Hubungan Diplomatik Jepang dengan Negara-negara Timur Tengah

ada dekade 1970-an terjadi dua peristiwa besar di Timur Tengah, yaitu penyanderaan warga negara Amerika Serikat (AS) di Iran dan intervensi Uni Soviet dalam konflik dalam negeri Afghanistan.  Dua peristiwa tersebut menyebabkan perhatian Jepang terhadap Timur Tengah meningkat.  Jepang menyadari pentingnya mempromosikan diri agar lebih mudah diterima oleh negara-negara lain yang berada di kawasan Asia dan dapat menjalin hubungan yang lebih baik, terutama dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Perhatian Terhadap Kawasan Timur Tengah

Timur Tengah belum mendapatkan perhatian dalam diplomasi Jepang sampai dengan munculnya krisis minyak pada tahun 1973.  Sebelumnya, masyarakat Jepang seolah-olah tidak terlalu peduli dari mana kebutuhan minyak mereka berasal dan menyerahkan hal ini sepenuhnya kepada perusahaan-perusahaan minyak besar.  Pada tahun 1967, Saburo Okita, yang kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Jepang pada masa kabinet Masayoshi Ohira yang kedua (1979-1980), sudah memperingatkan dalam artikelnya yang dimuat di majalah bulanan Chuo Koron.  Artikel tersebut berjudul “Shigen Yunyukoku Nippon o Jikaku Seyo” (Menyadari Status Jepang Sebagai Importir Sumber Daya Alam).  Di sana, Okita menyoroti konsentrasi penuh Jepang dalam rangka mencari pasar ekspor baru telah membutakan Jepang atas ketergantungannya terhadap sumber daya alam impor.  Oleh sebab itu, Ohira menyarankan agar Jepang memperkuat persahabatan dengan negara-negara pengekspor komoditas.  Akan tetapi, hal ini ternyata justru diabaikan.

Tentu saja, kepentingan politik berubah secara dramatis ke arah sebaliknya setelah krisis minyak.  Pada bulan Desember 1978, Okita menyertai Duta Khusus Jepang untuk Timur Tengah, Takeo Miki (yang kemudian menjadi wakil perdana menteri) ke delapan negara Timur Tengah untuk menemui para pemimpin masing-masing negara, termasuk Raja Faisal ibn Abdul Aziz dari Saudi Arabia dan Presiden Mesir, Mohammed Anwar El Sadat.  Jepang menyadari bahwa wilayah yang menyediakan 70% kebutuhan minyak mereka layak mendapat perhatian yang besar.  Selain menyediakan kebutuhan minyak, wilayah tersebut juga dapat menjadi pasar yang cerah untuk ekspor Jepang.  Misalnya, pada tahun 1974-1979, ketika impor Jepang dari Timur Tengah meningkat dua kali lipat, ekspornya melonjak menjadi tiga kali lipatnya.  Krisis penyanderaan di Iran dan intervensi Uni Soviet di Afghanistan turut pula membuat pemerintah Jepang menyadari pentingnya stabilitas di wilayah ini bagi Jepang.
Wilayah ini tidak akan dapat stabil secara politis sampai adanya resolusi konflik antara negara-negara Arab dengan Israel.  Jepang menyadari situasi di Iran dan Afghanistan terkait dengan konflik Arab-Israel.  Beberapa negara Arab merasa meskipun menyandera warga negara AS merupakan pelanggaran hukum internasional, begitu pula pendudukan Israel di wilayah mereka sejak 1967 yang mendapat sokongan kuat AS.  Mereka menganggap bahwa tidak adil terus menyalahkan aksi penyanderaan di Iran, sementara orang-orang Palestina terus terisolasi di negerinya sendiri.

Konflik Arab-Israel dan Pengakuan PLO Sebagai Representasi Palestina

Pemerintah AS telah berupaya untuk mengakhiri konflik Arab-Israel sejak masa Henry Kissinger.  Pada bulan September 1979, Presiden Carter mengundang Presiden Sadat dari Mesir dan Perdana Menteri Menachem Begin dari Israel ke Camp David.  Dalam kesempatan itu disepakati perjanjian damai antar kedua negara.
Tetapi, perjanjian tersebut tidak dapat mengambil hati negara-negara Arab lain.  Di mata mereka, konflik Arab-Israel tidak dapat diakhiri tanpa resolusi terhadap masalah Palestina.  Belakangan, Israel malah menduduki wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan.  Bangsa Arab takut apabila Israel, yang tidak lagi mendapat ancaman Mesir, akan menduduki wilayah-wilayah tersebut selamanya.
AS secara aktif mendukung dan mempromosikan negosiasi Camp David.  Karena pada tahun 1980 diadakan pemilihan presiden, tekanan warga Yahudi untuk terus mendukung Israel tidak dapat dibenarkan.  Akan tetapi, Israel tampaknya malah semakin keras kepala, melanjutkan pendudukan di wilayah-wilayah yang dicaploknya, memindahkan kantor pemerintahan di Yerusalem Timur, dan menduduki Tepi Barat.

Yang menjadi masalah serius dalam konflik Arab-Israel adalah hak untuk menentukan nasib sendiri dan representasi politik Palestina.  Pada tahun 1967, saat Israel meluncurkan serangan dan menduduki wilayah-wilayah Arab di Perang Timur Tengah ketiga,  Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengadopsi Resolusi 242 yang menyatakan Israel harus menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah yang diduduki.  Walaupun begitu, resolusi ini hanya menunjuk kepada orang-orang Palestina sebagai “pengungsi” dan tidak mengangkat isu hak untuk menentukan nasib sendiri.  Oleh karena itu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tidak mengakui resolusi tersebut, walaupun Jepang dan negara-negara Eropa Barat mengakuinya.

Alhasil, Israel tidak menarik mundur pasukannya dan berdalih bahwa hal tersebut karena PLO menolak untuk mengakui keberadaan Israel.  Israel menganggap PLO adalah organisasi “teroris” dan oleh karenanya, tidak dapat diakui sebagai representasi rakyat Palestina.  Dalam situasi yang teramat sulit ini, Jepang menerima hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mengakui PLO sebagai representasi rakyat Palestina.
Meskipun PLO oleh negara-negara Arab, Uni Soviet, Eropa Timur, dan beberapa negara di Dunia Ketiga diakui sebagai representasi “tunggal” rakyat Palestina, pemerintah Jepang tidak “mengakuinya” dengan cara seperti ini.  Perwakilan PLO di Tokyo tetap tidak memiliki status diplomatik.  Akan tetapi, Duta Besar Jepang di Uni Emirat Arab tetap menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin PLO dan para anggota parlemen pun juga berusaha untuk mengundang pejabat PLO ke Jepang.  Yasser Arafat pun tampaknya juga menunggu undangan resmi dari pemerintah Jepang.  Arafat akhirnya menerima undangan tersebut dan datang ke Jepang pada bulan Oktober 1981.

Bangsa Arab seringkali menyalahkan Jepang atas kebijakan Timur Tengahnya yang dianggap mengikuti “jalur-jalur” AS, tetapi ini adalah asumsi yang salah.  Jepang telah menyatakan dukungannya pada bangsa-bangsa Arab dalam beberapa konferensi internasional dan Jepang jauh lebih pro-Arab dibandingkan negara-negara Barat.  Premis dasar kebijakan Jepang adalah sebagai berikut:
  1. Israel harus segera menarik pasukannya dari seluruh wilayah yang diduduki.
  2. Bangsa Palestina harus memperoleh hak untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk hak untuk mendirikan sebuah negara.
  3. PLO harus diakui sebagai representasi rakyat Palestina.
Walaupun secara konsisten Jepang telah menyatakan argumen-argumen tersebut, masih ada pula kesalahpahaman yang muncul.  Oleh sebab itu, Jepang berusaha untuk menangkis kesalahpahaman tersebut.  Maka, Departemen Luar Negeri Jepang membuat buklet, yang antara lain memuat:
  1. Jepang telah mengakui hak-hak Palestina sejak bulan Mei 1971, sebelum terjadinya Perang Timur Tengah keempat.
  2. Pada tahun 1970, dalam Sidang Umum PBB, Jepang telah menyetujui resolusi yang menyatakan hak-hak bangsa Palestina, walaupun AS dan kebanyakan negara Eropa Barat tidak menyetujui atau abstain dalam pemungutan suara.
  3. Jepang telah menyediakan bantuan finansial bagi para pengungsi Palestina sejak tahun 1953, sebelum bergabung dengan PBB.
  4. Pada tahun 1978, Perdana Menteri Takeo Fukuda meminta Israel menarik diri dari seluruh wilayah yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur.
Saat buklet ini dikeluarkan pada bulan April 1980, Jepang mengirimkannya melalui kedutaan besarnya di tiap negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Jepang.  Saat Okita berpartisipasi dalam beberapa konferensi internasional, ia memberikan buklet-buklet tersebut kepada menteri luar negeri negara-negara Barat dan menjelaskan posisi Jepang dalam konflik Arab-Israel.

Posisi Jepang dalam Konflik Arab-Israel

Posisi politis Jepang dalam konflik Arab-Israel dengan jelas terlihat meningkat perkembangannya.  Negara-negara Arab berkembang semakin kuat dan Jepang menjadi semakin bergantung dengan minyak dari Timur Tengah.  Jepang secara terus terang pernah menyatakan dukungannya kepada negara-negara Arab ketika Konferensi Asia Afrika (KAA) dilaksanakan pada tahun 1955 di Bandung, di mana perwakilan resmi Jepang memilih resolusi bagi Palestina untuk menentukan nasib sendiri.  Hal ini diikuti dengan langkah pemerintah Jepang yang mengutuk kekejaman Israel pada Perang Arab-Israel yang kedua.  Pada tahun 1973, afiliasi politik pemerintah Jepang dengan Palestina menjadi perhatian internasional saat pernyataan Mikaido dipublikasikan.  Bagaimanapun juga hal ini menjadi sebuah penegasan bahwa Jepang sudah mempunyai kebijakan yang mendukung kemerdekaan Palestina.  Terlebih lagi dengan diterbitkannya buklet-buklet dari Departemen Luar Negeri Jepang tersebut.

Sedangkan bagi negara-negara Eropa Barat, prioritas utama mereka adalah menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat, meskipun Timur Tengah juga sangat penting karena kekayaan minyaknya.  Negara-negara Eropa Barat juga menghadapi ancaman terorisme akibat buntunya penanganan masalah Palestina.  Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa mereka harus memainkan peran positif dalam menyelesaikan masalah Palestina.  Khawatir dengan kemungkinan menggantungnya proses Camp David akibat diadakannya pemilihan umum di AS, Komisi Eropa mengeluarkan pernyataan mengenai Timur Tengah pada akhir pertemuan dua hari yang dilaksanakan pada tanggal 12-13 Juni 1980.  Pernyataan tersebut berbunyi “Rakyat Palestina…ditempatkan dalam sebuah posisi, dengan menjelaskan proses sesuai dengan kerangka perjanjian damai yang penuh pengertian dalam rangka melatih kemampuan mereka untuk dapat sepenuhnya menentukan nasib sendiri.”

Jepang mendukung pernyataan Komisi Eropa.  Akan tetapi, Jepang dan Eropa Barat hanya memiliki sedikit daya ungkit terhadap Israel.  Hanya AS yang dapat menggunakan pengaruhnya untuk meyakinkan Israel agar mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakannya.

Pada kabinet Masayoshi Ohira yang kedua, perhatian terhadap masalah Timur Tengah meningkat.  Jepang mengungkapkan kemajuan dan rasa simpati kepada bangsa Palestina.  Okita berpendapat bahwa ada potensi besar dalam bidang persahabatan antara negara-negara Arab dan Jepang.  Tidak banyak pejabat penting pemerintahan yang berkunjung ke Timur Tengah untuk melakukan pembicaraan walaupun banyak saran mengenai kemungkinan partisipasi Jepang dalam pembangunan industri negara-negara Arab.  Pemerintah Jepang belum menerjemahkan saran-saran tersebut dengan cara yang memadai ke dalam suatu tindakan positif.
Adanya dukungan dan keberpihakan Jepang terhadap negara-negara Arab, terutama Palestina, agak mengejutkan mengingat Jepang sebelumnya juga pernah mengakui berdirinya negeri Israel dan bahkan sudah menjalin hubungan dengan negara tersebut, baik hubungan diplomatik maupun hubungan dagang.  Hubungan Israel dengan Jepang dimulai pada tanggal 15 Mei 1952 saat Jepang mengakui Israel dan Kedutaan Israel dibuka di Tokyo.  Pada tahun 1954, Duta Besar Jepang di Turki menerima peran tambahan sebagai Menteri untuk Urusan Israel.  Tahun berikutnya, Kedutaan Jepang dengan menteri yang berkuasa penuh dibuka di Tel Aviv, ibukota Israel.

Pada tahun 1955, Israel dan Jepang menandatangani perjanjian kerja sama di bidang sains dan teknologi.  Hubungan antara kedua negara itu pada awalnya tidak terlalu mulus, tetapi setelah tahun 1958, permintaan Jepang terhadap komoditas dari Israel meningkat.  Pada tahun 1963, masing-masing kedutaan mereka dinaikkan statusnya menjadi kedutaan besar.  Namun, pada tanggal 22 November 1973, pemerintah Jepang mulai mempertimbangkan kembali hubungannya dengan pemerintah Israel akibat Israel tidak mau melepaskan wilayah-wilayah yang didudukinya sejak tahun 1967 meskipun tidak sampai menyebabkan putusnya hubungan.
Jepang tidak memberikan bantuan apapun ke Israel, kecuali menerima pelajar-pelajar dari Israel yang ingin melanjutkan studi di Jepang.  Jepang memberikan bantuan darurat untuk bidang kesehatan, obat-obatan, dan perumahan kepada Otoritas Palestina sejak “Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements” (Deklarasi Prinsip-prinsip Pengaturan Pemerintahan Sementara) antara Israel dan PLO ditandatangani pada bulan September 1993.

Kesimpulan
Jepang memang memiliki kedekatan dengan AS.  Namun, hal itu tidak berarti Jepang harus mengikuti segala macam kebijakan yang dikeluarkan oleh AS. Jepang dan AS berdiri terpisah dalam banyak isu yang berhubungan dengan Timur Tengah.  Bila ada satu wilayah di mana Jepang secara konsisten mengambil kebijakan independen yang kadangkala bertentangan dengan kebijakan AS, itu adalah Timur Tengah.  Bahkan sejak Jepang mendapatkan kembali “kemerdekaannya” pada tahun 1952, Jepang telah mempromosikan hubungan politik, ekonomi, dan kebudayaan dengan negara-negara Arab.  Dengan motto “hanya ada satu Israel dan banyak Arab”, para diplomat dan pejabat perdagangan Jepang diperintahkan oleh perdana menteri untuk mengembangkan hubungan bisnis dengan negara-negara Arab, sementara kepentingan potensial di Israel, negara yang telah lebih dahulu menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Jepang, justru diabaikan.  Bagi negara miskin sumber daya alam yang sedang mencoba untuk membangun, sumber daya alam dan pasar Asia merepresentasikan komponen kritis dalam kebijakan industrialisasi negara pasca perang.

Dalam hal tersebut, penerapan prinsip seikei bunri (pemisahan politik dari ekonomi) juga membawa keuntungan bagi Jepang.  Di satu sisi, Jepang ingin memulihkan hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia, terutama yang permah dijajahnya.  Di sisi lain, Jepang sangat membutuhkan pasokan minyak dari negara-negara di kawasan Timur Tengah.  Ketika konflik Arab-Israel yang disebabkan oleh didudukinya sebagian wilayah milik negara-negara Arab, terutama Palestina, oleh Israel, negara-negara produsen minyak di Timur Tengah menaikkan harga minyak sangat tinggi.  Hal itu menyebabkan negara-negara maju sulit untuk memperoleh pasokan minyak dengan harga yang murah.  Sebenarnya, hal tersebut dilakukan untuk mencegah AS dan sekutunya, yang merupakan para penyokong Israel, membeli minyak mereka.  Oleh karena itu, Jepang mengambil kebijakan berbeda dengan memberikan dukungan bagi negara-negara Arab sehingga dapat memperoleh minyak mereka sekaligus membuka pasar ekspor baru yang prospektif.  Keuntungan lainnya yang juga didapat Jepang adalah pulihnya nama baik negara tersebut setelah negara-negara di kawasan Asia “memberikan acungan jempol” kepadanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger