I. Pendahuluan
Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar dan terjadi dengan sangat cepat dalam sistem internasional. Perubahan yang menciptakan transformasi pada sistem internasional ini menimbulkan harapan dan tantangan sekaligus baru. Salah satu tantangan baru yang mengundang banyak perhatian adalah mengenai konsep keamanan. Pengkajian masalah keamanan yang semula berpusat pada kekuatan militer dan penggunaannya dalam mencapai tujuan-tujuan politis, mendapat tantangan baru dalam mengatasi ancaman perubahan dimensi-dimensi keamanan. Kepentingan ekonomi negara, isu-isu baru seperti lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM), keimigrasiaan, narkotika dan seterusnya, menjadi ancaman baru bagi kajian keamanan.
Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin juga telah berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Seperti halnya dengan kebanyakan negara yang sedang berkembang, maka masalah keamanan diantara negara-negara ASEAN selalu menjadi fenomena dengan banyak aspek yang ditandai oleh saling ketergantungan yang kompleks antara hal-hal dalam negeri dan luar negeri. Pada saar era Perang Dingin, ASEAN yang memiliki salah satu tujuan untuk menciptakan tatanan regional yang mandiri, mengartikan kemandiriannya tersebut sebagai upaya untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik dengan negara-negara lain terutama negara adikuasa. Namun setelah Perang Dingin berakhir, tatanan regional yang diinginkan ASEAN, dan hubungan ASEAN dengan negara-negara besar dari luar kawasan tentu perlu ditinjau kembali.
Lingkungan strategis yang baru mendorong ASEAN untuk mengambil berbagai kebijakan baru dalam masalah politik dan keamanan. ASEAN tidak dapat lagi hanya memperhatikan masalah dan kerjasama bilateral. Perubahan konstelasi politik yang terjadi di Asia Pasifik dewasa ini telah mendorong negara-negara di kawasan ini, tidak terkecuali para anggota ASEAN, untuk semakin memperhatikan masalah keamanan. Khususnya, meningkatnya persengketaan mengenai kepulauan Spartly yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam). Persengketaan yang ditimbulkan dari konflik laut Cina Selatan ini menimbulkan konflik bilateral (bilateral dispute) dan sengketa antar negara (multilateral dispute) menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya konflik militer , dimana beberapa negara anggota ASEAN terlibat diantaranya. Hal inilah yang mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan masalah keamanan regional kedalam agenda resmi ASEAN.
Tulisan berikut ini akan menggambarkan bagaimana konflik Laut Cina Selatan menciptakan dilema keamanan diantara negara-negara di kawasaan Asia Pasifik dan bagaimana peran ASEAN sebagai peace maker tertantang optimalisasinya dalam menangani persolaan keamanan ini, mengingat posisi ASEAN menjadi tidak netral akibat terlibatnya beberapa negara anggota ASEAN dalam persengketaan Laut Cina Selatan.
II. Sejarah Konflik Laut Cina Selatan
Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Makau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC.
Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.
Di Laut Cina Selatan sendiri terdapat empat kelompok gugusan kepulauan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut Cina Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan Taiwan.
Mengenai penamaan Kepulauan di Laut Cina Selatan umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spartly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang, sedangkan RRC lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Masyarakat internasional menyebutnya Kepulauan Spartly yang berarti burung layang-layang.
A. Latar Belakang Sengketa
Sengketa teritorial di kawasan laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel mempunyai perjalanan sejarah konflik yang panjang. Sejarah menunjukkan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara diantaranya Inggris, Prancis, Jepang, RRC, Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei, Filipina dan Taiwan. Sengketa teritorial di kawasan laut Cina Selatan bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga bercampur dengan masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut masalah penggunaan teknologi baru penambangan laut dalam (dasar laut) yang menembus kedaulatan negara.
Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan, diawali oleh tuntutan Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut Cina Selatan yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen Kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing menegaskan, yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan Spartly adalah Cina, didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han (206-220 Sebelum Masehi). Namun Vietnam membantahnya, dan mengganggap Kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah Kedaulatannya. Vietnam menyebutkan Kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke 17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan sesuatu negara.
Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saar Perang Dunia II berakhir Vietnam Selatan menduduki Kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus pulau di Kepulauan Spartly. Selain Vietnam Selatan, Kepulauan spartly juga diduduki oleh Taiwan (sejak Perang Dunia II) dan Filipina (tahun 1971).
Sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian Timur kepulauan Spartly yang disebut sebagai Kelayaan. Tahun 1978 menduduki lagi gugus pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan ritu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun (kososng).Filipina juga menunjuk Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spartly, mengemukakan diserahkan kepada negara mana.
Malaysia juga menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan Spartly, yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia, Langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu laksamana diduduki oleh Filipina dan Amboyna diduduki Vetnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau.
Klaim tumpang tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap seluruh wilayah kepulauan bagian Selatan kawasan Laut Cina Selatan. Sampai saat ini, negara yang aktif menduduki disekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Sementara RRC sendiri baru menguasai kepulauan tersebut pada tahun 1988, secara agresif membangun konstruksi dan instalansi militer serta menghadirkan militernya secara rutin di kepulauan tersebut.
Pada momentum yang bersamaan RRC melakukan pendekatan terhadap Filipina dan malaysia untuk mencari penyelesaian sengketa atas Kepulauan Spratly secara damai. Pada waktu itu beberapa negara yang mengklaim laut Cina Selatan telah sepakat untuk tidak menggunakan senjata sebagai alat penyelesaian sengketa. Akan tetapi RRC mengadakan pendekatan kepada kedua negara tersebut, RRC terus bersikeras memperkuat kehadirannya di kepulauan Spralty dengan meningkatkan sejumlah tentaranya di pulau kecil yang lain di kawasan Laut Cina Selatan.
Sikap dan tindakan RRC itu merupakan bentuk frontal penolakan terhadap serentetan protes yang dilakukan Vietnam dan seru-seruan agar diadakan perundingan-perundingan mengenai Kepulauan Spratly. Hal ini semakin jelas karena RRC berusaha mengukuhkan kehadirannya di Laut Cina Selatan, secara de jure, dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Febuari 1992, dan telah diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya, sedang de facto, Cina telah memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut, serta melakukan modernisasi kekuatan pertahanan menuju ke arah tercapainya armada samudra.
Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan.
B. Sengketa Bilateral (Bilateral Dispute)
Pada perkembangannya perebuatan wilayah seputar Laut Cina Selatan semakin memanas, dan konflik-konflik bilateral tidak dapat dihindarkan. Sengeketa Bilateral ini tidak dapat dianggap sepele, karena pada akhirnya akan menimbulkan ketegangan bagi negara-negara sekitarnya. Sengketa antara RRC dan Vietnam misalnya. Sengketa dua negara ini dianggap yang paling lama dan keras, bahkan pernah berubah menjadi bentrokan senjata, pada tahun 1974 di Paracel. Konflik RRC-Vietnam ini juga dilatarbelakangi persaingan strategis, baik dalam konteks Timur-Barat dalam kasus RRC-Vietnam Selatan, mapun dalam konteks persaingan regional, dalam kasus Vietnam (setelah bersatu) – RRC. Sengketa antara dua negara dini diperuncing dengan konflik teritorial mereka di wilayah lain. Konflik Malaysia-Filipina, berawal pada tahun 1979 ketika Malaysia menerbitkan Peta Baru dimana Landas Kontinennya mencakup wilayah dasar laut dan gugusan karang di bagian selatan Laut Cina Selatan yang kemudian memicu timbulnya konflik kedua negara tersebut.
Dalam konteks ASEAN, konflik Malaysia-Filipina mengalami hubungan pasang-surut, dan beberapa kali terjadi insiden yang menaikkan suhu politik dua negara. Konflik semakin memanas pada saat adanya usulan dari sejumlah politikus dan oposisi Filipina untuk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia.
Konflik bilateral juga terjadi pada negara Filipina dan Taiwan. Klaim dan kontra antara Filipina-Taiwan juga memperlihatkan situasi yang cukup rawan. Di Kepulauan Kalayan misalnya ternyata mengalami tumpang tindih diantara mereka. Wilayah yang paling dipertentangkan adalah Pulau Itu Abaa, yang oleh Filipina disebut Pulau Ligaw. Pada tahun 1988 Angkatan laut Filipina menahan 4 buah kapal nelayan Taiwan yang dituduh telah memasuki wilayah perairan Filipina di Kalayaan.
Selain konflik Filipina-Taiwan, filipina juga telah menghadapi beberapa kali pertentangan yang sengit dengan RRC yang berlangsung sejak tahun 1950-an. Hal ini bermula ketika sejumlah kalangan di Filipina mulai menunjukkan perhatiannya terhadap Spratly. Sementara itu media di RRC kerapkali mengeluarkan artikel dan peringatan yang menegaskan kedaulatan RRC atas Spratly. Pada dasarnya sengketa Filipina-RRC di Spratly relatif lebih tenang dibandingkan misalnya, sengketa Vietnam-RRC. Walaupun RRC menentang pertanyaannya klain Filipina mulai melancarkan aksi pendudukan terhadap sejumlah pulau dan gugusan karang di Kalayaan. Hal ini nampaknya merupakan dampak dari usaha RRC untuk memperbaiki kedudukan geopolitisnya di Asia Pasifik dengan “open door policy” nya dalam menjalin hubungan dengan negara-negara kawasan.
Namun dalam perkembangan terakhir, sengketa Filipina-RRC meningkat dengan adanya berita bahwa RRC telah menempatkan kapal perang dan membangun fasilitas baru di gugusan karang yang diklaim Filipina. Peselisihan dua negara ini semakin sukit dihindari pada 1995, ketika terjadi insiden di kawasan itu dimana militer filipina membongkar bangunan Cina di Spratly. Pada saat yang bersamaan, Angkatan laut Filipina menangkap nelayan Cina sehingga hubungan Cina-Filipina semakin menegang.
Selanjutnya adalah sengketa antara Malaysia-Vietnam. Sebagai seseama anggota ASEAN, Malaysia dan Vietnam kerapkali berbenturan karena persoalaan pendudukan Vietnam terhadap beberapa wilayah Malaysia termasuk Terumbu layang-Layang. Secara fisik wilayah tersebut dikuasai oleh Vietnam. Sebaliknya pada tahun 1977 Malaysia menerbitkan peta baru.
Lain halnya dengan sengketa Filipina-Vietnam di Spratly dimana terfokus pada cakupan 4 pulau atau gugusan karang yang kini dikuasai Vietnam yaitu (Southwest Cay) dalam bahasa tagalog adalah Pugad, Sin Cowe, Nam Yit, dab Sand Cay. Filipina menganggap keempat pulau itu sebagai bagian dari Kalayaan, yang diduduki secara tidak sah oleh Vietnam. Pada November 1999, terjadi ketegangan yang lebih besar antara dua negara ini, setelah pesawat pengintai filipina ditembak pasikan Vietnam. Pesawat Filipina berkali-kali terbang diatas sejumlah pulau disemenanjung Spratly.
Sementara itu Brunei yang merupakan satu-satunya pihak yang tidak mengklaim pulau Laut Cina Selatan, termasuk Spratly tetap saja mengalami konflik dengan Malaysia. Yaitu sengketa mengenai sebuah karang di sebelah selatan Laut Cina Selatan yang sewaktu pasang berada di bawah permukaan laut.
Brunei mengklaim gugusan karang itu dan juga landas kontinen di sekitarnya. Sementara Malaysia pada 1979 mengklaim gugusan karang tersebut dan mendudukinya serta telah membangun mercusuar diatas gugusan karang tersebut. Sengketa antara kedua negara ini relatif tenang. Meskipun gugusan karang ini sebenarnya merupakan konflik multilateral, karena diklaim pula oleh RRC, Vietnam dan Taiwan.
Konflik bilateral lainnya adalah antara Taiwan-RRC. Jika dilihat secara historis dari sisi politik teritorialnya, sesungguhnya tidak terdapat sengketa wilayah karena klaim RRC di Laut Cina Selatan sama dengan klain Taiwan. Terakhir adalah sengketa antara Indonesia-RRC yang tersangkut sengketa bilateral dalam masalah landas Kontinen dan ZEE sebagaimana sidefinisikan dalam konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Meskipun Indonesia bukan merupakan penuntut atas kepulauan atau bantuan di gugusan Spratly, akan tetapi Indonesia memiliki fakta sengketa bilateral dengan RRC. Sengketa ini tidak begitu menonjol ketimbang sengketa oleh enam negara lainnya dilaut Cina Selatan. Selain itu, RRC juga pernah menyatakan klaim terhadap sebagian Laut Natuna sampai ke perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat dan sekeliling Vietnam. Laut Natuna sangat vital bagi RRC karena kawasan itu merupakan alur pelayaran penting sebagai penghubung komunikasi di Utara –Selatan, dan Timur-Barat. Begitu pula RRC sudah melakukan kontrak eksplorasi minyak dengan Amerika Serikat di sekitar Pulau Hainan (sebelah utara Natura).
C. Sengketa Antar Negara (Multiple Dispute)
Masalah sengketa antar negara di kawasan, sangat terkait dengan aspek “national interest” masing-masing negara dalam mewujudjan keinginan mempertahankan wilayah pengaruh/hegemoni serta jaminan akan keselamatan pelayaran sebagai akibat yang disebabkan posisi strategis dan vital di kawasan Laut Cina Selatan. Klain teritorial tumpang tindih atas Laut Cina Selatan sesungguhnya bukanlah masalah baru. Secara tradisional, Cina termasuk Taiwan dan Vietnam telah menegaskan pemilikan mereka atas keseluruhan gugusan kepulauan Spratly dan sumberdaya yang ada di kawasan itu.
Pada perkembangan selanjutnya Filipina dan Malaysia juga mengklaim sebagian pulau di kawasan Spratly, sedangkan Brunei Darussalam mengklaim Louise Reef, gugusan karang yang terletak di luar gugus Spratly. Dalam masalah klaim multilateral, seringkali masalah klaim RRC, Taiwan dan Vietnam dibahas menjadi satu karena erat kaitannya dengan satu dengan lainnya, akibat perkembangan sejarah, misalnya antara RRC dan Taiwan, Vietnam Selatan, Vietnam Utara dan Vietnam setelah unifikasi.
Cina sebenarnya merupakan satu-satunya negara sampai Perang Dunia I yang mengklaim kedaulatan sepenuhnya atas seluruh Kepulauan Spratly, dengan mendasarkan klaimnya atas penemuan pertama. Masalah kedaulatan menjadi masalah yang sensitif anatara Prancis, Inggris dan Jepang pada akhir abad 19, padahal pada tahun 1876 Cina telah menyatakan bahwa kepulauan Spratly merupakan miliknya.
Saling Klaim juga dilakukan beberapa negara lainnya, antara lain; Taiwan mengklaim dan menduduki kembali (1956) kelompok kepulauan ini dengan menempatkan satu garnisiun berkekuatan 600 tentara secara permanen di pulau terbesar, yaitu Itu Aba (Taiping dalam bahasa Cina), serta membangun landasan pesawat dan instalasi militer lainnya; Vietnam Selatan kembali menegaskan haknya atas kepulauan Spratly dan Paracel (1951) dalam konfrensi Sanfrancisco. Bahkan setelah unifikasi, Vietnam menegaskan kembali tuntutannya atas kedua kepulauan tersebut pada berbagai kesempatan, dan vietnam secara teratur mengadakan patroli di sekitar Paracel.
Berbeda dengan ketiga negara sebelumnya, Filipina tidak mengklaim seluruh kepulauan Spratly dan tidak juga didasarkan atas alasan sejarah. Filipina pertama menyatakan klaimnya apada tahun 1946 di Majelis Umum PBB dan diulang lagi (1950) ketika Taiwan menarik pasukannya. Meskipun Filipina lebih belakangan menyatakan klaimnya atas gugusan Spratly, namun negara ini telah awal melakukan pendudukan militer, membuat landasan terbang dan menempatkan militer di kepulauan itu. Enam pulau yang diduduki Filipina merupakan pulau-pulau terbesar di kepulauan itu.
Sementara itu Malaysia baru kembali mengklaim (1979) atas 11 pulau karang di bagian Tenggara Kepulauan Spratly berdasarka pemetaan yang dilakukannya. Dan pada tahun 1983 melakukan survey dan menyatakan kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Dan Brunei Darussalam adalah yang terakhir menyatakan klaimnya atas sebagian kawasan Spratly. Klaim Brunei hampir serupa dangan Malaysia karena didasarkan pada doktrin Landas Kontinental, akan tetapi garis-garis batas ditarik secara tegak lurus dari dua titik ekstrem di garis pantai Brunei darussalam.
III. Konflik Bersenjata dan Militerisasi di Laut Cina Selatan
Konflik bersenjata di Paracel dan Spratly dipertajam dengan adanya klaim yang dipertegas melalui aksi pendudukan militer oleh sejumlah negara yang terlibat di dalamnya. Namun sistuasi konflik di kawasan itu selama tahun 1950-an hingga 1970-an relatif tenang. Ketenangan itu lebih disebabkan adanya sengketa yang lebih mendesak dikawasan itu, seperti berlangsungnya perang di Indocina.
Konflik senjata pertama kali terjadi di wilayah Laut Cina Selatan pada tahun 1974 yaitu antara Cina dan Vietnam. Kemudian terjadi untuk kedua kalinya pada tahunm 1988, dilatarbelakangi dengan makin intensifnya persaingan Cina-Vietnam di Indocina. Konflik senjata yang kedua antara Cina-Vietnam ini mengandung arti penting karena selain menunjukkan supremasi Cina di Spratly, juga membawa dua perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas kawasan ini di masa depan. Pertama, penegasan kembali klaim-klain Cina dan Vietnam atas kepulauan Paracel dan Spratly, kedua, meningkatnya militerisasi Cina, Vietnam, dan negara-negara pengklaim lainnya.
Terjadinya bentrokan militer antara Cina dan Vietnam pada pada Maret 1988 tersebutlah yang menjadi pendorong utama militerisasi Laut Cina Selatan dalam upaya menegaskan dan mengamankan kawasan tersebut, Sampai saat ini kecuali Brunei, masing-masing pihak telah menentukan “land base” diantara gugusan pulau-pulau Spratly, sekaligus menempatkan tentaranya di kawasan itu secara tidak menentu dan tanpa pola yang jelas. Beberapa posisi pendudukan Cina bahkan cukup jauh ke Selatan.
Hakikat dari berbagai klaim ini sangat jelas, yaitu mencari sumberdaya, berupa minyak dan gas, dapat diperkirakan sangat berlimpah di kawasan tersebut. Upaya-upaya eksplorasi terus berlanjut dan eksploitasi sumberdaya perikanan juga berlangsung.
Taiwan menduduki pulau terbesar dari kelompok spratly, Itu Aba sejak tahun 1956, dan menempatkan 600 tentara di pulau tersebut. Situasi mulai berubah sejak Cina mempercepat program modernisasi Angkatan Laut dan meningkatkan kehadiran militernya di kepulauan tersebut. Cina mulai mengirimkan pasukannya sejak tahun 1973 dan terus membentengi posisi mereka di Paracel dan gugusan Spratly.
Vietnam selatan menggunakan kemampuan militer atas klaimnya sejak tahun 1969 ketika negara itu mengirimkan pasukan ke Kepulauan Paracel. Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Spratly tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau kelompok Kepulauan Spratly. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Filipina merupakan negara pertama yang menggunakan kekuatan militer untuk menegaskan klaimnya di Laut Cina Selatan. Pada tahun 1968 Filipina menempatkan Marinir pada sembilan pulau.
Malaysia merupakan negara terakhir yang menempatkan pasukannya, pada akhir 1977 dan kini menduduki sejumlah sembilan pulau dari kelompok Kepulauan Spratly. Pada 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layang-layang. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk tidak menempatkan pasukannya di wilayah Spratly. Dalam kenyataannya Louisa Reef yang telah diklaimnya bahkan telah diambil alih oleh Malaysia.
Secara umum, negara negara pantai di Laut Cina selatan telah membangun kekuatan militer dalam beberapa waktu belakangan ini. Cina, misalnya kini sedang membangun kekuatan Angkatan Laut yang besar, berencana membeli dua kapal induk, dan membangun pangkalan udara militer yang dilengkapi radar canggih di Pulau Woody, kelompok Kepulauan Paracel. Pangkalan ini, bila telah selesai, memungkinkan Cina memberikan perlindungan udara terhadap Kepulauan Spratly. Selain itu, negara-negara lainnya juga meningkatkan kemampuan Angkatan Lautnya untuk menjaga klaim dan pendudukannya. Akhir-akhir ini di kawasan Kepulauan Spratly, Cina membangun pangkalan dan instalasi militer di Pulau Karang Mischief sejak 1995 dan diperluas pada 1998. Menurut Beijing, bangunan itu hanyalah tempat pemukiman para nelayan nama Mischief sendiri berasal dari bahasa Cina yang berarti Meiji (wilayah Cina).
IV. Konsep Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN
Deklarasi Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok tidak secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. Namun demikian, sejak awal berdirinya ASEAN, kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting. Kerjasama politik dan keamanan terutama diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian secara damai sengketa-sengketa regional, menciptakan dan memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Dengan kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional.
Pada prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai arah dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu “masyarakat kepentingan keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang diharapkan.
Berdasarkan tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya untuk mengambil bagian dalam memecahkan persoalan konflik Laut Cina Selatan dengan upaya-upaya damai. Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara negara-negara yang bersengketa sangat rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan adanya dilema keamanan (security dilemma) sehingga mendorong lahirnya konsep yang lazim disebut sebagai security interdependence, yaitu bentuk usaha keamanan bersama untuk mengawasi masalah-masalah regional, yang menyangkut keamanan regional yang diakibatkan munculnya gangguan di kawasan Laut Cina Selatan.
Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.
Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.
V. Signifikansi Konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN
Laut Cina Selatan merupakan salah satu komoditas politik internasional dalam kerangka politik kekuatan bagi setiap negara yang berusaha meningkatkan posisi kekuatannya terhadap negara-negara saingannya, sehingga negara-negara tersebut berusaha mempertahankan hegemoni-nya untuk merebut pengaruh di kawasan agar tetap dapat memanfaatkan potensi yang ada di sepanjang tepian “pasifik”.
Dengan berakhirnya perang dingin, berubahnya sistem internasional menjadi multipolar, menciptakan kesulitan-kesulitan baru dalam menghadapi kekuatan dan ancaman luar yang semakin sulit ditebak. ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik.
Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut: Pertama, Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).
Kedua, Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis. Sehingga kawasan ini sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional. Ketiga, adalah masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.
Dengan demikian, besarnya potensi konflik yang ada di kawasan laut Cina Selatan, dan pengaruhnya yang juga besar terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara, memaksa ASEAN untuk berfikir lebih serius menjaga segala kemungkinan gangguan keamanan yang datang. Konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya.
A. ASEAN dalam Pengelolaan Konflik Laut Cina Selatan
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik Laut Cina Selatan menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian konflik secara damai oleh semua pihak yang terlibat sengketa. Salah satu upaya menghindari potensi konflik tersebut adalah melalui pendekatan perundingan secara damai baik secara bilateral maupun multilateral dan juga melakukan kerjasama-kerjasama yang lazim digunakan mengelola konflik regional dan internasional.
Pada tingkat kerjasama subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN telah berfungsi sebagai forum yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial budaya dan banyak masalah keamanan. Keberhasilan ASEAN dicerminkan oleh upaya mengatasi konflik-konflik bersenjata atau tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga saat ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai instrumen untuk menyelesaikan krisis-krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-negara tetangga dan memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan ketahanan Regional secara kolektif.
Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan nasional masing-masing negara anggota.
Upaya-upaya perundingan untuk memecahkan permasalahan secara multilateral untuk terciptanya stabilitas di kawasan banyak mendapat dukungan negara-negara pengklaim yang semuanya adalah negara negara anggota ASEAN, kecuali Taiwan. Hal ini beralasan mengingat melalui perundingan regional atau multilateral, setidaknya dapat membantu semua negara pengklaim di kawasan itu untuk memilih peluang dan posisi yang sama dalam mempertahankan klaim dan pendudukannya terutama dalam menghadapi tuntutan Cina. Sebaliknya Cina lebih memilih perundingan secara bilateral dengan masing-masing negara sengketa, karena dengan cara ini Cina dapat lebih mudah menekan setiap negara daripada menghadapinya.
Belakangan ini memang ASEAN menghadapi tantangan untuk meningkatkan dan mempertahankan kawasannya yang damai dengan terus berlarut-larutnya sengketa antar engara kawasan laut Cina Selatan tersebut. Adanya konflik ini akan membawa dampak tidak saja terhadap kerjasama ekonomi ASEAN yang selama ini telah membawa hasil yang maksimal, tetapi juga terhadap kelangsungan ASEAN sebagai organisasi regional yang memayungi kepentingan nasional masing-masing anggotanya..
Oleh karena itu, satu hal yang paling penting digarisbawahi dari eksistensi ASEAN adalah pembentukkannya dan pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Sejak ASEAN didirikan ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:
Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).
Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.
Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994
KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas
Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).
B. Instrumen Mencegah Konflik Laut Cina Selatan.
Konsep ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) merupakan pengejawantahan dari sikap ASEAN yang sesungguhnya tidak mau menerima keterlibatan yang terlalu jauh dari negara-negara besar wilayah Asia Tenggara. ASEAN mengusahakan pengakuan dan penghormatan Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan luar seraya memperluas kerjasama antar negara se-kawan sebagai persyarat bagi memperkuat kesetiakawanan dan keakraban semua negara yang ada di kawasan.
Konsep ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara. Pedoman yang terdapat dalam konsep tersebut adalah :
• bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh mengganggu “kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap bangsa”;
• bahwa setiap negara harus dapat “melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan luar”;
• bahwa tidak ada campur tangan “mengenai wawasan dalam negeri satu sama lain”;
• bahwa setiap “perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai”
• dan bahwa “setiap pengancaman dengan kekerasan” tidak dapat diterima.
Sementara untuk menunjang ZOPFAN dan dalam upaya mencairkan kebekuan hubungan bilateral karena adanya perbedaan-perbedaan mulai terlihat saat dikeluarkannya dekalrasi perjanjian persahabatan dan kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation-TAC). Perjanjian ini ditandatangani pada KTT I ASEAN di Bali tahun 1976. Inti perjanjiannya adalah bagaimana menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan persengketaan intra ASEAN. Perjanjian ini merupakan prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi negara-negara ASEAN dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan bilateral anggota ASEAN.
TAC pada dasarnya merupakan hasil dari transformasi prinsip-prinsip dan aspirasi ASEAN dalam deklarasi Bangkok dan ZOPFAN ke dalam suatu bentuk perjanjian (treaty) internasional yang mengikat dan menjadikannya sebagai code of conduct dalam interaksi intra-ASEAN. Didalam perkembangannya TAC telah dijabarkan dan diperluas perannya untuk dapat ikut mencari penyelesaikan sengketa secara damai atau paling tidak dapat berfungsi sebagai pencegah konflik sebagaimana dipertegas dalam perjanjian TAC bab IV, mengenai prinsip-prinsip penyelesaian secara damai (the pasific settlement of disputes).
Berkaitan dengan potensi Konflik Laut Cina Selatan, maka prinsip-prinsip TAC dapat diberlakukan dalam pengelolahannya. Hal ini berdasarkan Deklarasi Prinsip-prinsip Laut Cina Selatan, yang mendesak semua pihak guna “memerapkan prinsip-prinsip yang termaktub dalam TAC sebagai dasar untuk merumuskan code of international conduct di Laut Cina Selatan. Sedangkan SEA-NWFZ merupakan langkah kedua setelah TAC dalam perwujudan ZOPFAN. Pada KTT IV di Singapura telah mengikrarkan bahwa SEA-NWFZ terus diusahakan, mengingat adanya upaya beberapa negara besar yang ada di kawasan maupun di luar kawasan tetap mengembangkan nuklirnya sebagai bukti kapabilitas pertahanannya.
Baik konsep ZOPFAN, NWFZ maupun TAC pada prinsipnya adalah “zooning arrangement” yang merupakan instrumen dasar konsep keamanan ASEAN yang juga dapat bertindak sebagai instrumen pembangunan kepercayaan di Asia Pasifik khususnya dalam mencegah Konflik di Laut Cina Selatan. Program ZOPFAN mempunyai unsur-unsur utama yang menjadi perangkat dalam mencegah konflik di kawasan, antara lain:
1) Memperkuat jaringan kerjasama bilateral dan trilateral antara negara-negara Asia Tenggara,
2) Pengembangan suatu code of conduct yang mengikat negara-negara di Asia Tenggara dan negara-negara disekitarnya,
3) Pengembangan cetak biru politik-keamanan untuk memungkinkan negara-negara sahabat membantu dalam membangun perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di Asia Tenggara, serta
4) Mengembangkan suatu kerangka untuk bekerja dengan Piagam PBB dalam menciptakan, melanggengkan, dan membangun perdamaian.
Seperti diketahui fenomena politik dan keamanan atas kawasan Laut Cina Selatan selama beberapa dekade belakangan ini tampak jelas langsung dippengaruhi oleh inkonsistensi dan ketidakpastian dalam prilaku politik luar negeri RRC. Karena Cina memandang masalah kedaulatan nasional dan integritas wilayah sebagai masalah yang sangat penting untuk diperjuangkan, maka besar kemungkinan upaya untuk mencari penyelesaian secara damai konflik ini akan berjalan secara lambat, karena itu Konflik Laut Cina selatan akan memungkinkan menjadi konflik berkepanjangan di kawasan Asia Pasifik.
Dalam upaya mencegah konflik dan menciptakan tingkat kepastian tertentu di kawasan, maka setidaknya prilaku setiap pihak yang bertikai dapat menghormati aturan-aturan dan kesepakatan regional yang telah mendapat pengakuan internasional. Adanya traktat ataupun perjanjian regional yang telah dilahirkan ASEAN diharapkan dapat menjadi instrumen manajeman konflik, khususnya dalam menghadapi sikap dan respon Cina terhadap prakarsa-prakarsa negara-negara ASEAN dalam menciptakan tata hubungan politik dan keamanan yang lebih predictable di kawasan Laut Cina Selatan. Dalam melakukan pencegahan konflik di kawasan, segenap negara kawasan Asia Tenggara dapat menempuh cara dua tahap: Secara internal dalam tingkat subregional ASEAN senantiasa konsisten dengan komitmennya tentang perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan yang kebetulan beberapa anggota ASEAN lainnya terlibat dalam konflik di Laut Cina Selatan;
Secara eksternal ASEAn senantia mengambilkan langkah-langkah untuk menangani masalah Laut Cina Selatan khususnya pada tingkat regional atau multilateral. Misalnya, ASEAN mencoba membujuk Cina untuk menghormati code of conduct ASEAN seperti Zone Of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) dan Treaty of Amity and Coorporation (TAC), sebagai nilai, norma dan prinsip-prinsip yang harus menjadi acuan hubungan antar negara di kawasan utamanya dalam mewujudkan ‘the Pasific settlement of disputes”.
C. Peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Mengatasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan.
ASEAN Regional Forum (ARF) adalah forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka. Salah satu tujuannya adalah menciptakan lingkungan keamanan yang lebih luas sehingga wilayah ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri.
ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik. Implikasi tersebut mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Dari sini kemudian muncul pemikiran tentang regionalisasi masalah keamanan. Negara-negara ASEAN dan negara-negara besar di kawasan mempunyai alasan yangrasional mengapa pendekatan baru diperlukan.
Negara-negara di kawasn tidak bisa lagi mengeksploitasi persaingan negara adidaya, memainkan kartu Amerika Serikat dan Rusia, untuk kepentingan keamanan di kawasan. Sementara itu bagi negara-negara besar, runtuhnya Uni Soviet dan sistem bipolar menyebabkan nilai strategis negara-negara di kawasan menjadi berkurang. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.
Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.
KESIMPULAN
Berakhirnya Perang Dingin telah melahirkan sistem internasional yang multipolar. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin juga telah berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Perkembangan isu dan kajian keamanan yang cepat, memaksa ASEAN untuk lebih serius memperhatikan permasalahan yang datang dari manapun dan berhati-hati menghadapi setiap konflik yang mengancam stabilitas keamanan kawasan.
Konflik Laut Cina Selatan yang juga melibatkan langsung beberapa negara anggota ASEAN, menjadi prioritas perhatian ASEAN dalam bidang politik-keamanan terutama pasca perang dingin. Dilihat dari sudut pandang geopolitik, Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan dengan potensi konflik yang tinggi dimana banyak negara berlomba dan mengklaim wilayah tersebut. Kerawanan kawasan ini menciptakan dilema keamanan yang pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan ASEAN.
Pesoalaannya adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam pengelolaan konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya terlibat disana. Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang menekankan pada ketidakberpihakkan terhadap hal/kelompok tertentu serta tidak ikut campur dalam persolaan wilayah/kelompok lain. ASEAN harus menjaga keharmonisan hubungan diantara negara-negara anggotanya, disamping harus menjaga setiap potensi konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat mengancam keamanan regionalnya.
Yang terpenting adalah selama ASEAN dapat konsisten terhadap dalam menjaga komitmennya untuk ikut serta menjaga, menciptakan stabilitas keamanan regional dan global, serta mengedepankan strategi keamanan yang kooperatif dengan upaya-upaya damai dalam mengelola pesoalan-persoalan khususnya dalam kasus Laut Cina Selatan, maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara dapat terus dirasakan bahkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan diperhitungkan di kawasan Asia pasifik.
KONFLIK LAUT CHINA SELATAN
Posted by hary wibowo on 10.56
0 komentar:
Posting Komentar