningkatan kerjasama di berbagai bidang tidak bisa dihindari. Kedua negara saling percaya dan mendukung secara politis, di mana hal ini dapat dilihat dari segi ekonomi dan perdagangan, serta mengutamakan koordinasi dan kerja sama dalam permasalahan dalam maupun luar negeri. Fakta menunjukkan bahwa pengembangan hubungan Tiongkok-Indonesia adalah untuk kepentingan mendasar kedua negara dan bangsa tersebut, serta dapat bersifat kondusif untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran kawasan dan dunia secara keseluruhan.
Indonesia-Cina
Hubungan Indonesia-RRC mencapai masa paling harmonis ketika masa pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, setelah itu pemerintahan Presiden Soeharto memutuskan hubungan diplomatik kedua negara pada 1967, meskipun kemudian hubungan diplomatik tersebut kembali dihidupkan pada 1990. Sejak pergantian presiden pada 1998, hubungan kedua negara berangsur semakin membaik. Terutama setelah dicabutnya sejumlah larangan praktek tradisi Cina oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Jika dilihat dari jumlah penduduk dan luas wilayah, RRC merupakan negara terbesar di Asia. Jumlah penduduk yang besar menawarkan potensi pasar yang cukup luas. Negara tersebut juga dikenal kuat dalam bidang industri, perdagangan, dan keuangan. RRC telah mengalami transformasi besar pada dekade terakhir ini. Meskipun mayoritas dari 1,2 miliar penduduknya masih hidup dalam kemiskinan, RRC berada dalam langkahnya menjadi kekuatan ekonomi dunia terbesar. Maka, sangat penting bagi Indonesia untuk menjalin hubungan baik dengan RRC.
Naiknya Megawati ke kursi kepresidenan juga membawa upaya ke arah peningkatan hubungan kedua negara dengan lebih baik. Mulai dari pertemuan antara Presiden RRC Jiang Zemin dan Megawati pada pertemuan OPEC di Shanghai pada Oktober 2001 hingga menyusul kunjungan Perdana Menteri RRC Zhu Rongji ke Jakarta pada November 2001. Dalam kunjungan tersebut, dicapai banyak kemajuan baru dalam kerja sama kedua negara dalam berbagai bidang. Perkembangan besar terakhir dalam hubungan kedua negara tentunya adalah kunjungan Presiden Megawati ke RRC pada 24 hingga 27 Maret 2002 lalu. Dalam kesempatan itu, pemerintah Indonesia dan RRC sepakat untuk meningkatkan kerja sama politik dan ekonomi. Kesepakatan yang dicapai antara lain adalah pembukaan konsulat jenderal baru di sejumlah kota, baik di RRC maupun di Indonesia, dan pembentukan forum energi antara kedua negara. Presiden Megawati sendiri sangat optimis akan keberhasilan kunjungannya ini, dan menyatakan keyakinannya akan tindak lanjut dari sejumlah memorandum kerja sama yang telah dihasilkan selama kunjungannya tersebut.
Di era kepemimpinan Presiden SBY, beberapa Memorandum Of Understanding
(MoU) ditandatangani oleh pimpinan kedua negara (RI dan RRC). Cukup banyak nota kesepakatan berkenaan dengan pengembangan ekonomi, budaya serta pendidikan, yang telah disepahami oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ekonomi, ditingkatkannya volume target perdagangan kedua negara, dari U$ 20 miliar pada tahun 2008, menjadi U$ 30 miliar pada tahun 2010, menghembuskan angin segar bagi hubungan perniagaan langsung antara kedua negara.
Pasca kunjungan kenegaraan Presiden SBY pada 27 Juli lalu, Indonesiapun berkesempatan untuk mempelajari keberhasilan RRC, dalam mengentaskan kebiasaan korupsi yang sebelumnya begitu merasuki masyarakat dan kalangan aparatur di sana. Yang menarik, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah RRC dalam mengentaskan kebiasaan korupsi itu adalah melalui culture approaching, pun punishment atau hukuman yang keras terhadap para pelaku korupsi. Selain penegakan hukum dan budaya bangsa yang begitu dijunjung tinggi oleh rakyat Cina, pendidikanpun menjadi sektor vital yang tak lepas dari perhatian pemerintahnya.
Bagaimanapun Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina ( RRC) merupakan suatu negara yang cukup besar dan cukup berpengaruh di Asia, karena kedua negara mempunyai pandangan yang sama dan saling memberikan dukungan difora internasional. Selain itu juga mempunyai komitmen yang sama khususnya untuk menciptakan stabilitas keamanan yang baik di kawasan Asia.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) H. Matori Abdul Djalil, Rabu (18/9/2009) saat menerima kunjungan kehormatan Menteri Pertahanan Nasional Republik Rakyat Cina (Menhannas RRC) Jenderal Chi Haotian, di Departemen Pertahanan RI Jl. Merdeka Barat 13-14 Jakarta Pusat. Pada kunjungan tersebut Menhan RRC disambut dengan upacara jajar kehormatan militer. Pertemuan berlangsung selama 30 menit tersebut, selain dibicarakan masalah stabilitas di kawasan Asia, juga dibicarakan berbagai hal antara lain hubungan dan kerjasama antara RRC dan Republik Indonesia khususnya dibidang pertahanan kedua negara yang selama ini telah terjalin dengan baik. (Sumber: Biro Humas Setjen Dephan)
Kerjasama di bidang pertahanan antara Indonesia dan RRC diwujudkan dengan cara kunjungan pejabat tinggi militer, siswa Lemhannas dan Sesko TNI ke Cina dan kunjungan pejabat militer Cina ke Indonesia. Sedangkan kerjasama dibidang pendidikan sejak tahun 2001 Indonesia telah mengirimkan dua orang perwira untuk mengikuti kursus Bahasa Cina ke RRC.
Indonesia-Amerika Serikat
Dalam keadaan internasional itu Indonesia mengadakan hubungan dengan hampir semua negara di dunia dan dengan berbagai lembaga internasional yang penting, salah satunya adalah Amerika Serikat. Hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa AS adalah negara dengan kekuasaan besar dan bahkan menjadi satu-satunya adikuasa.
Hubungan Indonesia – AS cukup kompleks. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor, baik yang bersumber dari hakikat dan sifat Indonesia sebagai Negara-bangsa maupun sifat dan perkembangan AS sebagai Negara-bangsa.
Ketika belum merdeka bangsa Indonesia pada umumnya mempunyai pandangan amat positif terhadap Amerika. Itu disebabkan oleh banyak hal, antara lain karena AS dianggap bukan negara penjajah seperti Belanda yang menjajah Indonesia. AS juga dinilai positif karena orang Indonesia mendengar atau membaca betapa di AS banyak peluang untuk maju bagi semua orang. Banyak yang mengetahui cerita tentang orang-orang Eropa yang meninggalkan tanah asalnya untuk membuat kehidupan yang lebih baik di Amerika. Juga kenyataan bahwa AS adalah negara yang kuat dan kaya turut membangun citra positif dalam pikiran orang Indonesia terhadap Amerika.
Namun dalam masa pendudukan tentara Jepang atas Indonesia dalam Perang Dunia 2 Bung Karno sering berpidato yang kurang positif terhadap AS. Hal itu antara lain keluar dalam seruan yang cukup sering diucapkannya, yaitu Amerika Kita Seterika, Inggris Kita Linggis!. Akan tetapi seruan demikian lebih banyak karena usaha Bung Karno untuk mengamankan bangsa Indonesia dari tindakan dan perlakuan Jepang yang kejam. Itu sebabnya Indonesia setuju ketika pimpinan Komisi Tiga Negara yang bertugas menengahi konflik Indonesia-Belanda dipegang oleh AS, dengan Australia dan Belgia sebagai anggota Komisi lainnya. Namun pandangan positif bangsa Indonesia terhadap Amerika tidak sepenuhnya terbalas oleh sikap serta penilaian serupa dari Amerika terhadap Indonesia.
Dalam masa perang dingin Indonesia telah menentukan untuk menganut politik luar negeri yang bebas-aktif. Itu berarti bahwa Indonesia tidak berpihak kepada blok Barat maupun blok Komunis, tetapi mengambil sikap sama jauh dengan landasan kepentingan nasional. Sudah tentu sikap Indonesia itu tidak disenangi AS maupun Uni Soviet, terutama karena posisi geopolitik dan geostrategi negara Indonesia Itu merupakan alasan kuat bagi AS untuk lebih memihak Belanda sebagai anggota blok Barat dari pada mendukung Indonesia yang bersifat netral.
Dalam perkembangan selanjutnya hubungan Indonesia-AS tidak menjadi lebih mudah. Perang Dingin makin menguat sedangkan Indonesia telah menetapkan diri sebagai negara non-blok yang menganut politik luar negeri bebas-aktif. Bagi AS sikap non-blok (non-alignment) dinilai amoral, sebagaimana dinyatakan John Foster Dulles, menteri luar negeri AS pada tahun 1950-an. Mengingat pentingnya Indonesia dalam konstelasi internasional, baik karena jumlah penduduknya yang besar (pada tahun 1950-an sudah sekitar 150 juta orang), banyaknya sumberdaya alam yang dikandung buminya maupun karena berada di posisi silang yang amat strategis antara dua samudera dan dua benua, maka blok Barat dan khususnya AS berkepentingan Indonesia berada di pihaknya menghadapi blok Komunis.
Hubungan Indonesia dengan AS mengalami perubahan positif ketika pada tahun 1965 Indonesia dapat mengalahkan pemberontakan komunis kedua dan mengakhiri riwayat Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar negara komunis. Meskipun selalu ada insinuasi, baik dari pihak pendukung PKI maupun dari AS sendiri, bahwa tindakan Indonesia itu merupakan hasil dari pengaruh AS, namun dalam kenyataan Indonesia telah bertindak sepenuhnya karena kehendak sendiri untuk menyelamatkan kepentingan nasionalnya. Namun demikian, Indonesia tetap negara non-blok dengan politik luar negeri bebas aktif.
Kemenangan AS dalam perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet membawa AS pada ambisi untuk memimpin Dunia atau malahan menjadi satu Empire yang menguasai dunia. Sikapnya terhadap dunia makin keras untuk mengikuti kehendaknya. Kalau sebelumnya AS berhati-hati sikapnya terhadap negara lain, khususnya non-blok, karena khawatir negara itu berpihak kepada blok Komunis, setelah kemenangannya AS tidak perlu lagi khawatir dan dapat mengambil sikap keras sesuai kepentingannya. Perubahan sikap AS itu mau tidak mau juga berpengaruh terhadap hubungannya dengan Indonesia. Tidak mungkin kepentingan AS yang cenderung kepada perwujudan hegemoni dunia, akan terus sama atau sejajar dengan Indonesia yang menganut politik bebas aktif. Sebab itu dalam periode tahun 1990-an makin nampak bahwa AS kurang menyukai perkembangan Indonesia dan berusaha mempengaruhi terjadinya perubahan sesuai dengan kepentingannya.
Itu terbukti ketika Indonesia mengalami Krisis Moneter pada tahun 1997. IMF yang boleh dikatakan dikendalikan pemerintah AS bukannya membantu Indonesia mengatasi masalahnya. Sebaliknya banyak keputusan IMF malahan makin mempersulit Indonesia, sebagaiman juga dikatakan oleh pengamat internasional. Malahan ada yang mengatakan bahwa mungkin saja krisis ekonomi di Asia Timur diciptakan AS demi kepentingannnya. Akibatnya terjadi kegagalan ekonomi kepemimpinan Soeharto pada tahun 1998. Maka Indonesia tidak hanya diliputi krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik.
Maka terbuka peluang yang lebar bagi AS untuk mewujudkan kehendaknya, yaitu mempengaruhi perkembangan di Indonesia sesuai dengan kepentingannya.
Sikap Amerika terhadap Indonesia makin tajam ketika negara itu mengalami serangan pada 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon, sedangkan penyerangnya adalah teroris Islam yang bergabung dalam organisasi Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden. Meskipun Indonesia menyatakan dukungannya kepada AS yang kemudian melancarkan War on Terrorism, namun hubungan menjadi makin sulit. Hal itu terutama disebabkan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia dan telah terjadi perkembangan yang kurang baik pada sementara warga Muslim Indonesia. Ternyata telah terbentuk organisasi Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara yang melibatkan warga Msulim Indonesia, baik sebagai pimpinan maupun anggota. Dan nyata sekali bahwa ada hubungan dekat antara Jemaah Islamiyah dan Al Qaeda.
Analisis
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu hal terpenting dalam peningkatan hubungan antardua negara adalah kerja sama ekonomi. RRC bersama Korea Selatan dan Jepang sejauh ini merupakan tiga negara di Asia dengan perekonomian yang besar dan kuat. Hal ini juga yang menjadi salah satu basis pembentukan kerja sama yang lebih luas dalam ASEAN, yaitu yang disebut dengan ASEAN+3. Serta AS sebagai basis pembentukan kerjasama yang lebih luas dari ASEAN+3, yakni masyarakat internasional.
Maka, di tengah kondisi internal negara seperti sekarang ini, ada baiknya Indonesia meningkatkan hubungannya dengan negara-negara kuat di dunia. Hubungan atas dasar saling menghormati kedaulatan masing-masing. Semakin baik pula bila hubungan bilateral itu dapat dikembangkan dalam konteks kawasan, selama itu dapat mendukung politik luar negeri Indonesia.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu secara bijaksana mengantisipasi setiap perubahan global yang terjadi dengan pesat. Dari situ, Indonesia dapat memetik banyak pelajaran berharga. Misalnya dari RRC, terutama bagaimana negara tersebut seakan kebal menghadapi badai internasional setelah peristiwa 11 September, dan terus tumbuh menjadi salah satu negara paling berpengaruh di dunia.
Meski demikian, Indonesia tidak diperbolehkan meninggalkan prinsip kehati-hatian dalam politik luar negerinya, karena jelas baik RRC mapun AS juga memiliki motivasinya sendiri dalam menjalin hubungan baik dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Seperti yang terungkap di KTT ASEAN lalu, RRC gencar mempromosikan dibukanya suatu koridor perdagangan dengan Asia Tenggara, dengan kata lain menerima RRC sebagai bagian dari kawasan perdagangan bebas. Usulan tersebut memang dapat menjadi kesempatan besar bagi ASEAN untuk memulihkan perekonomian yang tengah lesu, karena pembukaan hubungan itu akan membuka jalan pada 2 miliar konsumen Cina dan perdagangan dua arah yang bernilai sangat besar. Tetapi di sisi lain, terdapat ancaman dari usulan RRC ini, karena dikhawatirkan aliran produk dari RRC akan mengancam industri ASEAN. Dan juga dikhawatirkan RRC memiliki motivasi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari ASEAN melalui koridor perdagangan tersebut. Maupun bagaimana menanggapi isu demokrasi AS. Andai kata pemerintah Indonesia dipimpin secara kuat dan efektif, mungkin sekali persoalan dapat lebih dibatasi. Akan tetapi Reformasi yang tidak kunjung menghasilkan kepemimpinan efektif dan kuat akan berpengaruh sekali terhadap perkembangan bangsa yang membawa kemajuan bagi rakyat. Sebab sebenarnya pihak AS tidak berkurang usahanya untuk mewujudkan maksudnya, yaitu membentuk hegemoni di dunia. Hanya Indonesia yang kuat dan mantap yang dapat memelihara hubungan yang harmonis dengan AS, karena negara itu mau tidak mau harus mengakui kekuatan dan kemantapan Indonesia dan terpaksa menyesuaikan diri pada kenyataan bahwa Indonesia kuat.
Sumber
- Koran Tempo, April 1, 2002
- http://www.pelita.or.id/baca.php?id=11822 (diakses 17 november 2009)
- http://www.antara.co.id/print/?i=1188469808 (diakses tanggal 17 november 2009)
- http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=4788 (diakses tanggal 17 november 2009)
0 komentar:
Posting Komentar