Peran Strategis Pembangunan Industri Pertahanan

Oleh: Habibi Yusuf Sarjono, ST, MHan


Pendahuluan

Industri pertahanan merujuk kepada pengelompokkan (cluster) dari aktivitas industri yang kegiatan utamanya berorientasi pada produksi alat-alat kebutuhan pertahanan. Alat-alat kebutuhan pertahanan ini meliputi alat utama system senjata (alutsista), baik itu senjata ringan, senjata berat, maupun kendaraan tempur dan kendaraan pendukung kegiatan pertahanan.

Dalam konteks pertahanan nasional, industri pertahanan berperan dalam mendukung dan memperkokoh kekuatan pertahanan nasional, terutama pada aspek teknologi yang meliputi infrastruktur dan alutsista. Selain teknologi, komponen yang membentuk kekuatan pertahanan nasional adalah sumber daya manusia (jumlah personil, kemampuan dan strategi tempur, moral juang) dan sumber daya alam (luas wilayah, benteng alam, kekayaan mineral, bahan mentah, bahan pangan, bahan energi).

Keseluruhan kekuatan pertahanan nasional tersebut digunakan untuk melindungi kepentingan nasional kita terhadap potensi ancaman dari luar negara. Secara operasional, penggunaan kekuatan pertahanan nasional tersebut diatur dalam doktrin pertahanan nasional, yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai regulasi pemerintah, salah satunya adalah Buku Putih Pertahanan Indonesia yang dibuat Departemen Pertahanan pada tahun 2008.
Secara anatomis, konsep ini bisa digambarkan sebagai berikut:

Dari situ bisa dilihat bahwa segala kebijakan yang bertujuan untuk membangun atau memperkokoh kemampuan pertahanan nasional, di mana industri pertahanan sebagai salah satu komponennya, tidak bisa dilepaskan dari “grand design” pengelolaan negara berupa kepentingan nasional yang hendak diperjuangkan dalam rangka menghadapi atau menangkal potensi ancaman terhadap negara kita.

Stakeholder Industri Pertahanan Nasional
Industri pertahanan nasional terdiri dari industri yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan besar yang berstatus BUMN maupun perusahaan-perusahaan lainnya yang bukan BUMN (swasta). Secara umum, keberadaan industri pertahanan tersebut adalah untuk mendukung penyediaan semua produk-produk teknologi yang memperkuat pertahanan nasional.

Dalam pelaksanaannya, keberadaan industri pertahanan tidak bisa dipandang sebagaimana industri lainnya (meskipun status perusahaannya adalah BUMN). Hal ini dikarenakan konsumen atau pengguna (user) dari produknya bersifat monopoli, yaitu negara (TNI atau negara lain yang memesan dengan persetujuan negara). Untuk itu, keberlangsungan industri pertahanan mesti dipandang juga melalui peran para stakeholdernya. Berikut ini adalah gambaran umum dari para stakeholder yang mempengaruhi keberlangsungan industri pertahanan nasional.
Secara deskriptif, berikut adalah peran masing-masing stakeholder yang mempengaruhi keberlangsungan industri pertahanan.
Stakeholder
Posisi
Peran
Presiden
Penanggung jawab pemerintahan tertinggi
Membuat arah & kebijakan tertinggi utk pembangunan, termasuk pertahanan dan perindustrian
DPR
Lembaga perwakilan rakyat
Membuat UU sebagai kebijakan nasional, melakukan penajaman (shaping) dlm pelaksanaan pemerintahan melalui rapat kerja & pengawasan, membahas & mengesahkan distribusi anggaran pertahanan
Kementerian Pertahanan
Pengelola arah & kebijakan pertahanan
Membina industri pertahanan, membuat roadmap alutsista nasional, mengelola akuisi & logistic pertahanan
Kementerian Perindustrian
Pengelola arah & kebijakan industri nasional
Memberikan insentif kepada industri nasional dgn kategori tertentu
Kementerian BUMN
Pengelola BUMN
Mengatur manajerial perusahaan, efisiensi, target-target pemerintah
Kementerian Ristek
Pengelola kemajuan ristek
Mendukung kemajuan teknologi baru, menjembatani kegiatan riset & industri
Kementerian Keuangan
Pengelola keuangan negara
Mengatur pos-pos distribusi anggaran tiap lembaga negara, termasuk memberi insentif fiscal (pajak)
Lembaga Riset (kampus, LPND)
Pelaksana kegiatan riset & inovasi teknologi
Melakukan kegiatan riset & teknologi baru, khususnya di bidang pertahanan
TNI
Pelaksana pertahanan negara yg menggunakan produk industri pertahanan
Menjadi pemesan utama produk industri pertahanan, menjabarkan spesifikasi teknis alutsista yang diperlukan
Perbankan
Penyediaan pembiayaan
Meberikan fasilitas pembiayaan produksi dalam skala besar (umumnya kredit) serta investasi baru
Industri lainnya
Supply chain industri
Memasok bahan baku & bahan lainnya dalam rantai produksi

Salah satu karakteristik dari industri pertahanan (di negara manapun) adalah adanya campur tangan negara yang relative lebih tinggi dibandingkan terhadap industri-industri lainnya. Untuk itu, pemahaman akan banyaknya stakeholder yang ikut berperan terhadap keberlangsungan industri pertahanan dalam memproduksi alat-alat kebutuhan pertahanan sangat diperlukan. Hal ini terutama untuk memetakan dan membagi peran-peran strategis yang bisa dijalankan oleh masing-masing stakeholder.

Kunci utama dari banyaknya stakeholder yang terlibat adalah adanya kepemimpinan yang efektif mulai dari mengarahkan kebijakan nasional, menentukan prioritas kepentingan nasional yang ingin diperjuangkan & dipertahanankan terhadap ancaman dari luar, lalu membuat turunan hingga ke tataran operasional, hingga menjamin pelaksanaannya bisa berjalan sesuai yang direncanakan secara efektif dan efisien.
Profil Industri Pertahanan Nasional
Keberadaan industri pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan dari peran Prof. B.J. Habibie yang menginisiasi dibentuknya industri strategis. Dinamakan industri strategis karena sifatnya yang strategis tidak hanya bagi industri itu sendiri (teknologi tinggi, efisiensi, laba), tapi juga dampaknya bagi negara dalam skala luas (ekonomi, pertahanan, perhubungan, komunikasi, industri berat, dll).

Sejak konsep industri strategis ditiadakan, maka perusahaan-perusahaan BUMN besar seperti PT Pindad, PT DI (dulu IPTN), PT PAL, PT Krakatau Steel, PT LEN, dll kini dituntut untuk bisa menjalankan industri sebagaimana lainnya, di antaranya yaitu efisiensi, ekonomis, dll. Salah satu perusahaan yang merasakan dampak yang begitu besar dengan perubahan kebijakan ini adalah IPTN yang sejak reformasi diganti nama menjadi PT DI. Insentif besar yang banyak diberikan pada masa lalu secara drastis dihilangkan dan mesti bersaing secara normal. Padahal, sebelumnya ada harapan besar bahwa IPTN dapat menjadi industri pendorong bagi bangkitnya kemajuan teknologi nasional menuju negara yang berbasis industri.

Prinsip ini yang seringkali tidak sejalan dengan sifat industri pertahanan itu sendiri. Konsumen yang monopoli membuat industri pertahanan hanya bergantung pada negara (TNI) sebagai pemesannya. Kalaupun mau melebarkan sayap ke pasar luar negeri, belum tentu bisa bersaing dan belum tentu disetujui oleh pemerintah (bayangkan kalau senjata buatan Pindad dibeli oleh negara yang akan memerangi Indonesia). Sementara itu, seringkali produsen pertahanan juga kesulitan untuk mengembangkan investasi dan melakukan riset karena minimnya pembiayaan & tidak adanya insentif dari pemerintah.

Contoh kasus yang sangat relevan dengan kondisi ini adalah pada produksi 150 unit panser Anoa 6X6 oleh PT Pindad. Pada medio 2007 -2008 lalu, Indonesia ambil bagian dalam misi penjaga perdamaian PBB di Libanon. Sebagai salah satu kepentingan nasional Indonesia untuk turut serta menjaga perdamaian dunia, maka TNI sebagai pelaksana membutuhkan alutsista yang memadai, salah satunya adalah kendaraan pengangkut pasukan berupa Panser. Selain untuk kepentingan misi PBB, tentu saja Panser juga dibutuhkan untuk kepentingan pertahanan di Indonesia.

TNI bertindak sebagai pengguna (user). Maka TNI membutuhkan spesifikasi Panser yang sesuai dengan kebutuhannya (operational requirement). Secara pragmatis, TNI tidak terlalu mempedulikan apakah Panser itu buatan Indonesia atau buatan luar negeri. Ukurannya adalah kualitas. Dan karena selama ini TNI selalu membeli dari luar (Perancis), maka itu adalah pilihan awalnya. Asalkan bisa memenuhi syarat dan bisa diperoleh secara cepat.

Di sisi lain, industri nasional, dalam hal ini PT Pindad, telah memiliki kemampuan yang mencukupi untuk membuat Panser dengan spesifikasi tersebut. Namun, Pindad tetap membutuhkan banyak dukungan, mulai dari secara teknis bahan-bahan pendukungnya (mesin, baja spesifikasi armor, dan lain-lain), hingga pembiayaan produksi (produksi skala besar). Kebutuhan Pindad ini tidak bisa dipenuhi secara cepat, di antaranya karena kesulitan dalam pembiayaan dan bahan baku khususnya baja spesifikasi armor.

Jika kondisi ini dibiarkan layaknya “business as usual”, maka bisa dipastikan TNI akan memilih untuk membeli Panser dari luar negeri (preferensi ke Perancis). Namun kemudian, dengan dukungan kepemimpinan yang efektif, akhirnya setelah mendapat presentasi dari Pindad, pemerintah (oleh Wapres) setuju untuk memesan panser tersebut dari Pindad, tentu saja Departemen Pertahanan diperintahkan untuk mengatur & TNI wajib memakainya. Lalu dari situlah, satu persatu kendala yang tadinya dihadapi mulai diatasi (dengan bantuan pemerintah juga). Mulai dari pembuatan baja armor oleh Krakatau Steel hingga pembiayaan produksi melalui perbankan dalam negeri.

Hasil akhirnya cukup fantastis. Setelah diuji coba, Panser Anoa buatan Pindad tidak kalah dengan Panser buatan Perancis (toh mesinnya sama—masih impor dari Perancis). Baja armornya juga kuat, sesuai dengan standar NATO dan PBB. Sementara itu, kelebihan lainnya yang bisa diambil adalah harganya yang lebih murah (Rp 7 Miliar/unit, bandingkan dengan beli dari Perancis sekitar Rp 14 Miliar/unit), mendukung keterlibatan industri lokal lainnya dalam penyediaan bahan baku (baja, wiring, aksesoris lainnya), peningkatan kemampuan teknologi industri, dan tentunya kemandirian yang berarti segala kelemahan Panser kita tidak diketahui oleh negara lain.

Dampak positif lainnya, beberapa negara lain ikut melirik keberhasilan Pindad ini dengan ingin ikut memesan Panser serupa, atau dengan kerja sama teknologi untuk membuat Panser dengan tipe lainnya. Ini artinya juga meningkatkan pangsa pasar dan daya saing industri nasional kita.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan industri pertahanan tidak bisa dijalankan “seadanya”. Harus ada kebijakan yang kuat, jelas, dan terarah dari pemerintah. Ini sekaligus juga menjadi indikasi bahwa banyaknya stakeholder industri pertahanan tadi mesti diurai melalui kepemimpinan yang efektif yang bisa mengkoordinasikan lintas instansi.

Analisis SWOT Industri Pertahanan Nasional
Kekuatan (Strength):
  1. Kekayaan alam (sebagai bahan baku industri)
  2. SDM (adanya tenaga ahli yang menimba ilmu di negeri orang yang menguasai teknologi tinggi persenjataan)
  3. TNI yang solid, dengan kemampuan & strategi yang cukup handal dan moral juang tinggi
Kelemahan (Weakness):
  1. Knowledge management tentang teknologi pertahanan (ada banyak tenaga ahli tapi kemampuannya tidak tersinergikan)
  2. Koordinasi antarinstansi dan kepemimpinan yang lemah
  3. Politik yang tidak stabil dan banyak tarik-ulur (terutama dalam soal pengadaan/akuisisi alutsista)
  4. Kebijakan & komitmen yang kuat & tegas dari pemerintah untuk memajukan industri pertahanan nasional
Peluang (Opportunity):
  1. Negara yang besar (artinya banyak formasi pertahanan yang masih bisa diisi dengan alutsista)
  2. Dukungan lembaga riset (termasuk kampus) dan suplai SDM yang tertarik di bidang pertahanan
  3. Kebijakan normatif pemerintah yang mendukung revitalisasi industri pertahanan nasional
  4. Kebijakan normatif pemerintah yang mendukung prioritas penggunaan industri dalam negeri
  5. Adanya gelombang reformasi birokrasi & reformasi sector keamanan yang menghendaki adanya transparansi dan good governance di semua lini
  6. Masih ada negara-negara yang mau bekerja sama & alih teknologi secara nyata di bidang pertahanan (berbeda dengan AS yang tidak menyediakan hal tsb)
Ancaman (Threat):
  1. Korupsi
  2. Politik yang tidak stabil, terutama setiap pergantian pemerintahan selalui berganti kebijakan
  3. Kepentingan negara besar yang tidak suka dengan kemandirian Indonesia atau terancam akan ditinggalkan Indonesia sebagai konsumennya
Membangun Industri Pertahanan
Salah satu pertanyaan yang penting adalah, “perlukah industri pertahanan nasional dibangun atau ditingkatkan?”
Tentu banyak jawaban atas pertanyaan ini. Salah satunya adalah versi ekonomi arus utama yang menghendaki adanya efisiensi, mekanisme pasar, dan pengurangan peran negara dalam campur tangan terhadap industri pertahanan. Salah satu pertimbangannnya adalah soal perilaku koruptif dan inefisiensi yang selalu muncul pada BUMN-BUMN kita. Singkatnya, segala sesuatu yang diatur negara seolah-olah “pasti tidak beres”.

Asumsi tersebut tidak salah. Dan secara ekonomis, memang diakui bahwa semakin diatur oleh negara maka akan semakin menumbuhsuburkan inefisiensi dan korupsi. Namun perlu kita pahami, bahwa itu adalah asumsi generik, artinya berlaku secara umum. Hal ini bisa juga diartikan bahwa tidak semua sector akan begitu, dan tidak semua permasalahan tersebut diselesaikan dengan “swastanisasi” dan “liberalisasi”.
Sebagai contoh, kita bisa membandingkan dengan AS, dan Eropa.

Sejak tahun 2000, pemerintah AS menginisiasi proyek pembuatan pesawat tempur paling canggih (generasi kelima), yaitu JSF (Joint Strike Fighter) F-35. Pesawat ini ditujukan untuk memodernkan banyak pesawat tempur milik AS, yang konsumennya diperluas ke banyak sekutu AS (NATO, Australia, Eropa). AS yang negara kiblatnya ekonomi liberal, ternyata tidak menyerahkan sepenuhnya proyek ini kepada industri pertahanan. Dephan AS justru yang menginisiasi program ini, termasuk menyediakan dana riset awal dengan penentuan spesifikasi teknis yang dibutuhkan. Lalu didapatkan dua calon kontraktor yang bersaing mendapatkan proyek (tender): Lockeed Martin (produsen hamper semua pesawat tempur unggulan AS) dan Boeing (produsen pesawat komersial yang ingin ikut menjajaki bidang militer). Kedua perusahaan ini diberikan dana riset yang sama, lalu di tengah jalan banyak terjadi penyesuaian sehingga dana risetnya ditambah.

Lalu setiap negara pemesan boleh meminta customize tertentu, tapi otoritas tetap ada di Dephan AS. Jadi pemerintah AS (Dephan) bertindak sangat dominan dan bahkan tidak lagi menerapkan yang umumnya disebut “mekanisme pasar” tersebut. Dephan AS memegang monopoli dan menentukan sampai hal-hal detil setiap “do and don’t”.
Lain lagi dengan Eropa. Untuk mewujudkan konsep pertahanan Eropa bersama, 4 negara besar Eropa membuat proyek bersama produksi pesawat tempur canggih dengan spesifikasi yang berbeda dengan JSF F-35, yaitu Eurofighter Typhoon. Eurofighter ini merupakan kerja sama Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman. Pelaksana mulai dari riset dan produksi adalah perusahaan-perusahaan produksi pesawat masing-masing, namun besaran kontrak dan pembagian peran produksinya tetap dilakukan oleh negara dengan proporsi sesuai dengan proporsi anggaran yang diturunkan oleh tiap-tiap negara. Hal ini terlihat bahwa produsen peswat tempur di satu negara pun tidak bisa bekerja sama dengan produsen dari negara lain tanpa campur tangan negara. Dan tentunya, baik proyek Eurofighter maupun JSF F-35 tidak akan pernah ada kalau tidak ada pendorong & fasilitatif yang kuat dari pemerintahnya (government driven-industri).

Dengan kata lain, kedua contoh tersebut bisa menggambarkan betapa industri pertahanan itu bukanlah industri yang bisa dipandang secara ekonomis semata, namun juga ada peran besar dari pemerintah sebagai pemegang saham terbesar (dan satu-satunya) terhadap kepentingan pertahanan negaranya masing-masing. Dari sini, bisa kita lihat bahwa industri pertahanan sangat erat kaitannya dengan kepentingan pertahanan nasional yang merupakan turunan dari kepentingan nasional (national interest).

Kemandirian dan Efek Penggentar
Kepentingan utama yang melatarbelakangi perlunya industri pertahanan didorong dan ditingkatkan adalah kebutuhan akan kemandirian dan efek penggentar yang tinggi. Kemandirian dibutuhkan karena kita pernah merasakan dan sedang merasakan pengalaman pahit dengan membeli alutsista dari luar. Selain harganya mahal, kita menjadi tidak sepenuhnya berdaulat. Sedikit saja dianggap melanggar HAM, maka AS akan mengembargo mulai dari suku cadang hingga penarikan pesawat yang sedang menjalani perawatan atau perbaikan di pabrik asalnya di sana. Jangankan soal adanya alih teknologi, kelemahan kita justru sangat jelas dikuasai dan bisa dimainkan oleh mereka. Maka sangat jauh kalau kita ingin membangun postur pertahanan yang kuat dan berwibawa.

Begitu pula ketika TNI melakukan operasi pemberantasan GAM di Aceh pada tempo dulu. Sebagian kendaraan tempur yang dibeli dari Inggris kemudian ditarik kembali melalui tekanan dari pemerintah Inggris karena tidak sesuai dengan kebijakan mereka (di antaranya kendaraan tersebut tidak boleh digunakan untuk berperang di dalam negeri).

Mengenai efek penggentar (deterrent effect), ini adalah konsep abstrak yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh teknologi yang tinggi. Suatu negara, apabila memiliki kekuatan militer yang tidak bisa diketahui oleh negara lain, maka itu sudah cukup menjadi efek penggentar, meskipun skalanya tentu akan berbeda-beda. Apalagi kalau diketahui bahwa teknologi yang dipakai oleh negara itu sangat genuine, tidak bisa ditembus, dan tidak bisa ditandingi. Semua negara produsen alusista selalu menyimpan suatu teknologi yang hanya dikuasai oleh negaranya sendiri dan tidak dijual ke negara lain. Hal ini salah satunya untuk antisipasi supaya dalam gelar kekuatan total, alutsista tersebut tidak bisa ditangkal oleh negara manapun.
Kedua hal ini tentu mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana mewujudkannya?

Membangun industri pertahanan nasional sejatinya adalah menjaga supaya industri nasional tetap bekerja secara progresif. Di satu sisi, dapat memperkuat kemampuan pertahanan nasional. Di sisi lain, dapat menjalankan roda perekonomian dengan efek bola salju yang mampu menghidupkan industri-industri lain dalam rantai produksinya, ataupun melahirkan industri-industri baru yang beragam. Secara makro, hal ini juga akan mendorong kemajuan teknologi yang lebih tinggi lagi, dan pada gilirannya akan menghasilkan efisiensi dan meningkatkan competitive advantage negara.
Untuk itu, berikut adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk membangun dan mendorong industri pertahanan nasional:
  1. Mempertegas arah & kebijakan pertahanan negara, yang bersumber dari kepentingan nasional. Di sini diperlukan kepemimpinan nasional tertinggi dan peran DPR untuk memastikan dan menajamkannya. Hal ini sebagai pedoman atas seluruh penyelenggaraan pertahanan negara, yang berlaku efektif hingga diturunkan ke operasionalitasnya.
  2. Memperjelas roadmap kebutuhan alutsista nasional mulai dari jangka pendek, menengah, dan panjang. Roadmap ini dibutuhkan untuk mengetahui teknologi apa saja yang dibutuhkan dan mana saja yang bisa dipersiapkan. Seringkali kelemahan industri nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan TNI karena membutuhkan waktu untuk melakukan riset dan pengembangan teknologi. Dengan adanya roadmap ini, pemerintah juga bisa membuat kalkulasi kekuatan pertahanan nasional dalam jangka waktu tertentu.
  3. Meningkatkan peran kepemimpinan dalam koordinasi antarinstansi. Kementerian Pertahanan sebagai Pembina industri pertahanan nasional harus memainkan peran kepemimpinan yang kuat dan efektif dalam mengkoordinasikan antarinstansi dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, baik itu dengan lembaga riset untuk mendukung kemampuan teknologi & inovasi baru, lembaga keuangan untuk penyediaan fasilitas pembiayaan, industri lainnya untuk menyuplai rantai produksi, hingga mengarahkan TNI untuk tetap prioritas membeli produk dalam negeri yang berkualitas tinggi.
  4. Peran optimal yang bisa dilakukan oleh DPR sebagai lembaga dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran di antaranya:
    1. Mempercepat pembahasan pembuatan UU Keamanan Nasional sebagai payung utama kebijakan keamanan nasional (termasuk di dalamnya kepentingan nasional, persepsi ancaman, kebijakan umum pertahanan, dll), UU Revitalisasi Industri Pertahanan yang mendorong industri pertahanan nasional sekaligus mendukung perekonomian nasional, dan peraturan-peraturan yang relevan lainnya.
    2. Memberikan penajaman kepada pemerintah (Kemenhan, TNI) sebagai mitra kerjanya untuk lebih fokus pada pengadaan alutsista melalui industri pertahanan dalam negeri dan melakukan kerja sama riset & pembinaan kemampuan industri dalam negeri tersebut.
    3. Melakukan pengawasan terhadap proses akuisisi/pengadaan alutsista oleh pemerintah secara lebih ketat. Mengingat banyak produsen alutsista yang bersifat monopoli, sangat rawan terjadi korupsi tanpa adanya trade-off atas pembelian alutsista yang proporsional.
    4. Meminta alokasi anggaran pertahanan khusus untuk pembinaan industri pertahanan nasional, untuk memastikan bahwa dukungan terhadap industri pertahanan ini adalah nyata & efektif sejak dalam tahapan riset.
Penutup
Membangun industri pertahanan nasional berarti juga membangun kekuatan pertahanan nasional yang semakin kokoh, mandiri, dan berdaya gentar tinggi, berarti juga membangun perekonomian nasional melalui efek bola salju yang berimbas positif pada industri-industri pendukung lainnya. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat dan efektif untuk mengarahkan, mengkoordinasikan, dan menggerakkan semua potensi komponen bangsa dalam mewujudkannya.
--
Penulis adalah alumnus Magister Studi Pertahanan ITB, program kerja sama dengan Defence Management Master Program, Cranfield University (UK)

tandef

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger