Persandian di Indonesia


1. Masa Perintisan/Pioneer Period (1946-1947)


Berpindahnya ibukota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 berdampak pada pindahnya segala kegiatan di berbagai Kementerian ke Yogyakarta, termasuk Kementerian Pertahanan. Salah satu bagian pada Kementerian Pertahanan yang memiliki tugas membuat laporan kritis mengenai sesuatu keadaan dan analisisnya yang tepat untuk keberhasilan operasi intelijen adalah Bagian B (bagian intelijen).

Pada tanggal 4 April 1946 pukul 10.00 WIB, Menteri Pertahanan, Mr. Amir Sjarifuddin, memerintahkan dr. Roebiono, seorang dokter di Kementerian Pertahanan Bagian B untuk membentuk badan pemberitaaan rahasia yang disebut Dinas Code. Untuk mendukung pelaksanaan Dinas Code dalam mengkomunikasikan berita rahasia, pada saat yang sama dibangun sarana telekomunikasi berupa pemancar radio telegrafi. Saat itu, operasional Dinas Code menggunakan suatu sistem yang sangat sederhana dalam bentuk buku kode yang dikenal “Buku Code C” terdiri dari 10.000 kata (dibuat sebanyak 6 rangkap) diawali untuk hubungan komunikasi pemberitaan rahasia antara Pemerintah RI di Yogyakarta dengan para pimpinan nasional di Jawa Barat (Tasikmalaya, Garut, Karawang, Banten dan Cirebon), Jawa Timur (Jember, Jombang, Kediri dan Mojokerto), Jawa Tengah (Solo, Purwokerto, Tegal) dan Sumatera (Pematang Siantar dan Bukit Tinggi) dan Jakarta.

Pada saat itu, beberapa instansi Pemerintah RI selain Kementerian Pertahanan yang menggunakan jasa Dinas Code adalah Markas Besar Tentara (M.B.T), Tentara Rakyat Indonesi (T.R.I) Sumatera, Panitya Oeroesan Pengembalian Orang Djepang Dan Asing (P.O.P.D.A), Pantya Gentjatan Senjata, Divisi I, Gubernur Sumatera. Selain melaksanakan tugas pengamanan berita rahasia, Dinas Code juga bertugas melakukan pemantauan terhadap berita-berita dalam negeri dan luar negeri yang diperlukan oleh Kementerian Pertahanan Bagian B.

Berdasarkan SK. Menteri Pertahanan No. A/126/1947 tanggal 30 April 1947 diadakan fusi Badan-Badan Intelijen pada Kementerian Pertahanan ke dalam satu wadah yang disebut Kementerian Pertahanan Bagian V, dan selanjutnya Dinas Code diubah menjadi Bagian Code KP-V. Bagian code KP-V semula berkantor di dua tempat (Jalan Gondokusuman dan Jalan Batonowarso 4) kemudian menyatu dalam satu kantor yang beralamat di Jalan Batonowarso 32 yang cukup memadai dalam pelaksanaan tugasnya. Sampai akhir tahun 1946 jumlah personil pada Dinas Code sebanyak 19 orang dan setelah fusi kelembagaan menjadi 34 orang, karena ada tambahan tenaga dari Badan Rahasia Negara Indonesia (B.R.A.N.I).

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Belanda I yang menimbulkan banyak pengorbanan, baik fisik maupun non fisik termasuk terganggunya hubungan dengan luar negeri. Untuk menjaga agar hubungan RI dengan luar negeri tidak terputus, maka diutus Duta Besar pertama kali untuk India beserta staf Dinas Code untuk menangani pengamanan berita rahasia. Pada tanggal 15 Agustus 1947 untuk pertama kalinya diterima berita dari Perwakilan RI di New Delhi dan sejak itulah hubungan komunikasi berita rahasia antara Perwakilan RI di New Delhi dan Pemerintah RI di Yogyakarta berjalan dengan baik melalui PTT dan RRI yang kemudian meluas dengan Perwakilan RI di Singapura, London, Cairo, dan PBB (Lake Success).

2. Masa Bertahan - Penegakan/Staying - Straightening Period (1948 - 1949)

a. Perjanjian Renville (Kapal USS Renville, 8 Desember 1947 – 17 Januari 1948)


Untuk memfasilitasi komunikasi rahasia antara Delegasi RI dengan Pemerintah Pusat, Yogyakarta, selama perundingan RI-Belanda di Kapal USS Renville ditugaskan 2 (dua) orang Code Officer (CDO)/Petugas Sandi yaitu Letnan II Marjono IS dan Letnan II Padmowirjono. Sedangkan 2 (dua) orang CDO, Letnan II Oetoro Kolopaking dan Letnan II Parhadi Utomo, bekerja di darat (Jakarta) yang berkantor di bekas Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur no.56. Sistem sandi yang digunakan 3 (tiga) jenis yaitu Buku C (Besar), Sistem Transposisi, dan One Time Pad (OTP).

b. Perang Kemerdekaan II

Sebelum Penyerangan Belanda ke Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Presiden Soekarno memerintahkan 2 (dua) pengiriman kawat. Satu kawat dikirimkan ke Bukittinggi yang isinya memerintahkan Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Sedangkan kawat kedua dikirimkan kepada Mr. A.A. Maramis di New Delhi yang memerintahkan Pembentukan Exit Government di New Delhi jika Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera tidak berhasil.

Pada Agresi Militer II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, Pihak Belanda mendahulukan serangan atas sasaran komunikasi dalam pendudukannya di Yogyakarta sehingga para CDO menghancurkan seluruh dokumen termasuk arsip-arsip sejak Bagian Code berdiri 4 April 1946 agar tidak sampai jatuh ke tangan Belanda sebelum meninggalkan tempat tugasnya. Kemudian para CDO menyebar ke berbagai daerah dr. Roebiono bersama seorang CDO ke Jawa Barat, beberapa orang CDO pindah ke sebuah desa kecil di tepi barat Kali Progo di kaki Pegunungan Menoreh yang bernama Dekso dan berusaha untuk bergabung dengan salah satu kesatuan yang mempunyai hubungan kode, setidaknya pemancar radio (PHB). Ternyata tidak jauh dari Dekso, di desa Banaran, terdapat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB. Simatupang.

Selama di Dekso, Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Md. Soedijatmo membentuk Bagian Code yang berkedudukan dibawah PHB Angkatan Perang dipimpin oleh Mayor Dartodjo. Pengiriman salinan kawat dilakukan menggunakan jasa kurir dari Dukuh ke Banaran. Bagian Code di Dekso mempunyai hubungan komunikasi dengan PDRI (Sumatera), Jawa Barat dan Playen (Gunung Kidul) dengan menggunakan system sandi transposisi, koordinat dan matriks. Sementara 2 (dua) orang CDO lainnya sampai di daerah Gringging, Jawa Timur.

c. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan titik pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dan berakhirnya periode perjuangan bersenjata untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah persetujuan KMB tersebut, Pasukan Pemerintah/TNI yang berada di sekitar kota diperintahkan untuk masuk ke kota Yogyakarta termasuk Bagian Code yang sebelumnya bertempat di Dekso. Bagian Code menempati sebuah gedung sekolah di dekat Stadion Kridosono yang merupakan juga Markas PHB Angkatan Perang.

Setelah pengakuan kedaulatan inilah Dinas Kode mengenal penggunaan mesin-mesin sandi untuk mendukung kegiatan komunikasi rahasia. Kemudian pada bulan Desember 1949 dikirimlah 3 (tiga) orang CDO, Munarjo, Sumarkidjo dan Maryono Idris Sunarmo, untuk memperdalam ilmu kriptologi di Belanda.

3. Masa Pemantapan dan Pengembangan/Stabilization and Development Period (1949-sekarang)

a. Bagian Kode Setelah Pengakuan Kedaulatan RI (Tahun 1950 - 1960)

Konferensi Meja Bundar telah menghasilkan kesepakatan antara lain pemindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Berkaitan dengan kepindahan seluruh aparat pemerintah, kepindahan kementrian pertahanan dan staf angkatan perang dilaksanakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI tanggal 16 Januari 1950, sesuai dengan lampiran Surat Keputusan tersebut Bagian Kode dimasukkan dalam staf G Angkatan Darat bersama Militair Security (G-I), yang selanjutnya Bagian Kode berubah nama menjadi Jawatan Sandi.

Sejak tanggal 14 Februari 1950 sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 65 Tahun 1950, Jawatan Sandi dipindahkan dari Kementrian Pertahanan dan ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri dan untuk urusan personil secara administratif tetap di bawah Kementrian Pertahanan. Setelah berada di bawah Perdana Menteri maka Jawatan Sandi menjadi lebih berkembang tidak hanya untuk kepentingan pertahanan namun untuk seluruh pemerintahan.

Dengan keluarnya Keputusan Presiden tersebut maka Jawatan Sandi sudah mulai menapak menyusuri kemandirian dirinya sebagai suatu organisasi melalui penataan organisasi, kebijakan persandian, penambahan dan penataan personil, dan penempatan gedung tersendiri yaitu di Jalan Tosari Jakarta.

Kebijakan persandian yang ditata adalah :
  1. Penyediaan sistem-sistem penyandian yang dapat dipertanggungjawabkan secara kriptografis,
  2. Melaksanakan sendiri kegiatan komunikasi rahasia dari berbagai instansi dan secara kuantitas berita-berita rahasia tersebut datang dari Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri.
  3. Mengeluarkan crypto clearence secara selektif dan ketat bagi personil yang akan menangani kegiatan persandian pada instansi pemerintah.

Sejalan dengan upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi organisasi maka pada tahun 1952 dilakukan usaha Desentralisasi dalam bidang operasional persandian, antara lain :
  1. Hubungan persandian diserahkan kepada masing-masing instansi, yaitu Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri.
  2. Pemenuhan personil sandi oleh masing-masing instansi.
  3. Pengelolaan peralatan dan sarana lainnya.

Jawatan Sandi juga telah berupaya memperkuat tugas dan fungsinya yaitu dalam hal penyediaan dan pengamanan terhadap sistem sandi yang dibuat agar memiliki kemampuan untuk menanggulangi kriptanalisis pihak lawan.

b. Jawatan Sandi sebagai Pusat Persandian Indonesia (Tahun 1960 – 1972)

Untuk lebih memantapkan kedudukan Jawatan Sandi sebagai pusat persandian Indonesia maka dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 321 Tahun 1960 yang mengatur mengenai ruang lingkup kegiatan persandian, dimana Jawatan Sandi merupakan Badan Pemerintahan tertinggi yang langsung dibawah Perdana Menteri/Menteri Pertama Republik Indonesia dengan dipimpin oleh seorang Kepala Jawatan yang diangkat oleh Presiden atas usul Perdana Menteri/Menteri Pertama Republik Indonesia.

Tugas-tugas pokok Jawatan Sandi di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Memelihara keamanan serta mengadakan tindakan-tindakan pengamanan terhadap pemberitaan rahasia pemerintah yang disalurkan melalui perhubungan sandi.
  2. Mengorganisir/membentuk bagian-bagian sandi pada instansi pemerintah baik militer maupun sipil yang membutuhkan perhubungan pemberitaan rahasia dengan jalan sandi-menyandi.
  3. Mengatur penggunaan alat-alat sandi, memikirkan, dan menyempurnakan cara pemakaiannya dalam lapangan keteknikan mesin-mesin sandi.

Untuk memperkuat tugas dan fungsi Jawatan Sandi maka diterbitkan Kepres Nomor 188 Tahun 1962 yang isi pokoknya adalah menambahkan tugas Jawatan Sandi yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi calon-calon tenaga sandi atau pendidikan keahlian.

Situasi politik pada sekitar tahun 1965 tidak menentu yang diakhiri dengan Peristiwa G30S/PKI. Setelah kejadian G30S/PKI tersebut pemerintah melakukan Clearence Test terhadap personil sandi seperti halnya yang dilakukan oleh instansi lainnya. Hasil dari Clearence Test tersebut menunjukkan tidak seorangpun personil sandi dinyatakan terlibat G30S/PKI. Hasil tersebut sebagai bukti bahwa memang sejak awal telah digariskan dengan tegas bahwa personil sandi harus berada pada posisi netral, tidak ikut dalam kegiatan politik dan bekerja hanya untuk kepentingan negara.


c. Pembentukan Lembaga Sandi Negara (Tahun 1972 – sekarang)

Pengertian Jawatan yaitu suatu instansi yang memiliki badan-badan atau instansi yang menjadi bagian dan secara organisatoris berada dalam wewenang kebijakan instansi induk, dari pengertian tersebut Jawatan Sandi tidak memasuki kriteria karena tidak memiliki badan atau instansi yang secara langsung berada dibawah wewenang kebijaksanaan secara organisatoris Jawatan Sandi kecuali kalau secara teknis kriptografis memang tetap ada hubungan konsultasi.

Atas dasar pertimbangan tersebut kelembagaan Jawatan Sandi diubah menjadi Lembaga Sandi Negara sesuai dengan Keppres Nomor 7 Tahun 1972 yang mengatur kedudukan atau status, fungsi, dan tugas pokok Lembaga Sandi Negara. Lembaga Sandi Negara merupakan suatu Badan Pusat Persandian Negara Republik Indonesia dan berkedudukan langsung dibawah Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden. Fungsi Lembaga Sandi Negara adalah mengatur, mengkoordinir, dan menyelenggarakan hubungan persandian secara tertutup dan rahasia antara aparatur negara baik di Pusat maupun daerah dan hubungan persandian ke luar negeri.

Untuk menyelenggarakan fungsinya, Lembaga Sandi Negara mempunyai tugas pokok yaitu :

  1. Menetapkan kebijaksanaan pelaksanaan di bidang persandian negara sesuai dan berdasarkan kebijaksanaan umum pemerintah.
  2. Mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan hubungan persandian dan kegiatan-kegiatan badan-badan persandian terutama dalam pengamanan dan pemberitaan rahasia negara.
  3. Menyelenggarakan pendidikan khusus dibidang persandian.
  4. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan persandian
  5. Menyelenggarakan koordinasi penggunaan personil maupun materiil persandian.

d. Pengembangan Kegiatan Persandian

Selaras dengan peningkatan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, perubahan lingkungan strategik persandian, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kegiatan persandian mengalami banyak perubahan. Pengembangan tersebut meliputi aspek pemanfaatan persandian di lingkungan instansi pemerintah, pengembangan organisasi, dan pengembangan teknologi persandian yanng memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger