Abstract:
Discussing Japan military after World War II (WW II) is always interesting because at one side there is assumption considered that after WW II until present, Japan changed from military state to non-military state and concluded that it has no military forces and become pacifist state. On the contrary, there is assumption that argued the earlier by showing facts Japan has already built its military forces. Actually, Japan had been started its military buildup after signing Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America in 1951. This article is going to show that The Japan-US security cooperation has a significant influence in every step of Japan military buildup until present day.
Pendahuluan
Sistem pertahanan dan keamanan Jepang mengalami perubahan besar pada tahun 1945 atau di akhir Perang Dunia II (PD II). Jepang berubah total dari salah satu negara adidaya menjadi tidak memiliki kekuatan militer sama sekali untuk sistem pertahanannya, bahkan tidak memiliki polisi di dalam negeri. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena termasuk unik, yaitu ada negara tanpa militer. Pertahanannya sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat. Padahal secara de facto dan de jure, Jepang adalah negara merdeka.
Secara teoritis, negara merdeka bebas menentukan seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional primernya, termasuk dalam hal ini kebijakan yang menyangkut pertahanan keamanan, tanpa campur tangan negara lain. Namun yang terjadi dengan Jepang adalah sesuatu yang di luar kebiasaan umum, karena sejak 1950-an yaitu ketika pendudukan sekutu terhadap Jepang telah berakhir, Jepang tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, terutama dalam penentuan kebijakan pertahanan keamanan.
Selain negara merdeka, dewasa ini Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki perekenomian termaju di dunia. Namun, kemajuan ekonomi tersebut tidak diikuti oleh pembangunan militer sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Prosentase dari Gross National Product (GNP) untuk anggaran pertahanannya adalah paling kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya seperti Jerman, Inggris, Prancis bahkan dari negara-negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Anggaran pertahanannya tidak pernah lebih dari1% dari GNP sampai tahun 1984 .
Tulisan ini akan menjelaskan tentang kebangkitan militer Jepang setelah Perang Dunia. Tema ini menarik karena, pendapat banyak pengamat yang mengatakan bahwa Jepang bukanlah negara normal dalam arti tidak memiliki militer, tidaklah benar karena pada dasarnya Jepang telah memulai pembangunan militernya sejak tahun 1951. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa pembangunan militer Jepang tersebut dilakukan karena pengaruh besar dari AS yaitu melalui instrumen Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS tahun 1951.
Negara Tanpa Militer
Keadaan Jepang yang tidak memiliki militer mandiri, berawal dari kekalahan Jepang dalam PD II yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian penyerahahan diri Jepang pada Sekutu, yang tertuang dalam potsdam declaration pada tanggal 26 Agustus 1945. Akibatnya Jepang harus menerima kenyataan bahwa kekuatan militer yang pernah dibanggakan harus dilucuti pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara-tentara Amerika Serikat . Amerika Serikat mengambil alih sistem pemerintahan Jepang dan harus tunduk di bawah sistemnya, dan juga harus mengakui Jenderal Angkatan Laut Amerika Serikat, Douglas MacArthur sebagai komandan tertinggi kekuatan sekutu Pasifik , selaku officer pendudukan di Jepang.
Demi keamanan dunia, Sekutu juga melakukan perubahan terhadap konstitusi Jepang, yang mengisyaratkan agar Jepang tidak lagi mengembangkan kekuatan militer di kemudian hari. Konstitusi baru tersebut menetapkan tiga prinsip dasar yang salah satunya menegaskan tentang sikap negara Jepang yang cinta damai. Untuk melaksanakan prinsip tersebut, pada artikel 9 Konstitusi 1947, secara tegas disebutkan tentang pelarangan penggunaan militer ke luar negeri berdasarkan keputusan sendiri.
Untuk menjaga keamanan wilayahnya, khususnya terhadap serangan dari luar, Jepang dipaksa mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Aliansi keamanan tersebut dituangkan dalam The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku mulai bulan April 1952. Selain alasan keamanan Jepang, aliansi tersebut juga dilatarbelakangi keinginan Sekutu untuk mempertahankan keberadaannya dikawasan Asia, khususnya di Asia Timur, karena pendudukan sekutu akan berakhir pada tahun 1952. Amerika Serikat berkepentingan untuk menjaga agar pengaruh komunis tidak meluas ke negara-negara Asia Pasifik khususnya di kawasan Asia Timur.
Perjanjian tersebut mewajibkan Jepang untuk mengorbankan semua wilayah yang didudukinya sejak 1895, serta memasukkan Jepang ke dalam sistem keamanan Amerika Serikat. Amerika Serikat menandatangani perjanjian berikutnya dengan Jepang pada tahun 1954 yang isinya adalah menyediakan perlengkapan-perlengkapan, alat-alat, dan lainnya bagi Jepang. Sebaliknya Jepang menyediakan basis-basis militer dan alat-alat yang diperlukan oleh Amerika Serikat . Perjanjian tersebut adalah awal dimulainya babak baru negara Jepang yang tidak mempunyai militer, pertahanan dan keamanan sendiri.
Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan . Sebagai hasilnya pada tahun 1969 hingga 1981 rata-rata pertumbuhan tahunan Gross National Product (GNP) per kapita Jepang 3,3 kali lebih besar ketimbang rata-rata gabungan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat. (Pertumbuhan ini menurun ke tingkat yang sama dengan negara-negara tersebut akibat resesi tahun 1981-1983). Dalam GNP (dibandingkan dengan GNP per kapita), produktifitas Jepang meningkat 12 kali lipat antara tahun 1950 hingga 1976, sementara GNP Amerika Serikat hanya meningkat 2,3 kali lipat, dan negara-negara Eropa Barat meningkat tiga kali lipat. Selain itu, kemantapan neraca pembayaran dan perdagangan berkat kebangkitan yang luar biasa selepas PD II memungkinkan yen Jepang bersaing dengan mark Jerman sebagai mata uang yang paling bernilai dan disukai di dunia. Dalam segala bidang, kecuali kekuatan militer, Jepang sudah menjadi kekuatan utama selama satu setengah dekade .
Pesatnya perkembangan ekonomi tersebut, tidak mendorong Jepang terlibat aktif secara langsung dalam penataan stabilitas dan keamanan internasional. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak wajar, karena Jepang merupakan negara yang paling berkepentingan terhadap terciptanya stabilitas dan keamanan internasional karena Jepang adalah salah satu negara industri yang menggantungkan ekonominya pada perdagangan internasional, sehingga sangat tergantung pada keamanan jalur-jalur pelayaran, penerbangan, serta jalur-jalur transportasi internasional lainnya. Atas dasar itu maka peran Jepang secara langsung pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka menentukan aman atau tidaknya pasokan minyak, bahan mentah, serta ekspor hasil-hasil industri Jepang.
Selama ini keterlibatan Jepang dalam penataan keamanan internasional diwakili oleh Amerika Serikat. Sedangkan keterlibatan Jepang hanya secara tidak langsung yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang menekankan pendekatan-pendekatan dan kepentingan ekonomi. Jepang menggunakan kemampuan ekonominya sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yaitu melalui pemberian bantuan ekonomi.
Bantuan ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid), konsep ini merujuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanan dan straegis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to maintenance of the peace and stability of the world. Karena itu aktifitas ekonomi Jepang tidak semata-mata bersifat ekonomis , melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menyumbang stabilitas dan keamanan internasional. Perkembangan terakhir di mana pemerintah Jepang mengusulkan agar Official Develovment Assistance (ODA) diberikan dengan mempertimbangkan tingkat belanja militer pada negara sasaran, menunjukkan dimensi politik dan keamanan kebijaksanaan ekonomi Jepang terhadap negara-negara penerima .
Kerja Sama Keamanan Jepang AS dan Dinamika Kebangkitan Militer Jepang
Adanya ketentuan bahwa pasukannya sudah harus ditarik dari Jepang pada 1952, menyebabkan Amerika Serikat mengambil keputusan untuk memberikan jaminan keamanan kepada Jepang. Amerika Serikat tetap mempertahankan pasukannya di Jepang, karena dalam pandangan Amerika Serikat sangat berbahaya meninggalkan Jepang dalam keadaan tanpa militer. Sementara pada saat yang sama peneyebaran komunisme sudah sampai ke Cina. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Sino-Soviet Treaty of Friendship, Alliance and Mutual Assistance, pada tanggal 14 Februari 1950. Hal ini akan memudahkan Uni Soviet untuk menganeksasi Jepang, seperti halnya Korea Utara. Penegasan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan militernya di Jepang dapat dilihat dalam pidato Sekretaris Negara Dean Acheson di depan National Press Club pada 12 Januari 1950:
“The defeat and disarmament of Japan have placed upon United States the necessity of assuming the military defense of Japan so long as that is required, both in the interest of our security and in the interest of the security of the entire Pacific area and, in all honor, in the interest of Japanese security…I can assure you that there is no intention of any sort of abandoning or weakening the defense of Japan…that defense must and shall be maintained.”
Berdasarkan pemikiran tersebut maka satu-satunya cara untuk membendung penyebaran komunisme adalah dengan tetap “menduduki” Jepang. Seperti digambarkan dalam kebijakan Containment Strategy Amerika Serikat, yang digariskan pertama kali dalam “Doktrin Truman” oleh Presiden Harry Truman pada tahun 1947. Inti dari strategi Amerika Serikat tersebut adalah:
“menahan ekspansi komunisme dan Uni Soviet dengan kekuatan militer, nuklir dan konvensional; memberi bantuan ekonomi dan militer kepada negara-negara sekutu dan negara-negara sahabat lainnya yang bersedia membantu mencegah ekspasi Uni Soviet itu; dan mendorong meluasnya sistem pemerintahan yang demokratis. Dan kaitannya dengan Jepang Amerika Serikat ingin menjadikan Jepang sebagai benteng pertahanan (bulkwark) melawan potensi ancaman agresi komunis di Northeast Asia”.
Doktrin Truman menggariskan instrumen dasar terbentuknya aliansi Amerika Serikat-Jepang adalah dengan memberikan jaminan militer dan bantuan ekonomi terhadap negara-negara yang rentan terhadap bahaya ekspansi komunis. Atas dasar kebijakan itu Amerika Serikat telah memberikan dua bantuan kepada Jepang. Pertama adalah bantuan militer, yaitu dengan berjanji tidak menarik pasukannya dari Jepang setelah masa pendudukan. Sehinga Jepang tidak perlu membangun militernya, karena sudah menjadi sekutu Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat hal ini akan memberikannya keleluasaan untuk mengawasi gerak-gerik Uni Soviet, karena letaknya yang berdekatan dengan Jepang, bahkan pangkalan militer terbesar Uni Soviet Vladivostok berjarak sangat dekat dengan kepulauan Utara Jepang.
Kedua adalah bantuan ekonomi, Amerika Serikat menginginkan Jepang untuk memperkuat ekonominya sebagai bagian dari cara untuk membendung komunisme, karena dalam pandangan Amerika Serikat komunisme tidak akan berkembang di negara yang perekonomiannya maju. Seperti dikatakan oleh Kennan Pada bulan Februari1948, sebelum berangkat ke Tokyo,
“…we device policies toward Japan which assure the security of that country from Communist Soviet Union and would permits Japan’s economic potential to become once again an important force in the affairs of the area, conducive to peace and stability.”
Implementasi aliansi keamanan Amerika Serikat-Jepang tercantum di dalam Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang atau yang dikenal dengan The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security. Perjanjian keamanan itu ditandatangani oleh Jepang di Sanfrancisco pada tanggal 8 September 1951 dan mulai berlaku pada bulan 28 April tahun yang sama.
Perjanjian menyatakan bahwa Amerika Serikat dapat menempatkan pasukannya di Jepang (mempunyai pangkalan militer) untuk melindungi Jepang dan untuk perdamaian internasional di kawasan Timur Jauh. Perjanjian juga menjelaskan tentang kekuatan militer Jepang adalah defensif dan pasukan militer Amerika Serikat akan melindungi seluruh wilayah Jepang.
Dengan Prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam Perjajian Keamanan itu, Amerika Serikat telah menentukan format perkembangan militer Jepang masa depan. Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan militer Jepang sesuai dengan isi perjanjian keamanan Jepang-Amerika Serikat.
1. Pada pembukaan perjanjian adannya pengakuan atas hak-hak Jepang untuk melindungi diri sendiri dan hak untuk memasuki pakta keamanan bersama “collective security”.
2. Pembukaan memperlihatkan adanya keingian atau kesediaan Amerika Serikat untuk menjaga kekuatan militernya di Jepang, dengan harapan bahwa dalam kurun waktu itu Jepang akan melaksanakan kewajibannya terhadap pertahannnya sendiri, dengan menghindari persenjataan yang bersifat ofensif atau menjadi ancaman bagi pihak lain, dan harus lebih ditujukan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang ada dalam piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekuatan militer Amerika Serikat di Jepang bisa digunakan atas permintaan pemeintah Jepang untuk memadamkan kerusuhan dalam negeri serta untuk mengatasi ancaman dari luar.
Amerika Serikat melaksanakan poin-poin tersebut sampai pada titik di mana Jepang hanyalah sebuah negara yang harus selalu tergantung padanya. Pernyataan pada nomer satu seperti terlihat sama sekali jauh dari kenyataan. Hak Jepang untuk mempertahankan diri, bagi Amerika Serikat adalah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat di Jepang untuk menjamin keamanan Jepang. Ketentuan tersebut sama sekali tidak melibatkan kemampuan militer Jepang yang memang tidak ada. Ketentuan bahwa Jepang juga berhak untuk memasuki collective securirty, tidak mungkin dilaksanakan, karena adanya larangan dalam konstitusi 1947, artikel 9. Bagaimana mungkin Jepang akan bergabung dalam pertahanan kolektif sementara ia tidak boleh mengirim pasukannya ke luar negeri. Sementara seperti diketahui konstitusi 1947 adalah hasil paksaan Amerika Serikat terhadap Jepang.
Menyikapi kenyataan tersebut Amerika Serikat menegaskan bahwa dengan keberadaan pasukannya di Jepang, segala kelemahan Jepang dapat diatasi. Hal ini berarti telah menanamkan pemikiran dan anggapan pada masyarakat Jepang bahwa untuk apa memiliki militer jika sudah ada yang menjamin. Seperti jelas tertera dalam pernyataan nomor dua, keleluasaan Amerika Serikat untuk mengontrol pertahanan dan keamanan Jepang baik di dalam maupun di luar. Hal itu akan menghilangkan arti poin berikutnya yang menyatakan bahwa Jepang secara bertahap harus membangun militernya. Selain sudah merasa aman, Jepang menyadari bahwa konstitusi melarang hal itu.
Grand design Amerika Serikat pada dasarnya adalah bukan melindungi Jepang tetapi melindungi diri sendiri seaman dan sedini mungkin. Hal itu dapat dilihat dari perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap keberadaan miiter Jepang. Pecahnya perang Korea mendorong Amerika Serikat untuk menekan Jepang agar memabngaun militernya. Seperti telah disebutkan dalam bab sebelumnya sejak 1950 Amerika Serikat telah meminta Jepang membangun kembali militernya.
Tekanan Amerika Serikat secara nyata mulai meningkat pada tahun 1949, yaitu ketika hubungan Amerika Serikat dengan Uni Soviet mulai memburuk (deteriorating) , disebabkan isu Korea. Isu perang Korea telah memecah konsenterasi Amerika Serikat dalam menjaga keamanan wilayah Far East, termasuk menjaga keamanan wilayah Jepang. Amerika Serikat membutuhkan pasukannya yang berada di Jepang untuk keperluan perang Korea. Hal ini akan menyebabkan terjadi kekosongan pasukan di wilayah Jepang. Sehingga akan memudahkan Uni Soviet untuk melakukan serangan terhadap Jepang. Seperti dikatakan oleh George Kennan, yang di kemudian hari menjadi Director of State Departement’s Policy Planning Staf,
”…that totally disarmed and demilitarized Japan, “semi-surrounded” as she was by military positions of the Soviet Union, would be dangerously vulnerable to Communist political pressures. … that no one was planning for the defense of Japan in the post-treaty period”.
Amerika Serikat melihat bahwa perang Korea adalah saat yang tepat bagi Jepang untuk mulai membangun militernya. Karena pada saat itu Amerika Serikat merasa tidak mungkin terus-menerus sepenuhnya dapat menjamin keamanan Jepang. Seperti dikatakan oleh Peter J. Katzenstein,”The Korean war to all intens and and purposes stopped this American policy and prompted policy makers to begin reestablishing Japanese Security forces”.
Pertimbangan lain yang menyebabkan Amerika Serikat mulai menekan Jepang agar membangun militernya adalah kondisi pemerintah dan masyarakat yang sudah cukup demokratis. Sejak terbentuknya konstitusi 1947 kekuasaan kaisar sudah terkikis dan hanya berperan seremonial. Pemerintahan sudah berbentuk monarki konstitusioanl dengan sistem parlementer dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Dengan sistem multipartai, maka proses pengambilan kebijakan publik melibatkan banyak pihak, yang berarti semakin demokratis. Kondisi ini mengurangi kekhawatiran Amerika Serikat akan bangkitnya militerisme ekspansionis Jepang.
Selama kurun waktu terjadinya perang antara 1950-1953, keamanan Jepang sangat dirasakan mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh pemindahan pasukan Amerika Serikat yang berada di Jepang ke arena perang Korea. Sementara itu karena jarak kantong-kantong pasukan dan logistik Amerika Serikat untuk suplies pasukan dan logistic lebih jauh dibandingkan dengan jarak kantong-kantong militer Uni Soviet untuk mencapai arena perang maka peregerakan pasukan Uni Soviet dan Korea Utara akan lebih cepat mencapai wilayah Jepang. Mulai munculnya perasaan terancam ini telah menyebabkan Jepang untuk menerima desakan Amerika Serikat untuk membangun kembali militernya. Walaupun saat itu Jepang masih dihadapkan pada masih kuatnya perasaan traumatik masyarakat Jepang sehingga menyebabkan resistensi kuat terhadap upaya tersebut.
Menyadari akan besarnya resistensi tersebut, pemerintah Jepang akhirnya mengambil jalan tengah untuk menjaga pertahanan dan keamanannya, yaitu dengan menandatangani Perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat pada tahun 1951. Pemerintah menginginkan agar ketetapan konstitusi tentang larangan memiliki militer tidak dilanggar, seklaigus pertahanan keamanan negara dapat terjaga. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Kebijakan jalan tengah tersebut dapat dicermati dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh PM Yoshida, adalah:
“aliansi keamanan Jepang-Amerika Serikat merupkan cara untuk menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara Barat, cara menjaga agar militer tidak kuat di Asia (a low military profile), mengizinkan Amerika Serikat untuk mengamankan pangkalan tepi pantai dan untuk menangkal ancaman China dan Uni Soviet.”
Beberapa alasan tersebut mengisyaratkan bahwa Jepang hanya bertanggungjawab terhadap pertahanan dalam negeri. Artinya hal itu tidak melanggar konstitusi, karena yang dilarang adalah pengiriman tentara ke luar negeri. Seperti disebutkan dalam isi perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat bahwa Perjanjian akan dilaksanakan dalam batas-batas yang ditetapkan Konstitusi. Hal ini tercantum dalam klausa penyangkalan perang. Seperti tertera dalam artikel III Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America:
”The Parties, individually and in cooperation with each other, by means of continuous and effective self-help and mutual aid will maintain and develop, subject to their costitutional provisions, their capacities to resist armed attack.
Dengan ketentuan tersebut maka pengembangan kekuatan militer Jepang harus berdasarkan ketetapan yang digariskan dalam artikel 9 konstitusi 1947, yaitu militer tidak boleh dikirim ke luar negeri. Dapat dilihat pada masa-masa awal perjanian ini bahwa kekuatan militer Jepang hanya sebatas permintaan atau hasil tekanan Amerika Serikat dengan kekuatan yang sangat terbatas. Permintaan Amerika Serikat mendapat jawaban yang tidak responsif dari Jepang. Pada masa-masa itu resistensi masyarakat terhadap rearmament masih sangat besar. Alasan yang sering dilontarkan kepada pemerintah Amerika Serikat adalah adanya larangan konstitusi. Pemerintah menyatakan bahwa konstitusi dengan jelas mengatakan bahwa Jepang tidak boleh mengirim militer ke luar negeri, melanggar ketentuan itu berarti melanggar konstitusi --sebagaiamana kritik yang sering dilontarkan oleh partai kiri terhadap desakan Amerika Serikat-- sehingga sedapat mungkin Jepang selalu menolak desakan Amerika Serikat dengan alasan konstitusi. Seperti dikatakan oleh John K. Emmerson bahwa:
“Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”.
Jepang juga menyalahkan Amerika Serikat atas sikapnya itu karena pada dasarnya Amerika Serikat-lah yang menyebabkan Jepang mengambil sikap seperti itu. Sebut saja contoh Amerika Serikat yang memaksa Jepang membuat konstitusi 1947 dengan alasan pencegahan terhadap sifat militeristik Jepang. Dalam hal ini Jepang benar, seperti Wakil Presiden Nixon yang juga menyalahkan konstitusi 1947 artikel 9 yang dibuat sendiri oleh Amerika Serikat. Seperti ditunjukkan dalam pernyataan Nixon kepada warga Tokyo pada September 1953, bahwa ”that article 9 had been mistake.”
Di samping itu, Amerika Serikat jugalah yang menyebabkan Jepang sampai saat ini menggantungkan keamanannya pada Amerika Serikat yaitu untuk kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Jauh. Dengan demikian, semua kesulitan Amerika Serikat adalah bumerang bagi Amerika Serikat sendiri karena bagaimanapun juga Jepang akan tetap mempertahankan konstitusi tersebut, seperti pernyataan Perdana Menteri (PM) Yoshida, “konstitusi 1947 harus tetap dipertahankan dan tidak perlu dirubah”. Juga sebagaimana pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Kodaki pada 3 September 1953 di Surat Kabar Yoimuri:
“It is America which destroy our mighty army and navy and the munitions industry on which it was based, and even dumped research equipment into the ocean. It is also America which, with an air of importance, forced on Japan a silly constitution renouncing arms. America instilled antimilitary thought in the Japanese; America opened all Japan to the communist party. In short, it is America which made Japan such that it cannot meet the American demands today …If America wishes to have Japan as its true ally, it must first recognize its past errors.”
Alasan Jepang yang tidak kalah penting untuk menolak tekanan Amerika Serikat adalah alasan ekonomi. Seperti telah digariskan dalam doktrin Yoshida bahwa tujuan utama kebijakan Jepang adalah ekonomi. Dengan alasan masa lalu di mana Jepang menjadi negara yang paling menderita akibat perang maka Yoshida mengaggap bahwa ekonomi lebih penting dari militer. Kosaka Masataka, seorang ilmuan politik berpengaruh, dalam artikelnya ”Japan as Maritime Nation” di Chuo Karan mengatakan:
“Japan postwar involvment with West…has been primarily economic rather than military, an emphasis chosen by Prime Minister Yoshida Shigeru at the time of Japan’s negotiations with America over the 1951 San Francisco Peace Treaty. Yoshida believed that economic matters are more important than military, and, for this reason, he rejected America’s suggestion that Japan rearm and spearhead American military strategy in the Far East”.
Masyarakat Jepang dengan alasan yang sama, merasa kehidupan yang sedang mereka nikmati dengan ekonomi yang maju walaupun tanpa militer, yang dalam istilah Ichiro Ozawa sering disebut negara “tidak normal” adalah lebih baik sehingga tidak perlu lagi untuk memaksa Jepang memiliki militer. Yoshida berkata kepada Dulles bahwa keadaan Jepang saat ini merupakan “A gift of the gods”. Kata-kata ini mengutip MacArthur yang memberi dukungan Jepang di mana selama ini berkonsenterasi dalam bidang ekonomi, dan telah mensejahterakan mayarakat Jepang.
Yoshida juga menyatakan bahwa Jepang dapat melindungi dirinya sendiri dengan keadaannya sebagai negara demokratis, aman, serta berlindung di bawah opini dunia. Rearmament hanya akan menyebabkan Jepang menjadi miskin dan dapat menyebabkan keresahan sosial (social unrest) seperti yang diinginkan oleh komunis. Ia juga mengatakan tentang ketakutan negara-negara lain akan bangkitnya kembali militer Jepang.
Kesimpulan
Kerja sama keamanan Jepang-AS seperti telah dijelaskan telah menjadi faktor penting kebangkitan militer Jepang. Pada tahun 1951 setelah pendatangan Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS, Jepang membangun militernya Jepang (atau lebih tepatnya milisi) saat itu sebesar 75.000. Militer yang dibangun dimaksudkan hanya untuk mempertahankan diri karena bagaimanapun Jepang tetap berpegang pada janji Amerika Serikat bahwa untuk pertahanan luar negeri Jepang dijamin oleh Amerika Serikat. Seperti tertera pada artikel V Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang 1951 yang mengatakan :
“Each Party recognizes that an armed attack against either Party in the territories under the administration of Japan would be dangerous to its own peace and safety and declares that it would act to meet the common danger in accordance with its provisions and processes”.
Ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa kedua belah pihak bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah yang berada dalam wilayah kekuasaan Jepang. Artinya Amerika Serikat berkewajiban menjaga keamanan wilayah Jepang terhadap serangan dari luar, namun sebaliknya Jepang tidak berkewajiban untuk mejaga kepentingan Amerika Serikat di luar kawasan Jepang . Seperti dikutip di bawah ini :
“Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan pembentukan kekuatan militer adalah konsekuensi dari ketentuan perjanjian, dan bukan keinginan Jepang sendiri. Alasan tersebut menjadi pegangan utama pemerintah, dalam hal ini partai kanan untuk menjawab resistensi kuat terutama dari kelompok kiri yang menginginkan Jepang sebagai negara “unarmed neutrality.”
Pada tahun-tahun berikutnya, Jepang terus membangun kekuatan militernya, namun semua itu dilakukan di bawah desakan AS. Pada awal mulainya Perang Dingin (tahun 1953), Jepang membangun 152.000 personil militer dari 172.000 yang diminta oleh AS. Pada tahun 1955 Jepang kembali membangun militernya menjadi 156.834 dari total 179.737 yang diminta oleh AS. Pada momentum perang Vietnam tahun 1960 jumlah tersebut meningkat menjadi 206.001 atas dasar permintaan AS dari total 300.000 personil. Pada tahun 1973 yaitu ketika AS kalah dalam Perang Vietnam dan kemudian AS mundur dan mengurangi kekuatan militernya di kawasan Far East, Jepang kembali membangun sebanyak 286.200 dari total 350.000 personil yang diminta oleh AS.
Sejak tahun 2001, di bawah program Mid-tem Defense Program didesakkan oleh AS (MTDP 2001-2005), Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar).
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
Defense of Japan 1970, Japan Agency, 1970.
Emmerson, John K. Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma, Charles E. Tuttle Company, Tokyo, 1971.
Cliffs, N.J, Englewood., Problem in International Relatios, Prentice Hall, INC., New Jresey.
George, Aurelia Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure, The Washington Quarterly, Summer, 1991.
Habib, A. Hasnan Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997.
International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1999-2000, Oxford University Press, London, 2000.
Jepang Dewasa ini, Kementrian Luar Negeri Jepang, 1979.
Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Kalder, Kent E. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth , Threaten to Destabilize Asia Pacific, Nicholas Brealy Publishing Limited, London, 1996.
Kataoka, Tetsuya, Waiting for a “pearl Harbour”: Japan Debates Defense, The Board of Trustees of the Leland Junior University, USA, 1980.
Katzenstein, Peter J. Cultural Norms and National Security, Police and Military In Postwar Japan, Conell University Press, New York, 1996.
Macintosh, Malcolm, Japan Rearmed, New York, 1986.
Mendel Jr, Douglas H, The Japanese People and Foreign Policy: Study of Public Opinion in Post Treaty Japan, Greenwood Press, California, 1961.
National Studies on Internatinal Organization, Japan and the United Nations, Report of Study Group Set Up by the Japanese Association if International Law, Greenwood Press Publisher.
Ogawa, Ichiro, Blue Print Jepang Masa Depan, Tiara Wacana Yogyakakarta, 1995.
Pyle,Kenneth B., Changing Conceptions of Japan’s International Role, dalam Japan and the Pacific Quadrille, The Major Power in East Asia, Westview Press, Colorado.
Internet dan Surat Kabar:
International Trade Statistics, Imports 1997-2001, Product Group 891: Arms and Amunition, di download dari www.intracen.org/menus/products.
US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion di dalam www.globalsecurity.org/world/japan.
http://news.bbc.co.uk/hi/english.world/asia-pacific.
Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy Studies 1207,18th avenue South Nashville,Tennesse,37212, didownload dari www.Vanderbilt..doc.
www.iiss.org/milbalregions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b.
www. MOFA.GO.JP.
Foreign Bureau Information Service / East Asia (6 Maret 1991)
Kompas, 11/12/2004
Discussing Japan military after World War II (WW II) is always interesting because at one side there is assumption considered that after WW II until present, Japan changed from military state to non-military state and concluded that it has no military forces and become pacifist state. On the contrary, there is assumption that argued the earlier by showing facts Japan has already built its military forces. Actually, Japan had been started its military buildup after signing Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America in 1951. This article is going to show that The Japan-US security cooperation has a significant influence in every step of Japan military buildup until present day.
Pendahuluan
Sistem pertahanan dan keamanan Jepang mengalami perubahan besar pada tahun 1945 atau di akhir Perang Dunia II (PD II). Jepang berubah total dari salah satu negara adidaya menjadi tidak memiliki kekuatan militer sama sekali untuk sistem pertahanannya, bahkan tidak memiliki polisi di dalam negeri. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena termasuk unik, yaitu ada negara tanpa militer. Pertahanannya sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat. Padahal secara de facto dan de jure, Jepang adalah negara merdeka.
Secara teoritis, negara merdeka bebas menentukan seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional primernya, termasuk dalam hal ini kebijakan yang menyangkut pertahanan keamanan, tanpa campur tangan negara lain. Namun yang terjadi dengan Jepang adalah sesuatu yang di luar kebiasaan umum, karena sejak 1950-an yaitu ketika pendudukan sekutu terhadap Jepang telah berakhir, Jepang tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, terutama dalam penentuan kebijakan pertahanan keamanan.
Selain negara merdeka, dewasa ini Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki perekenomian termaju di dunia. Namun, kemajuan ekonomi tersebut tidak diikuti oleh pembangunan militer sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Prosentase dari Gross National Product (GNP) untuk anggaran pertahanannya adalah paling kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya seperti Jerman, Inggris, Prancis bahkan dari negara-negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Anggaran pertahanannya tidak pernah lebih dari1% dari GNP sampai tahun 1984 .
Tulisan ini akan menjelaskan tentang kebangkitan militer Jepang setelah Perang Dunia. Tema ini menarik karena, pendapat banyak pengamat yang mengatakan bahwa Jepang bukanlah negara normal dalam arti tidak memiliki militer, tidaklah benar karena pada dasarnya Jepang telah memulai pembangunan militernya sejak tahun 1951. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa pembangunan militer Jepang tersebut dilakukan karena pengaruh besar dari AS yaitu melalui instrumen Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS tahun 1951.
Negara Tanpa Militer
Keadaan Jepang yang tidak memiliki militer mandiri, berawal dari kekalahan Jepang dalam PD II yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian penyerahahan diri Jepang pada Sekutu, yang tertuang dalam potsdam declaration pada tanggal 26 Agustus 1945. Akibatnya Jepang harus menerima kenyataan bahwa kekuatan militer yang pernah dibanggakan harus dilucuti pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara-tentara Amerika Serikat . Amerika Serikat mengambil alih sistem pemerintahan Jepang dan harus tunduk di bawah sistemnya, dan juga harus mengakui Jenderal Angkatan Laut Amerika Serikat, Douglas MacArthur sebagai komandan tertinggi kekuatan sekutu Pasifik , selaku officer pendudukan di Jepang.
Demi keamanan dunia, Sekutu juga melakukan perubahan terhadap konstitusi Jepang, yang mengisyaratkan agar Jepang tidak lagi mengembangkan kekuatan militer di kemudian hari. Konstitusi baru tersebut menetapkan tiga prinsip dasar yang salah satunya menegaskan tentang sikap negara Jepang yang cinta damai. Untuk melaksanakan prinsip tersebut, pada artikel 9 Konstitusi 1947, secara tegas disebutkan tentang pelarangan penggunaan militer ke luar negeri berdasarkan keputusan sendiri.
Untuk menjaga keamanan wilayahnya, khususnya terhadap serangan dari luar, Jepang dipaksa mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Aliansi keamanan tersebut dituangkan dalam The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku mulai bulan April 1952. Selain alasan keamanan Jepang, aliansi tersebut juga dilatarbelakangi keinginan Sekutu untuk mempertahankan keberadaannya dikawasan Asia, khususnya di Asia Timur, karena pendudukan sekutu akan berakhir pada tahun 1952. Amerika Serikat berkepentingan untuk menjaga agar pengaruh komunis tidak meluas ke negara-negara Asia Pasifik khususnya di kawasan Asia Timur.
Perjanjian tersebut mewajibkan Jepang untuk mengorbankan semua wilayah yang didudukinya sejak 1895, serta memasukkan Jepang ke dalam sistem keamanan Amerika Serikat. Amerika Serikat menandatangani perjanjian berikutnya dengan Jepang pada tahun 1954 yang isinya adalah menyediakan perlengkapan-perlengkapan, alat-alat, dan lainnya bagi Jepang. Sebaliknya Jepang menyediakan basis-basis militer dan alat-alat yang diperlukan oleh Amerika Serikat . Perjanjian tersebut adalah awal dimulainya babak baru negara Jepang yang tidak mempunyai militer, pertahanan dan keamanan sendiri.
Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan . Sebagai hasilnya pada tahun 1969 hingga 1981 rata-rata pertumbuhan tahunan Gross National Product (GNP) per kapita Jepang 3,3 kali lebih besar ketimbang rata-rata gabungan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat. (Pertumbuhan ini menurun ke tingkat yang sama dengan negara-negara tersebut akibat resesi tahun 1981-1983). Dalam GNP (dibandingkan dengan GNP per kapita), produktifitas Jepang meningkat 12 kali lipat antara tahun 1950 hingga 1976, sementara GNP Amerika Serikat hanya meningkat 2,3 kali lipat, dan negara-negara Eropa Barat meningkat tiga kali lipat. Selain itu, kemantapan neraca pembayaran dan perdagangan berkat kebangkitan yang luar biasa selepas PD II memungkinkan yen Jepang bersaing dengan mark Jerman sebagai mata uang yang paling bernilai dan disukai di dunia. Dalam segala bidang, kecuali kekuatan militer, Jepang sudah menjadi kekuatan utama selama satu setengah dekade .
Pesatnya perkembangan ekonomi tersebut, tidak mendorong Jepang terlibat aktif secara langsung dalam penataan stabilitas dan keamanan internasional. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak wajar, karena Jepang merupakan negara yang paling berkepentingan terhadap terciptanya stabilitas dan keamanan internasional karena Jepang adalah salah satu negara industri yang menggantungkan ekonominya pada perdagangan internasional, sehingga sangat tergantung pada keamanan jalur-jalur pelayaran, penerbangan, serta jalur-jalur transportasi internasional lainnya. Atas dasar itu maka peran Jepang secara langsung pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka menentukan aman atau tidaknya pasokan minyak, bahan mentah, serta ekspor hasil-hasil industri Jepang.
Selama ini keterlibatan Jepang dalam penataan keamanan internasional diwakili oleh Amerika Serikat. Sedangkan keterlibatan Jepang hanya secara tidak langsung yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang menekankan pendekatan-pendekatan dan kepentingan ekonomi. Jepang menggunakan kemampuan ekonominya sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yaitu melalui pemberian bantuan ekonomi.
Bantuan ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid), konsep ini merujuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanan dan straegis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to maintenance of the peace and stability of the world. Karena itu aktifitas ekonomi Jepang tidak semata-mata bersifat ekonomis , melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menyumbang stabilitas dan keamanan internasional. Perkembangan terakhir di mana pemerintah Jepang mengusulkan agar Official Develovment Assistance (ODA) diberikan dengan mempertimbangkan tingkat belanja militer pada negara sasaran, menunjukkan dimensi politik dan keamanan kebijaksanaan ekonomi Jepang terhadap negara-negara penerima .
Kerja Sama Keamanan Jepang AS dan Dinamika Kebangkitan Militer Jepang
Adanya ketentuan bahwa pasukannya sudah harus ditarik dari Jepang pada 1952, menyebabkan Amerika Serikat mengambil keputusan untuk memberikan jaminan keamanan kepada Jepang. Amerika Serikat tetap mempertahankan pasukannya di Jepang, karena dalam pandangan Amerika Serikat sangat berbahaya meninggalkan Jepang dalam keadaan tanpa militer. Sementara pada saat yang sama peneyebaran komunisme sudah sampai ke Cina. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Sino-Soviet Treaty of Friendship, Alliance and Mutual Assistance, pada tanggal 14 Februari 1950. Hal ini akan memudahkan Uni Soviet untuk menganeksasi Jepang, seperti halnya Korea Utara. Penegasan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan militernya di Jepang dapat dilihat dalam pidato Sekretaris Negara Dean Acheson di depan National Press Club pada 12 Januari 1950:
“The defeat and disarmament of Japan have placed upon United States the necessity of assuming the military defense of Japan so long as that is required, both in the interest of our security and in the interest of the security of the entire Pacific area and, in all honor, in the interest of Japanese security…I can assure you that there is no intention of any sort of abandoning or weakening the defense of Japan…that defense must and shall be maintained.”
Berdasarkan pemikiran tersebut maka satu-satunya cara untuk membendung penyebaran komunisme adalah dengan tetap “menduduki” Jepang. Seperti digambarkan dalam kebijakan Containment Strategy Amerika Serikat, yang digariskan pertama kali dalam “Doktrin Truman” oleh Presiden Harry Truman pada tahun 1947. Inti dari strategi Amerika Serikat tersebut adalah:
“menahan ekspansi komunisme dan Uni Soviet dengan kekuatan militer, nuklir dan konvensional; memberi bantuan ekonomi dan militer kepada negara-negara sekutu dan negara-negara sahabat lainnya yang bersedia membantu mencegah ekspasi Uni Soviet itu; dan mendorong meluasnya sistem pemerintahan yang demokratis. Dan kaitannya dengan Jepang Amerika Serikat ingin menjadikan Jepang sebagai benteng pertahanan (bulkwark) melawan potensi ancaman agresi komunis di Northeast Asia”.
Doktrin Truman menggariskan instrumen dasar terbentuknya aliansi Amerika Serikat-Jepang adalah dengan memberikan jaminan militer dan bantuan ekonomi terhadap negara-negara yang rentan terhadap bahaya ekspansi komunis. Atas dasar kebijakan itu Amerika Serikat telah memberikan dua bantuan kepada Jepang. Pertama adalah bantuan militer, yaitu dengan berjanji tidak menarik pasukannya dari Jepang setelah masa pendudukan. Sehinga Jepang tidak perlu membangun militernya, karena sudah menjadi sekutu Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat hal ini akan memberikannya keleluasaan untuk mengawasi gerak-gerik Uni Soviet, karena letaknya yang berdekatan dengan Jepang, bahkan pangkalan militer terbesar Uni Soviet Vladivostok berjarak sangat dekat dengan kepulauan Utara Jepang.
Kedua adalah bantuan ekonomi, Amerika Serikat menginginkan Jepang untuk memperkuat ekonominya sebagai bagian dari cara untuk membendung komunisme, karena dalam pandangan Amerika Serikat komunisme tidak akan berkembang di negara yang perekonomiannya maju. Seperti dikatakan oleh Kennan Pada bulan Februari1948, sebelum berangkat ke Tokyo,
“…we device policies toward Japan which assure the security of that country from Communist Soviet Union and would permits Japan’s economic potential to become once again an important force in the affairs of the area, conducive to peace and stability.”
Implementasi aliansi keamanan Amerika Serikat-Jepang tercantum di dalam Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang atau yang dikenal dengan The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security. Perjanjian keamanan itu ditandatangani oleh Jepang di Sanfrancisco pada tanggal 8 September 1951 dan mulai berlaku pada bulan 28 April tahun yang sama.
Perjanjian menyatakan bahwa Amerika Serikat dapat menempatkan pasukannya di Jepang (mempunyai pangkalan militer) untuk melindungi Jepang dan untuk perdamaian internasional di kawasan Timur Jauh. Perjanjian juga menjelaskan tentang kekuatan militer Jepang adalah defensif dan pasukan militer Amerika Serikat akan melindungi seluruh wilayah Jepang.
Dengan Prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam Perjajian Keamanan itu, Amerika Serikat telah menentukan format perkembangan militer Jepang masa depan. Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan militer Jepang sesuai dengan isi perjanjian keamanan Jepang-Amerika Serikat.
1. Pada pembukaan perjanjian adannya pengakuan atas hak-hak Jepang untuk melindungi diri sendiri dan hak untuk memasuki pakta keamanan bersama “collective security”.
2. Pembukaan memperlihatkan adanya keingian atau kesediaan Amerika Serikat untuk menjaga kekuatan militernya di Jepang, dengan harapan bahwa dalam kurun waktu itu Jepang akan melaksanakan kewajibannya terhadap pertahannnya sendiri, dengan menghindari persenjataan yang bersifat ofensif atau menjadi ancaman bagi pihak lain, dan harus lebih ditujukan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang ada dalam piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekuatan militer Amerika Serikat di Jepang bisa digunakan atas permintaan pemeintah Jepang untuk memadamkan kerusuhan dalam negeri serta untuk mengatasi ancaman dari luar.
Amerika Serikat melaksanakan poin-poin tersebut sampai pada titik di mana Jepang hanyalah sebuah negara yang harus selalu tergantung padanya. Pernyataan pada nomer satu seperti terlihat sama sekali jauh dari kenyataan. Hak Jepang untuk mempertahankan diri, bagi Amerika Serikat adalah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat di Jepang untuk menjamin keamanan Jepang. Ketentuan tersebut sama sekali tidak melibatkan kemampuan militer Jepang yang memang tidak ada. Ketentuan bahwa Jepang juga berhak untuk memasuki collective securirty, tidak mungkin dilaksanakan, karena adanya larangan dalam konstitusi 1947, artikel 9. Bagaimana mungkin Jepang akan bergabung dalam pertahanan kolektif sementara ia tidak boleh mengirim pasukannya ke luar negeri. Sementara seperti diketahui konstitusi 1947 adalah hasil paksaan Amerika Serikat terhadap Jepang.
Menyikapi kenyataan tersebut Amerika Serikat menegaskan bahwa dengan keberadaan pasukannya di Jepang, segala kelemahan Jepang dapat diatasi. Hal ini berarti telah menanamkan pemikiran dan anggapan pada masyarakat Jepang bahwa untuk apa memiliki militer jika sudah ada yang menjamin. Seperti jelas tertera dalam pernyataan nomor dua, keleluasaan Amerika Serikat untuk mengontrol pertahanan dan keamanan Jepang baik di dalam maupun di luar. Hal itu akan menghilangkan arti poin berikutnya yang menyatakan bahwa Jepang secara bertahap harus membangun militernya. Selain sudah merasa aman, Jepang menyadari bahwa konstitusi melarang hal itu.
Grand design Amerika Serikat pada dasarnya adalah bukan melindungi Jepang tetapi melindungi diri sendiri seaman dan sedini mungkin. Hal itu dapat dilihat dari perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap keberadaan miiter Jepang. Pecahnya perang Korea mendorong Amerika Serikat untuk menekan Jepang agar memabngaun militernya. Seperti telah disebutkan dalam bab sebelumnya sejak 1950 Amerika Serikat telah meminta Jepang membangun kembali militernya.
Tekanan Amerika Serikat secara nyata mulai meningkat pada tahun 1949, yaitu ketika hubungan Amerika Serikat dengan Uni Soviet mulai memburuk (deteriorating) , disebabkan isu Korea. Isu perang Korea telah memecah konsenterasi Amerika Serikat dalam menjaga keamanan wilayah Far East, termasuk menjaga keamanan wilayah Jepang. Amerika Serikat membutuhkan pasukannya yang berada di Jepang untuk keperluan perang Korea. Hal ini akan menyebabkan terjadi kekosongan pasukan di wilayah Jepang. Sehingga akan memudahkan Uni Soviet untuk melakukan serangan terhadap Jepang. Seperti dikatakan oleh George Kennan, yang di kemudian hari menjadi Director of State Departement’s Policy Planning Staf,
”…that totally disarmed and demilitarized Japan, “semi-surrounded” as she was by military positions of the Soviet Union, would be dangerously vulnerable to Communist political pressures. … that no one was planning for the defense of Japan in the post-treaty period”.
Amerika Serikat melihat bahwa perang Korea adalah saat yang tepat bagi Jepang untuk mulai membangun militernya. Karena pada saat itu Amerika Serikat merasa tidak mungkin terus-menerus sepenuhnya dapat menjamin keamanan Jepang. Seperti dikatakan oleh Peter J. Katzenstein,”The Korean war to all intens and and purposes stopped this American policy and prompted policy makers to begin reestablishing Japanese Security forces”.
Pertimbangan lain yang menyebabkan Amerika Serikat mulai menekan Jepang agar membangun militernya adalah kondisi pemerintah dan masyarakat yang sudah cukup demokratis. Sejak terbentuknya konstitusi 1947 kekuasaan kaisar sudah terkikis dan hanya berperan seremonial. Pemerintahan sudah berbentuk monarki konstitusioanl dengan sistem parlementer dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Dengan sistem multipartai, maka proses pengambilan kebijakan publik melibatkan banyak pihak, yang berarti semakin demokratis. Kondisi ini mengurangi kekhawatiran Amerika Serikat akan bangkitnya militerisme ekspansionis Jepang.
Selama kurun waktu terjadinya perang antara 1950-1953, keamanan Jepang sangat dirasakan mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh pemindahan pasukan Amerika Serikat yang berada di Jepang ke arena perang Korea. Sementara itu karena jarak kantong-kantong pasukan dan logistik Amerika Serikat untuk suplies pasukan dan logistic lebih jauh dibandingkan dengan jarak kantong-kantong militer Uni Soviet untuk mencapai arena perang maka peregerakan pasukan Uni Soviet dan Korea Utara akan lebih cepat mencapai wilayah Jepang. Mulai munculnya perasaan terancam ini telah menyebabkan Jepang untuk menerima desakan Amerika Serikat untuk membangun kembali militernya. Walaupun saat itu Jepang masih dihadapkan pada masih kuatnya perasaan traumatik masyarakat Jepang sehingga menyebabkan resistensi kuat terhadap upaya tersebut.
Menyadari akan besarnya resistensi tersebut, pemerintah Jepang akhirnya mengambil jalan tengah untuk menjaga pertahanan dan keamanannya, yaitu dengan menandatangani Perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat pada tahun 1951. Pemerintah menginginkan agar ketetapan konstitusi tentang larangan memiliki militer tidak dilanggar, seklaigus pertahanan keamanan negara dapat terjaga. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Kebijakan jalan tengah tersebut dapat dicermati dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh PM Yoshida, adalah:
“aliansi keamanan Jepang-Amerika Serikat merupkan cara untuk menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara Barat, cara menjaga agar militer tidak kuat di Asia (a low military profile), mengizinkan Amerika Serikat untuk mengamankan pangkalan tepi pantai dan untuk menangkal ancaman China dan Uni Soviet.”
Beberapa alasan tersebut mengisyaratkan bahwa Jepang hanya bertanggungjawab terhadap pertahanan dalam negeri. Artinya hal itu tidak melanggar konstitusi, karena yang dilarang adalah pengiriman tentara ke luar negeri. Seperti disebutkan dalam isi perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat bahwa Perjanjian akan dilaksanakan dalam batas-batas yang ditetapkan Konstitusi. Hal ini tercantum dalam klausa penyangkalan perang. Seperti tertera dalam artikel III Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America:
”The Parties, individually and in cooperation with each other, by means of continuous and effective self-help and mutual aid will maintain and develop, subject to their costitutional provisions, their capacities to resist armed attack.
Dengan ketentuan tersebut maka pengembangan kekuatan militer Jepang harus berdasarkan ketetapan yang digariskan dalam artikel 9 konstitusi 1947, yaitu militer tidak boleh dikirim ke luar negeri. Dapat dilihat pada masa-masa awal perjanian ini bahwa kekuatan militer Jepang hanya sebatas permintaan atau hasil tekanan Amerika Serikat dengan kekuatan yang sangat terbatas. Permintaan Amerika Serikat mendapat jawaban yang tidak responsif dari Jepang. Pada masa-masa itu resistensi masyarakat terhadap rearmament masih sangat besar. Alasan yang sering dilontarkan kepada pemerintah Amerika Serikat adalah adanya larangan konstitusi. Pemerintah menyatakan bahwa konstitusi dengan jelas mengatakan bahwa Jepang tidak boleh mengirim militer ke luar negeri, melanggar ketentuan itu berarti melanggar konstitusi --sebagaiamana kritik yang sering dilontarkan oleh partai kiri terhadap desakan Amerika Serikat-- sehingga sedapat mungkin Jepang selalu menolak desakan Amerika Serikat dengan alasan konstitusi. Seperti dikatakan oleh John K. Emmerson bahwa:
“Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”.
Jepang juga menyalahkan Amerika Serikat atas sikapnya itu karena pada dasarnya Amerika Serikat-lah yang menyebabkan Jepang mengambil sikap seperti itu. Sebut saja contoh Amerika Serikat yang memaksa Jepang membuat konstitusi 1947 dengan alasan pencegahan terhadap sifat militeristik Jepang. Dalam hal ini Jepang benar, seperti Wakil Presiden Nixon yang juga menyalahkan konstitusi 1947 artikel 9 yang dibuat sendiri oleh Amerika Serikat. Seperti ditunjukkan dalam pernyataan Nixon kepada warga Tokyo pada September 1953, bahwa ”that article 9 had been mistake.”
Di samping itu, Amerika Serikat jugalah yang menyebabkan Jepang sampai saat ini menggantungkan keamanannya pada Amerika Serikat yaitu untuk kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Jauh. Dengan demikian, semua kesulitan Amerika Serikat adalah bumerang bagi Amerika Serikat sendiri karena bagaimanapun juga Jepang akan tetap mempertahankan konstitusi tersebut, seperti pernyataan Perdana Menteri (PM) Yoshida, “konstitusi 1947 harus tetap dipertahankan dan tidak perlu dirubah”. Juga sebagaimana pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Kodaki pada 3 September 1953 di Surat Kabar Yoimuri:
“It is America which destroy our mighty army and navy and the munitions industry on which it was based, and even dumped research equipment into the ocean. It is also America which, with an air of importance, forced on Japan a silly constitution renouncing arms. America instilled antimilitary thought in the Japanese; America opened all Japan to the communist party. In short, it is America which made Japan such that it cannot meet the American demands today …If America wishes to have Japan as its true ally, it must first recognize its past errors.”
Alasan Jepang yang tidak kalah penting untuk menolak tekanan Amerika Serikat adalah alasan ekonomi. Seperti telah digariskan dalam doktrin Yoshida bahwa tujuan utama kebijakan Jepang adalah ekonomi. Dengan alasan masa lalu di mana Jepang menjadi negara yang paling menderita akibat perang maka Yoshida mengaggap bahwa ekonomi lebih penting dari militer. Kosaka Masataka, seorang ilmuan politik berpengaruh, dalam artikelnya ”Japan as Maritime Nation” di Chuo Karan mengatakan:
“Japan postwar involvment with West…has been primarily economic rather than military, an emphasis chosen by Prime Minister Yoshida Shigeru at the time of Japan’s negotiations with America over the 1951 San Francisco Peace Treaty. Yoshida believed that economic matters are more important than military, and, for this reason, he rejected America’s suggestion that Japan rearm and spearhead American military strategy in the Far East”.
Masyarakat Jepang dengan alasan yang sama, merasa kehidupan yang sedang mereka nikmati dengan ekonomi yang maju walaupun tanpa militer, yang dalam istilah Ichiro Ozawa sering disebut negara “tidak normal” adalah lebih baik sehingga tidak perlu lagi untuk memaksa Jepang memiliki militer. Yoshida berkata kepada Dulles bahwa keadaan Jepang saat ini merupakan “A gift of the gods”. Kata-kata ini mengutip MacArthur yang memberi dukungan Jepang di mana selama ini berkonsenterasi dalam bidang ekonomi, dan telah mensejahterakan mayarakat Jepang.
Yoshida juga menyatakan bahwa Jepang dapat melindungi dirinya sendiri dengan keadaannya sebagai negara demokratis, aman, serta berlindung di bawah opini dunia. Rearmament hanya akan menyebabkan Jepang menjadi miskin dan dapat menyebabkan keresahan sosial (social unrest) seperti yang diinginkan oleh komunis. Ia juga mengatakan tentang ketakutan negara-negara lain akan bangkitnya kembali militer Jepang.
Kesimpulan
Kerja sama keamanan Jepang-AS seperti telah dijelaskan telah menjadi faktor penting kebangkitan militer Jepang. Pada tahun 1951 setelah pendatangan Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS, Jepang membangun militernya Jepang (atau lebih tepatnya milisi) saat itu sebesar 75.000. Militer yang dibangun dimaksudkan hanya untuk mempertahankan diri karena bagaimanapun Jepang tetap berpegang pada janji Amerika Serikat bahwa untuk pertahanan luar negeri Jepang dijamin oleh Amerika Serikat. Seperti tertera pada artikel V Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang 1951 yang mengatakan :
“Each Party recognizes that an armed attack against either Party in the territories under the administration of Japan would be dangerous to its own peace and safety and declares that it would act to meet the common danger in accordance with its provisions and processes”.
Ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa kedua belah pihak bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah yang berada dalam wilayah kekuasaan Jepang. Artinya Amerika Serikat berkewajiban menjaga keamanan wilayah Jepang terhadap serangan dari luar, namun sebaliknya Jepang tidak berkewajiban untuk mejaga kepentingan Amerika Serikat di luar kawasan Jepang . Seperti dikutip di bawah ini :
“Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan pembentukan kekuatan militer adalah konsekuensi dari ketentuan perjanjian, dan bukan keinginan Jepang sendiri. Alasan tersebut menjadi pegangan utama pemerintah, dalam hal ini partai kanan untuk menjawab resistensi kuat terutama dari kelompok kiri yang menginginkan Jepang sebagai negara “unarmed neutrality.”
Pada tahun-tahun berikutnya, Jepang terus membangun kekuatan militernya, namun semua itu dilakukan di bawah desakan AS. Pada awal mulainya Perang Dingin (tahun 1953), Jepang membangun 152.000 personil militer dari 172.000 yang diminta oleh AS. Pada tahun 1955 Jepang kembali membangun militernya menjadi 156.834 dari total 179.737 yang diminta oleh AS. Pada momentum perang Vietnam tahun 1960 jumlah tersebut meningkat menjadi 206.001 atas dasar permintaan AS dari total 300.000 personil. Pada tahun 1973 yaitu ketika AS kalah dalam Perang Vietnam dan kemudian AS mundur dan mengurangi kekuatan militernya di kawasan Far East, Jepang kembali membangun sebanyak 286.200 dari total 350.000 personil yang diminta oleh AS.
Sejak tahun 2001, di bawah program Mid-tem Defense Program didesakkan oleh AS (MTDP 2001-2005), Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar).
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
Defense of Japan 1970, Japan Agency, 1970.
Emmerson, John K. Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma, Charles E. Tuttle Company, Tokyo, 1971.
Cliffs, N.J, Englewood., Problem in International Relatios, Prentice Hall, INC., New Jresey.
George, Aurelia Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure, The Washington Quarterly, Summer, 1991.
Habib, A. Hasnan Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997.
International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1999-2000, Oxford University Press, London, 2000.
Jepang Dewasa ini, Kementrian Luar Negeri Jepang, 1979.
Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Kalder, Kent E. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth , Threaten to Destabilize Asia Pacific, Nicholas Brealy Publishing Limited, London, 1996.
Kataoka, Tetsuya, Waiting for a “pearl Harbour”: Japan Debates Defense, The Board of Trustees of the Leland Junior University, USA, 1980.
Katzenstein, Peter J. Cultural Norms and National Security, Police and Military In Postwar Japan, Conell University Press, New York, 1996.
Macintosh, Malcolm, Japan Rearmed, New York, 1986.
Mendel Jr, Douglas H, The Japanese People and Foreign Policy: Study of Public Opinion in Post Treaty Japan, Greenwood Press, California, 1961.
National Studies on Internatinal Organization, Japan and the United Nations, Report of Study Group Set Up by the Japanese Association if International Law, Greenwood Press Publisher.
Ogawa, Ichiro, Blue Print Jepang Masa Depan, Tiara Wacana Yogyakakarta, 1995.
Pyle,Kenneth B., Changing Conceptions of Japan’s International Role, dalam Japan and the Pacific Quadrille, The Major Power in East Asia, Westview Press, Colorado.
Internet dan Surat Kabar:
International Trade Statistics, Imports 1997-2001, Product Group 891: Arms and Amunition, di download dari www.intracen.org/menus/products.
US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion di dalam www.globalsecurity.org/world/japan.
http://news.bbc.co.uk/hi/english.world/asia-pacific.
Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy Studies 1207,18th avenue South Nashville,Tennesse,37212, didownload dari www.Vanderbilt..doc.
www.iiss.org/milbalregions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b.
www. MOFA.GO.JP.
Foreign Bureau Information Service / East Asia (6 Maret 1991)
Kompas, 11/12/2004
1 komentar:
nice blog!!!
by ksatria web
Posting Komentar